Ibnu Hibban
Muhammad bin Hibban Al-Busti[catatan 1] (bahasa Arab: محمد ابن حبان البستی) (lahir di desa Busti, Afganistan, 270 H/884 – meninggal di Lashkar Gah, Afghanistan, 354 H/965 M pada umur 83 tahun) atau lebih dengan nama Ibnu Hibban adalah seorang ilmuwan muslim keturunan Arab, fukaha, ahli hadis, linguis, ahli geografi, ahli kedokteran, astronom, sejarawan, mutakalim. Dia merupakan penyusun kitab Shahih Ibnu Hibban.[1]
Pengarang kitab Shahih Ibnu Hibban Sebagai seorang ahli hadits ternama, ia mendapatkan gelar al-hafizh, sebuah gelar kehormatan yang hanya disematkan pada pakar hadits yang pilih tanding.
Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat kental dengan nuansa religius, sehingga ia menjadi seorang muslim yang taat beribadah. Disamping itu, ia juga mendapat bimbingan langsung dari orangtuanya mengenai dasar-dasar agama. Karenanya tak heran jika sejak kecil ia sudah menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam, seperti fikih, tafsir, akhlak, sejarah dan hadits.
Akan tetapi di kemudian hari, minatnya terfokus pada disiplin ilmu hadits. Iapun mengkonsentrasikan diri menekuni pelajaran hadits, tanpa mengabaikan bidang ilmu lainnya.
Setiap guru yang ahli di bidang keilmuan tertentu ia datangi. Ketika ingin belajar tafsir, ia mengunjungi guru tafsir. Ketika hendak mendalami disiplin ilmu fiqih, ia menjambangi guru fiqih. Ketika berhasrat menekuni bidang hadits, iapun mendatangi guru hadits. Demikian seterusnya.
Itulah yang dijalankan oleh Ibnu Hibban ketika menuntut ilmu. Terlebih ketika berniat untuk menekuni ilmu hadits, ia berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Iapun mulai belajar hadits kepada guru-guru hadits didaerahnya. Setelah semua guru hadits didaerahnya ia datangi, ia memohon doa restu orangtuanya untuk mengembara ke negeri-negeri lain.
Dalam pengembaraannya mencari hadits, ia sempat menjadi salah seorang murid imam Ibnu Khuzaimah. Sungguh rute perjalanan keilmuan Ibnu Hibban sangat panjang. Ia menuntut ilmu sampai ke Khurasan, Syiria, Mesir, Irak, dan Semenanjung Arab.
Setelah dirasa cukup, Ibnu Hibban pun kembali ke tempat asalnya. Di daerahnya, dia didaulat sebagai guru besar hadits. Bahkan, ia diangkat oleh pemerintah di daerahnya sebagai hakim syariat.
Di tengah kesibukannya menangani persoalan peradilan agama, ia menyempatkan diri untuk menulis karya tulis. Salah satu karya terbesarnya adalah Taqasimul Anwa atau lebih dikenal dengan Shahih Ibnu Hibban. Kitab ini kemudian disusun kembali oleh Abi bin Balban dan hingga sekarang dikenal dengan nama al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban atau Taqrib Ibnu Balban ‘Ala Shahih Ibnu Hibban.
Disamping kitab tersebut, Ibnu Hibban juga memusatkan diri untuk menulis kitab mengenai kualitas perawi hadits. Diantara karyanya tentang hal ini adalah Majruhin minal Muhadditsin. Sayangnya, hingga sekarang kitab yang terakhir ini masih belum bisa sampai ke tangan kita, karena masih berbentuk manuskrip yang disimpan di perpustakaan Masjid Aya Sofya, Turki.
Karya Ibnu Hibban lainnya yang terkait dengan perawi hadits adalah al-Majruhin minal Muhadditsin wa ad-Du’afa wa al-Matrukin, sebuah kitab yang memuat daftar perawi hadits yang ditinggalkan perkataannya dan perawi dhoif yang terkena jarh (cela). Kitab ini tersusun dalam tiga jilid. Disamping itu ia juga menyusun kitab yang berjudul ats-Tsiqat setebal 9 juz yang memuat daftar para perawi hadits yang berkualitas terpercaya (tsiqah).
Diantara hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Hibban adalah sebuah hadits yang terkait dengan qiyamul lail di bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat, setelah itu beliau shalat witir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau hingga datang waktu fajar.
Pagi harinya, kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami menunggumu tadi malam dengan harapan engkau akan shalat bersama kami”. “Sungguh aku khawatir kalau akhirnya shalat itu menjadi wajib atas kalian”, jawab beliau.
Sebagai seorang pakar hadits, Ibnu Hibban menjadi panutan para ulama hadits. Adapun di bidang fiqih, ia menjadi penganut mahdzab Syafi’i. Bahkan biografinya termaktub dalam Thaqabat asy-Syafi’iyyah, sebuah kitab yang merekam biografi para ulama mahdzab Syafi’i
Kun-yah | Abu Hatim, Abu Bakar (ابو حاتم, ابو بكر) |
---|---|
Nama | Ibnu Hibban ابن حبان |
Nasab | Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Habban bin Mu'adz bin Ma'bad bin Sahid bin Hadiyyah, Ibnu Murrah bin Sa'id bin Yazid bin Murrah bin Zaid bin 'Abdillah binDaarim bin Handlolah bin Malik, Ibnu Zaid Manaah bin Tamim At-Tamimi Ad-Darimi Al-Busti |
Nisbah | At-Tamimi Ad-Darimi Al-Busti |
Lahir | 270 H (884 M) Busti (sekarang Lashkar gah), Afghanistan |
Meninggal | 354 H (965 M) Busti (sekarang Lashkar gah), Afghanistan |
Dimakamkan di | Lashkar Gah), Afghanistan |
Etnis | Arab |
Zaman | Zaman kejayaan Islam |
Jabatan | Muhaddits, fukaha |
Firkah | Suni |
Mazhab Fikih | Mazhab Syafi'i[2] |
Minat utama | hadis |
Karya yang terkenal | Shahih Ibnu Hibban |
Dipengaruhi oleh | |
Mempengaruhi |
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ nama dan nasab lengkapnya adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Habban bin Mu'adz bin Ma'bad bin Sahid bin Hadiyyah, Ibnu Murrah bin Sa'id bin Yazid bin Murrah bin Zaid bin 'Abdillah bin Daarim bin Handlolah bin Malik, Ibnu Zaid Manaah bin Tamim At-Tamimi Ad-Darimi Al-Busti
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "صحيح ابن حبان (ت: شاكر) ج 1 - المكتبة الوقفية للكتب المصورة PDF". waqfeya.com (dalam bahasa Arab). Archived from the original on 2020-09-24. Diakses tanggal 27 Januari 2021.
- ^ Fück, J.W. (2012). "Ibn Hibban". Dalam Bearman; Bianquis; Bosworth; Donzel; Heinrichs. Enyclopaedia of Islam (edisi ke-2). Brill. doi:10.1163/1573-3912_islam_SIM_3199. ISBN 9789004161214. Diakses tanggal 27 Januari 2021.