Lompat ke isi

Jatirejo, Suruh, Semarang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jatirejo
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenSemarang
KecamatanSuruh
Kode pos
50776
Kode Kemendagri33.22.04.2003 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 7°22′24″S 110°34′8″E / 7.37333°S 110.56889°E / -7.37333; 110.56889


Jatirejo adalah merupakan sebuah desa di kecamatan Suruh, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.

Jejak Sunan Kalijaga di Desa Jatirejo

[sunting | sunting sumber]

ORANG zaman sekarang mungkin tidak mengira jika di Dukuh Kauman, Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Sunan Kalijaga pernah singgah dan membangun masjid. Bagi masyararakat asli dukuh itu, cerita ini sangat dipercaya. Sebab di lokasi tersebut terdapat sebuah masjid, konon peninggalan Sunan Kalijaga.

Menurut penuturan HM Hafik Amin (80), salah seorang sesepuh desa, Masjid Baiturrahim dibangun Sunan Kalijaga sekitar tahun 1450 masehi. ''Saat hendak membangun masjid, Sunan Kalijaga mengajak beberapa tokoh masyarakat berdiskusi di Balai Panjang,'' ujarnya.

Di balai yang tak jauh dari lokasi masjid, Sunan Jati (pendiri Desa Jatirejo) juga terlibat dalam perbincangan pembangunan masjid, yang dipercaya dibangun pada hari Kamis. Lalu, pada keesokan harinya, Jumat Legi, diadakanlah syukuran di Balai Panjang.

Syukuran inilah yang kemudian diperingati oleh warga pada setiap Jumat Legi untuk mohon berkat hingga sekarang.''Dulu setiap Jumat Legi di lokasi Balai Panjang banyak yang berjualan makanan, jenang, kembang, maupun mereka yang menyebar uang. Bahkan di tempat itu juga digelar seni reog.''

Sembunyi-sembunyi

Hafik menjelaskan, mulanya pembangunan masjid dilakukan secara sembunyi-sembunyi di daerah Jaten, sebelum fajar.''Lantaran saat itu ada orang yang datang ke lokasi menyebar benih jagung, maka lokasi masjid pun di pindah ke tempat sekarang,'' terangnya.

Saat itu, orang yang menyebar benih jagung ditegur, karena gugup orang itu mengatakan bahwa yang dia sebar adalah benih jati. Ajaibnya, benih jagung yang disebar justru tumbuh menjadi tanaman jati. Makanya, tempat ini dinamakan Jaten dan desa sekitar dinamakan Jatirejo.

Diceritakan, dalam masjid ada beberapa kejadian unik yang sulit diterima akal sehat. Setiap asar, ada yang bermain-main dengan pukulan kentongan di serambi masjid, tetapi wujudnya tidak terlihat.''Pernah ada sebatang kayu masjid yang dicuri saat dilakukan rehab, tetapi kayu tersebut kembali lagi ke tempatnya,'' kata Hafik.

Dalam perkembangannya, masjid tersebut sudah mengalami beberapa kali perbaikan. ''Yang masih asli dari peninggalan Sunan Kalijaga adalah tongkat kotbah dan salah satu tiang yang kini disimpan di atap. Tongkat tersebut sudah pernah sampai ke Cirebon, tetapi kembali lagi ke sini,'' jelasnya.

Sementara Chozin Zamahsyari (62), pengurus masjid menambahkan, dulu yang mengumandangkan adzan bernama khotib Panawangan. Meski tanpa pengeras suara, suara adzan bisa terdengar sampai beberapa kilometer. Hingga sekarang, makam dari khotib bisa dijumpai di sana dan sering dikunjungi kiai untuk memohon berkat Sunan Jati. (Leonardo Agung B-18)

sumber: suara merdeka http://www.suaramerdeka.com/harian/0710/02/kot33.htm Diarsipkan 2009-01-08 di Wayback Machine.

[han]

Pesan 1 Muharram dari Karnaval Budaya di Desa Jatirejo.

[sunting | sunting sumber]

Minggu, 2 Oktober 2016 | 06:23 WIB 4932 Shares

SALATIGA, KOMPAS.com - Hujan tidak menghalangi ratusan warga Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, untuk mengikuti pawai ta'aruf yang dikemas dalam karnaval budaya menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1438 Hijriah, Sabtu (1/10/2016).Tua-muda, hingga anak-anak dari enam dusun di Desa Jatirejo terlibat dalam kegiatan tersebut. Kendati hujan, pawai ta'aruf tersebut berlangsung semarak dan penuh warna-warni kostum yang kontras dengan alam pedesaan yang hijau. Mereka berjalan kaki menempuh rute sepanjang 1 kilometer, mulai dari Dusun Dukuh hingga Dusun Kauman. Iring-iringan karnaval diawali rombongan pembawa panji-panji bertuliskan ayat Al Quran yang mengenakan pakaian ala Wali Songo. Di belakangnya, diikuti berbagai kesenian, berbagai replika Kabah, masjid dan replika Al Quran. Selain itu, juga ada gunungan yang berisi beraneka ragam hasil pertanian seperti sayur dan buah-buahan. Salah satu kesenian yang paling mendapatkan perhatian adalah Tari Kuntulan. Sebab, kesenian ini terbilang langka dan hampir punah. Para penarinya juga kebanyakan adalah para orang tua. Mereka memakai pakaian putih berumbai warna-warni, memakai peci dan kacamata hitam serta membawa kipas. Diiringi rebana dan lantunan syair-syair Jawa serta shalawat, mereka menari menyesuaikan ritmis dan secara dinamis.Ketua panitia pawai, Busyairi mengatakan, kegiatan ini selain bertujuan mempererat silaturahim antar-warga, juga bertujuan mengingatkan umat muslim agar memperbaharui lembaran hidup dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang lebih baik."Kami ingin tahun baru ini juga disambut dengan meriah dan penuh syiar, jangan hanya tahun baru nasional saja," ujar Busyairi."Semoga dengan peringatan 1 Muharram ini, kita bisa melihat kepada diri kita terutama mengingat kepada yang khalik, lebih rajin beribadah dan beramal sholeh," kata dia. Tidak hanya syiar Islam, pawai ta'aruf ini juga mengusung pesan kepedulian terhadap lingkungan. Salah satunya ditampilkan oleh berbagai grup drumblek, yakni aneka tetabuhan dari bahan-bahan bekas seperti tong bekas, kaleng hingga kentongan. Dengan koreografi yang cantik, berbagai barang bekas tersebut ternyata bisa menghasilkan musik yang rampak dan dinamis. Selain musik, pesan mencintai lingkungan juga ditampilkan oleh sejumlah peserta yang memakai kostum dari koran bekas. Salah satunya diperagakan oleh Intan Eka Sari. Menurut Intan, untuk membuat satu kostum dibutuhkan sekitar 200 hingga 300 lembar koran bekas dengan lama pembuatan memakan waktu hingga dua pekan. Dengan kostum koran tersebut, Intan ingin mengajak generasi muda lebih peduli pada kelestarian lingkungan. "Biar pemuda-pemuda di daerah kita itu lebiih kreatif dengan barang-barang yang ada," kata Intan.

Petilasan Sunan Kalijaga

Setelah menggelar karnaval budaya dengan menampilkan berbagai seni budaya masyarakat setempat, peringatan tahun baru Islam 1 Muharram 1438 Hijriah di desa Jatirejo masih berlanjut pada malam hari. Warga menggelar pengajian akbar dan haul atau peringatan hari wafatnya Sunan Jati, yakni tokoh penyebar agama Islam di desa tersebut yang konon hidup di era Wali Songo. Kegiatan Haul Sunan Jati bertempat di Balai Panjang di kompleks pemakaman sesepuh desa Jatirejo. Menurut salah satu keturunan Sunan Jati, Hadzik mengungkapkan, Balai Panjang adalah sebuah gubuk jati yang diyakini oleh warga pernah menjadi tempat musyawarah antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Jati dan beberapa pengikutnya. "Balai panjang ini setiap Jumat Legi pagi banyak didatangi warga luar desa untuk berdoa," kata Hadzik.Selain Balai Panjang, petilasan Sunan Kalijaga dan Sunan Jati yang masih bisa ditemui di desa Jatirejo adalah Masjid Jatirejo, Wajan Raksasa, tombak peninggalan Sunan Kalijaga. Ada juga makam Khotib Penawangan, yakni seorang utusan kerajaan Demak yang ditugasi mencari keberadaan Sunan Kalijaga di Desa Jatirejo."Wajan raksasa dan tombak disimpan di masjid. Kalau tombaknya masih dipakai oleh khatib di mimbar setiap pelaksanaan sholat jumat," ujar Hadzik.

Kegiatan pawai ta'aruf dan Haul Sunan Jati di desa Jatirejo merupakan salah satu potret budaya masyarakat di Jawa Tengah dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriah.Tidak semata-mata kegiatan budaya, banyak pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan pawai taaruf menyambut tahun baru ini. Selain bermakna sejarah, kegiatan ini juga membawa pesan agar warga membuat perubahan ke arah yang lebih baik, seperti menjaga alam dan kelestarian lingkungan.Sesuatu yang sejalan dengan spirit Hijriah, yakni berhijrah menuju arah yang lebih baik.

[han]

Penulis : Kontributor Ungaran, Syahrul Munir
Editor : Bayu Galih

http://regional.kompas.com/read/2016/10/02/06235321/pesan.1.muharram.dari.karnaval.budaya.di.desa.jatirejo.

dusun: 1. Kauman 2. Gruneng 3. Krajan 4. Klewonan 5. Gedongan 6. Noloprayan 7. Dukoh