Hubungan Jepang dengan Takhta Suci
Tampilan
Takhta Suci |
Jepang |
---|
Hubungan Jepang dengan Takhta Suci didirikan secara informal pada 1919, saat pemerintah Jepang menerima permintaan dari Takhta Suci untuk mengirim seorang delegasi apostolik ke negara mereka. Pada 1942, Jepang memulai hubungan diplomatik penuh antar dua negara tersebut, membuat Jepang menjadi negara Asia pertama yang melakukannya. Pada 1958, misi Jepang untuk Vatikan di Roma ditingkatkan menjadi kedutaan besar. Keputusan tersebut dibuat oleh Kaisar Showa pada Perang Dunia II, berharap agar Vatikan dapat berperan sebagai mediator untuk negosiasi antara Jepang dan Sekutu.
Nunsius apostolik untuk Jepang
[sunting | sunting sumber]Nama[1] | Mulai | Akhir |
---|---|---|
Delegasi Apostolik. | ||
Pietro Fumasoni Biondi | 1919 | 1921 |
Mario Giardini | 1921 | 1931 |
Edward Aloysius Mooney | 1931 | 1933 |
Paolo Marella | 1933 | 1948 |
Nunsius Apostolik. | ||
Maximilien de Fürstenberg | 1948 | 1959 |
Domenico Enrici | 1960 | 1962 |
Mario Cagna | 1962 | 1966 |
Bruno Wüstenberg | 1966 | 1973 |
Ippolito Rotoli | 1974 | 1977 |
Mario Pio Gaspari | 1977 | 1983 |
William Aquin Carew | 1983 | 1997 |
Ambrose Battista De Paoli | 1997 | 2004 |
Alberto Bottari de Castello | 2005 | 2011 |
Joseph Chennoth | 2011 | sekarang |
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Nunciature to Japan. Catholic Hierarchy. Retrieved 19 March 2017.
Buku
[sunting | sunting sumber]- DuBois, Thomas David (2016). Empire and the Meaning of Religion in Northeast Asia: Manchuria 1900-1945. Cambridge University Press. ISBN 1107166403.
- Pollard, John (2014). The Papacy in the Age of Totalitarianism, 1914-1958. Oxford University Press. ISBN 0199208565.
- Walker, Hugh Dyson (2012). East Asia: A New History. AuthorHouse. ISBN 1477265163.