Lompat ke isi

Hikayat Bakhtiar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hikayat Bakhtiar adalah salah satu warisan dalam kesusastraan Melayu klasik berjenis hikayat.[1] Hikayat ini termasuk kedalam golongan cerita berbingkai, yakni sebuah cerita yang di dalamnya selalu disisipi cerita-cerita lain. Umumnya seorang tokoh bercerita dan kemudian giliran tokoh yang diceritakan dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. Dalam cerita sisipan itu mungkin ada cerita sisipan lagi sehingga pada akhirnya cerita itu menjadi panjang dan luas sekali.[1]

Salah satu naskah Hikayat Bakhtiar tersimpan di Museum Nasional. Naskah Hikayat Bakhtiar ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu bertuliskan huruf Arab-Melayu.[1]

Daftar isi

[sunting | sunting sumber]

Berikut merupakan daftar isi dari Hikayat Bakhtiar:[1]

  • Hikayat Biaperi
  • Hikayat Raja Bahzad
  • Hikayat Abu Sabar
  • Hikayat Raja Yaman
  • Hikayat Raja Dadain
  • Hikayat Raja Khabsyah
  • Hikayat Saksan Malik Ceti
  • Hikayat Raja Alan
  • Hikayat Raja Hajar
  • Cerita Si Pemikat
  • Cerita Si Pengail
  • Cerita Saudagar Hasan dan Istrinya Siti Dinar
  • Cerita Raja dan Istrinya yang manja

Contoh hikayat

[sunting | sunting sumber]

Cerita Si Pemikat

[sunting | sunting sumber]

Pada suatu hari si Pemikat mempersembahkan seekor burung yang amat bagus pada raja. Raja senang dan sayang pada si Pemikat sehingga ia diangkat jadi menteri raja. Mentri Muhammad Julus jadi iri hati dan berusaha mencelakakannya. Atas hasutan Mentri Muhammad Julus itu si Pemikat disuruh raja mencari burung yang sama seekor lagi dan kalau tidak dapat si Pemikat itu akan dibunuh. Atas bantuan seorang syekh pertapa, burung itu dapat dipikatnya. Menteri Muhammad Julus bertambah dengki dan atas hasutannya raja menyuruh si Pemikat meminang putri raja Rum yang terkenal amat cantik. Atas petunjuk syekh pertapa, si Pemikat minta kapal emas yang harus dibuat Menteri Julus. Dengan kapal emas itu, si Pemikat berhasil membawa putri raja Rum itu dengan tipu muslihatnya. Atas petunjuk syekh itu juga dikatakan oleh si Pemikat pada raja bahwa putri itu baru bersedia menaiki anak tangga istana (yang jumlahnya 12), apabila tiap ia menginjak anak tangga itu dipotong seekor lembu hitam yang kelopak matanya putih dan lembu itu harus dicarikan oleh Julus. Kalau tidak berhasil Julus dibunuh. Julus rupanya hanya berhasil mengumpulkan 11 ekor lembu demikian itu sehingga ia dibunuh raja sesuai dengan syarat tadi.[1]

Cerita Si Pengail

[sunting | sunting sumber]

Si Pengail mempersembahkan mata ikan yang dikumpulkannya selama mengail kepada raja Cina dan minta balasan sebilah pisau dan selinggar dawai kebetulan permaisuri raja Cina mengidam makan mata ikan. Raja Cina gembira sekali menerima hadiah itu dan membalasnya dengan seekor beruk, pisau sebilah, dan dawai selinggar. Beruk itu telah berjasa membantunya menjadi raja. Si Pengail gembira menerima hadiah raja Cina itu. Atas usaha dan tipu muslihat beruk itulah si Pengail jadi senang, mendapat pakaian dan makan setiap hari dari beruk itu, dan yang paling istimewa ialah beruk itu berhasil menjodohkan putri raja dengan si Pengail yang dikatakan oleh beruk anak keindraan. Akan tetapi putri raja itu jadi gelisah, karena si Pengail itu tingkah lakunya tidak sedikit juga menyerupai tingkah laku raja-raja. Suatu kejadian yang istimewa terjadi ketika ia menyerbu ke tempat musuh hanya dengan membawa pisau sebilah, karena ia bermaksud bukan untuk berperang, tetapi mengejar anjing yang mencuri ikannya. Semua orang tercengang dan mengira ia seorang yang sakti dan amat berani. Tanpa perlawanan musuh lari meninggalkan negara itu. Melihat kejadian itu raja senang sekali dan si Pengail diangkat oleh raja menjadi penggantinya. Setelah menjadi raja, barulah perangainya berubah. Ada tiga pelajaran dari hikayat ini, yaitu kebaikan raja; kesabaran si Pengail, dan kesetiaan beruk pada tuannya.[1]

Cerita Saudagar Hasan dan Istrinya Siti Dinar

[sunting | sunting sumber]

Raja memerintahkan menangkap orang yang berjalan malam hari, kalau melawan dibunuh. Saudagar Hasan keluar malam mengintai orang yang berjalan malam. Ketika itu raja juga keluar melihat, apakah mentri dan hulubalang berjaga-jaga. Saudagar Hasan segera menangkap raja itu sesuai dengan perintah raja dan dibawanya pulang, sedang istrinya menyiapkan makanan yang enak di rumah. Raja memuji kepatuhan saudagar Hasan dan mengangkatnya jadi mentri besar. Menteri Fudul iri hati dan memfitnah istri saudagar Hasan itu berzina dengan dia. Di negeri itu berlaku hukum bahwa apabila istri berzina, suaminya dibunuh. Raja segera minta bukti-buktinya. Atas pertolongan orang tua, Menteri Fudul dapat memperoleh kain bekas mandi istri saudagar Hasan itu, dan mengetahui bahwa ada tahi lalat hijau di antara kedua susunya. Hal itu disampaikannya kepada raja dan bukti-bukti itu benar. Keesokan harinya, setelah mendengar hal itu, Siti Dinar datang menghadap raja dan mengatakan, bahwa Menteri Fudul telah berzina dengan dia serta mencuri kaus kakinya yang terbuat dari emas. Menteri Fudul membantah dan mengatakan belum pernah bertemu dengan Siti Dinar itu, apalagi berzina. Mendengar jawaban itu tahulah raja bahwa ia telah berbohong, mengatakan telah berzina dengan Siti Dinar. Raja melepaskan saudagar Hasan dan membunuh Menteri Fudul yang khianat itu. Ada tiga pelajaran dari hikayat ini, yaitu kebenaran saudagar Hasan, bijaksana Siti Dinar, dan celakanya Menteri Fudul yang khianat itu.[1]

Cerita Raja dan Isterinya yang manja

[sunting | sunting sumber]

Seorang raja mempunyai permaisuri yang cantik dan manja; segala keinginannya diperkenankan oleh raja. Ketika permaisuri itu melihat ikan emas dalam pasu besar, ia minta pada raja supaya ikan itu bernyawa. Menurut ahli nujum ikan itu bernyawa, kalau bendahara berkata benar. Bendahara mengatakan bahwa ia ingin jadi raja, walaupun sehari saja. Ikan itu pun bernyawa. Selanjutnya permaisuri itu minta ikan itu berdatang sembah. Menurut ahli nujum, syaratnya ialah raja berkata benar. Raja mengatakan bahwa ia senang kalau orang datang membawa persembahan. Permaisuri raja ingin lagi melihat ikan itu melompat. Syaratnya, permaisuri raja itu harus berkata benar. Permaisuri raja itu mengatakan bahwa ia selalu menjaga nama raja dan jangan kuatir padanya. Ikan itu pun melompatlah. Atas nasehat mentri yang tua dan kadi, raja menyuruh pembantunya memanggil orang tua Bakhtiar yang membawanya ke istana dulu itu. Ketika mereka bertemu, kedua orang tua Bakhtiar itu mengatakan bahwa mereka sendiri, yang bukan orang tua kandung Bakhtiar, merasa amat sedih menyaksikan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Bakhtiar, apalagi orang tuanya yang sesungguhnya. Mendengar hal itu raja menyuruh menceritakan, hal ihwal Bakhtiar itu yang sebenarnya. Diceritakanlah oleh saudagar Idris di hadapan raja dan orang banyak riwayat ia mendapatkan Bakhtiar. Mendengar cerita itu tahulah raja bahwa Bakhtiar sesungguhnya anaknya sendiri. Dan sebagai bukti diserahkan pula pakaian Bakhtiar yang dipakai waktu ditinggalkan raja di hutan dulu. Bakhtiar segera dilepaskan dan mentri-mentri yang khianat itu dipenjarakan sesuai dengan kesalahannya.[1].

Pembukaan

[sunting | sunting sumber]

Wa bihi nasta'inu bi i-Lahi 'ala. Ini hikayat terlalu indah-indah sekali ceritanya yang dahulu kala, maka diceriterakan oleh yang empunya hikayat ini. Alkisah, maka tersebutlah perkataan dan bahwasanya adalah seorang raja terlalu besar kerajaannya itu daripada segala raja-raja dan nama negerinya itu istana. Syahdan, maka baginda pun ada beranak dua orang laki-laki dan terlalu amat baik parasnya, gilang-gemilang dan sikapnya pun sederhana. Hatta, maka beberapa lamanya itu dengan takdir Allah subhanahu wa ta'ala, maka baginda pun hilanglah kembali ke Rahmatullahta'ala. 'Qalu lnna li i-Lahi wa inna ilaihi raji 'un.[1]

Sebermula, adapun Sultan Bakhtiar itu, maka kekallah baginda itu di atas tahta kerajaan dengan adil dan murahnya baginda itu. Setelah sudah maka segala raja-raja dan mentri, hulubalang, rakyat sekalian itu pun bermohonlah kepada baginda itu masing-masing pulang ke tempatnya dan ayahanda datang itu pun kembalilah ke negerinya itu. Syahdan, maka utus-mengutuslah ia kedua buah negeri itu pergi datang tiada berhenti lagi segenap tahun. Wallahu 'alam bissawab wa ilaihi 'i marji' wa'l maab.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j Hikayat Bakhtiar (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 1978.