Herawati Sudoyo
Artikel ini sudah memiliki referensi, tetapi tidak disertai kutipan yang cukup. |
Herawati Sudoyo | |
---|---|
Lahir | 2 November 1951 Pare, Kediri |
Tempat tinggal | Indonesia |
Kewarganegaraan | Indonesia |
Pekerjaan | peneliti, dosen |
dr. Herawati Sudoyo, M.S., Ph.D. (lahir 02 November 1951)[1] adalah seorang ilmuwan Indonesia. Ia adalah alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia menerima Habibie Award 2008 atau Anugerah Habibie, penghargaan bagi para tokoh yang membuat terobosan dalam ilmu pengetahuan. Ia dinilai telah meletakkan dasar pemeriksaan DNA forensik untuk identifikasi pelaku bom bunuh diri.
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]- S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) (1977)
- S-2 Fakultas Pascasarjana UI (1985)
- S-3 Departemen Biochemistry Monash University,1990
Karier
[sunting | sunting sumber]- Staf Pengajar Bagian Biologi FK-UI (1978-sekarang)
- Pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijikman (1993)
- Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Eijkman (2004-sekarang)
- Staf Pengajar PTIK, program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Universitas Diponegoro (2005, 2006, 2007-sekarang)
Penghargaan
[sunting | sunting sumber]- Habibie Award (2008)
- Australian Alumni Award of Scientific and Research Inovation (2008)
- Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian (2007)
- Penerima Riset Unggulan Terpadu (1993–1996)
- Third Word Academy of Science Award (1992)
- Toray Foundation Research Award (1991–1992)
Penelitian
[sunting | sunting sumber]Teknik Analisis DNA
[sunting | sunting sumber]Metode Hera berawal dari ledakan bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia atau Bom Kedubes Australia 2004, pada tanggal 9 September 2004. Saat itu pihak Polri ditantang untuk segera mengidentifikasi pelaku dan mengungkap kelompok di baliknya. Kejadian itu menewaskan 10 korban dan mencederai lebih dari 180 orang. Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban? Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. Singkatan dari deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orang tua: ayah dan ibu. Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal. Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya.
Penelitian DNA Madagascar dan Indonesia
[sunting | sunting sumber]Dr. Herawati Sudoyo beserta dengan Murray P. Cox, Michael G. Nelson (Selandia Baru), Meryanne K. Tumonggor (Arizona), Francois-X. Ricaut (Prancis) menyimpulkan bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Studi yang dilakukan sejak tahun 2005 tersebut, dilakukan dengan melakukan pencocokan DNA. 2.745 sampel penduduk Indonesia yang berasal dari 12 pulau yaitu Sumatra, Nias, Mentawai, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar dan Timor, dicocokkan dengan 266 sampel penduduk Madagaskar. Sampel DNA penduduk Madagaskar berasal dari tiga kelompok besar etnik yang dibedakan berdasarkan budaya dan tempat tinggal, yaitu: Mikea (pemburu), Vezo (nelayan), dan Merina (dataran tinggi). Marka genetik yang digunakan adalah DNA mitokondria, kromosom Y. Kami mengambil sampel darah dari penduduk Indonesia dan Madagaskar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, dari 2.745 sampel DNA Indonesia, 45 orang membawa motif Malagasi. Di mana motif tersebut terdapat pada 58 sampel dari 226 total sampel penduduk Madagaskar. Hasil uji DNA ini membuktikan adanya hubungan darah antara penduduk Madagaskar dan Indonesia. Hasil pemetaan genetik di Indonesia terdahulu, memperlihatkan gambaran sejajar antara penyebaran bahasa dengan penyebaran variasi genetik.
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "Herawati Sudoyo – Tim Dokter masih menunggu sampel darah anak Bopak Castello". merdeka.com. Diakses tanggal 24 Desember 2020.