Lompat ke isi

Ikhtilath

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ikhtilath (bahasa Arab: اختلاط, translit. Ikhtilāṭ) adalah istilah dalam bahasa Arab yang secara harfiah berarti "pembauran" atau "pencampuran." Dalam konteks Islam, istilah ini mengacu pada percampuran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam suatu tempat atau kegiatan tertentu. Konsep ikhtilath berhubungan erat dengan ajaran Islam tentang adab, batasan pergaulan, dan pemisahan antara jenis kelamin untuk menjaga kehormatan dan kesucian.[1][2][3][4]

Secara umum, ikhtilath dipahami sebagai interaksi bebas antara laki-laki dan perempuan non-mahram yang tidak memiliki kepentingan syar'i. Dalam pandangan Islam, interaksi ini dianggap berpotensi menimbulkan fitnah (godaan) atau pelanggaran nilai-nilai moral. Oleh karena itu, Islam memberikan panduan tertentu untuk mengatur interaksi ini, seperti menjaga pandangan ghadhul bashar, berpakaian sesuai syariat, dan menghindari situasi yang dapat memancing perilaku tidak pantas.[5][3]

Ikhtilath tidak selalu dilarang secara mutlak. Beberapa ulama membedakan antara ikhtilath yang terkontrol, seperti dalam konteks pekerjaan atau pendidikan yang tetap mematuhi adab Islam, dengan ikhtilath yang tidak memiliki batasan, seperti pergaulan bebas.[6]

Ikhtilath di berbagai negara

[sunting | sunting sumber]

Penerapan ikhtilath bervariasi di berbagai masyarakat Muslim. Di beberapa negara yang menerapkan hukum Islam secara ketat, seperti Arab Saudi, pemisahan antara laki-laki dan perempuan dilakukan di berbagai tempat publik, termasuk sekolah, kantor, dan acara sosial. Sebaliknya, di negara-negara lain, ikhtilath diterima dalam batas-batas tertentu selama tidak melanggar adab Islam.[7]

Dalam konteks pendidikan dan pekerjaan, interaksi antara laki-laki dan perempuan sering kali tidak dapat dihindari. Ulama umumnya memperbolehkan ikhtilath dalam situasi seperti ini dengan syarat tetap menjaga adab dan menghindari khalwat (berduaan) yang dilarang.[7]

Penyebutan dalam Al-Qur'an dan hadits

[sunting | sunting sumber]

Konsep ikhtilath didasarkan pada sejumlah ayat Al-Qur'an dan hadits. Dalam Surat An-Nur ayat 30-31, Allah memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan mereka. Selain itu, hadits Nabi Islam Muhammad juga memberikan panduan mengenai pemisahan tempat untuk laki-laki dan perempuan, seperti dalam shalat berjamaah di masjid.

Misalnya dalam sebuah hadis, Nabi Islam Muhammad bersabda,

"Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf pertama, dan sebaik-baik shaf perempuan adalah shaf terakhir"* (HR. Muslim). Hadits ini sering dijadikan dasar pentingnya pemisahan dalam konteks ibadah dan kegiatan lainnya untuk menghindari ikhtilath.

Pandangan

[sunting | sunting sumber]

Ulama berbeda pendapat tentang batasan ikhtilath. Sebagian besar sepakat bahwa ikhtilath yang tidak terkontrol, seperti pergaulan bebas di luar kebutuhan syar'i, adalah terlarang. Namun, mereka juga mengakui bahwa dalam situasi tertentu, seperti di tempat umum atau dalam urusan darurat, interaksi antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dihindari.

Ketika Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah menyebutkan berbagai macam bid’ah, Ia berkata:[Catatan 1]

“Dan (termasuk bid’ah) keluarnya orang-orang laki-laki bersama-sama atau sendiri-sendiri bersama para wanita dengan berikhtilath”

Kemudian Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi mengomentari ucapan Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas dengan perkataan:[Catatan 2]

“Ini (ikhtilath) terlarang, tidak boleh. Oleh karena itulah penulis memasukkannya (ke dalam bid’ah). Dan dalil-dalil diharamkannya ikhtilath sangat banyak, sebagian (ulama) yang cemburu (terhadap agama) –mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah mengumpulkan dalil-dalil itu di dalam buku-buku tersendiri. Adapun orang-orang yang tersilaukan oleh pelacuran Barat yang kafir, yang tertipu oleh kesesatan peradaban modern, menurut persangkaan mereka!!!, mereka terombang-ambing di dalam kegelapan-kegelapan mereka, berbuat sembarangan di dalam kebodohan mereka, mencari-cari fatwa-fatwa dari berbagai tempat yang membolehkan ikhtilath semacam ini untuk mereka… padahal ikhtilath itu, demi Allah, merupakan kesesatan yang nyata! Mudah-mudahan mereka berfikir…dan kembali menuju kebenaran”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari,Ia Berkata :[Catatan 3]

“Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya“.

Nabi Islam Muhammad ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu.

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ikhthilath (bercampur-baur) orang-orang laki-laki dengan para wanita di jalan itu adalah dengan berdeasak-desakan atau berjalan bersama-sama, maka Nabi Islam Muhammad memerintahkan kepada para wanita agar berjalan di pinggir jalan.

Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata:[Catatan 4]

“Dan sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf.”

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang ulama dari Yaman) berkata:[Catatan 5]

“Saling berdesakan antara para wanita dengan orang-orang laki-laki, termasuk sebab-sebab (jalan-jalan) fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-Red). Oleh karena itulah Nabi n tetap di tempatnya sebentar (setelah shalat), begitu juga para sahabat yang bersama beliau, sebagaimana di dalam riwayat Bukhari (no:866), sedangkan para wanita langsung berdiri setelah salam. Tetapi di zaman kita telah terjadi ikhtilah pada banyak pekerjaan, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya”

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid juga mengisyaratkan makna ikhtilath ketika beliau menjelaskan beberapa syarat keluarnya wanita menuju masjid. Ia berkata:[Catatan 6]

“Hendaklah (wanita) tidak berdesakkan dengan orang-orang laki-laki, baik di jalan atau di (masjid) Jami’

Pendekatan terhadap ikhtilath sering kali dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan kebutuhan modern. Di beberapa negara lain, fatwa tentang ikhtilath cenderung lebih longgar untuk mengakomodasi partisipasi perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan, sementara negara lain tetap mempertahankan aturan yang lebih ketat.

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Ikhtilath menjadi salah satu topik yang sering diperdebatkan di kalangan umat Islam, terutama di era modern. Sebagian kalangan menganggap aturan yang ketat mengenai ikhtilath sebagai penghalang bagi perempuan untuk berperan aktif di masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan dan karier. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa longgarnya batasan ikhtilath dapat menyebabkan degradasi moral dan pelanggaran nilai-nilai Islam.[8]

Perdebatan ini mencerminkan tantangan dalam menyeimbangkan nilai-nilai agama dengan tuntutan kehidupan kontemporer. Dalam berbagai forum, ulama dan pemikir Islam terus mengkaji bagaimana menerapkan konsep ikhtilath secara relevan tanpa mengurangi esensi ajaran agama.[8]

  1. ^ Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi
  2. ^ Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi
  3. ^ Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 568, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H
  4. ^ Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M
  5. ^ Nashihati Lin Nisa’, hal:120, Darul Haramain, cet:I, th:1421 H – 2000 M
  6. ^ Hirasatul Fadhilah, hal:100, Darul ‘Ashimah, cet:II, th: 1421 – 2000 M

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Ikhtilath Sebuah Maksiat | Almanhaj". almanhaj.or.id (dalam bahasa Inggris). 2010-09-26. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  2. ^ Isnanto, Bayu Ardi. "Ikhtilat Adalah: Pahami Arti dan Hukumnya dalam Islam". detikhikmah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  3. ^ a b "Back Matter". Nashim: A Journal of Jewish Women's Studies & Gender Issues (31). 2017. doi:10.2979/nashim.31.bm. ISSN 0793-8934. 
  4. ^ "Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung RI". kepaniteraan.mahkamahagung.go.id. 2021-12-10. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  5. ^ Isnanto, Bayu Ardi. "Ikhtilat Adalah: Pahami Arti dan Hukumnya dalam Islam". detikhikmah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  6. ^ Isnanto, Bayu Ardi. "Ikhtilat Adalah: Pahami Arti dan Hukumnya dalam Islam". detikhikmah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-12. 
  7. ^ a b Liputan6.com (2023-01-25). "Ikhtilat Adalah Pembauran, Kenali Perbedaannya dengan Khalwat". liputan6.com. Diakses tanggal 2024-12-12. 
  8. ^ a b Nabila, Putri Najah (2024-07-16). "Analisis Hukum Ikhtilath dalam Al-Qur'an". Qudwah Qur'aniyah: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir. 2 (1): 61–80. doi:10.30631/qudwahquraniyah.v2i1.2408. ISSN 2988-1919.