Industri tekstil di Indonesia
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Industri tekstil di Indonesia merupakan penghasil devisa ekspor yang kian meningkat jumlahnya. Tekstil akan tetap menjadi industri andalan di masa yang akan datang dikarenakan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dibandingkan dengan industri lainnya. Industri tekstil modern termasuk industri padat modal dan karya. Investasi yang dibutuhkan meliputi mesin-mesin, perlengkapan pabrik, dan lahan yang luas. Sebagian besar dari industri tekstil modern dioperasikan oleh pemodal besar, termasuk asing. Hal ini dikarenakan dibutuhkan modal yang besar. Industri tekstil diakui sebagai industri padat karya yang mampu menyerap 0,82 tenaga kerja untuk tiap sejuta rupiah investasi. Diperkirakan 1,5 juta tenaga kerja Indonesia atau sekitar 20% dari seluruh tenaga kerja nasional terserap dalam subsektor industri ini. Sebagian lokasi industri tekstil berada di Pulau Jawa, terutama di jawa Barat dan Daerah kusus Ibu kota.[1]
Struktur industri tekstil di Indonesia terdiri dari beberapa jenis industri membentuk sebuah rangkaian struktur dari hulu ke hilir. Industri pakaian jadi mulai berkembang pada pertengahan 70-an, yaitu pada saat produsen tekstil dalam negeri telah mampu menyediakan tekstil jadi untuk diproses menjadi pakaian jadi. Pada dasawarsa 70-an pemerintah membuat kebijakan yang bertujuan untuk memacu sektor industri dalam negerisebagai subtitusi produk impor. Kemudahan proteksi dan subsidi kredit diberikan agar dapat merangsang penanam modal pada sektor industri ini. Namun tanpa disadarai, investasi secara besar-besaran berdampak pada kelebihan produksi.Produsen kurang memperhatikan mutu produknya.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Lumbantoruan, Magdalena (1992). Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis, dan Manajemen. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. hlm. 404-405.