John Leslie Mackie
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 25 Agustus 1917 Sydney |
Kematian | 12 Desember 1981 (64 tahun) Oxford |
Data pribadi | |
Agama | Ateisme |
Pendidikan | Universitas Sydney Oriel College (en) |
Kegiatan | |
Pekerjaan | filsuf, dosen |
Bekerja di | Universitas Oxford Universitas Otago Universitas Sydney |
Aliran | Ateisme |
Keluarga | |
Anak | Penelope Mackie (en) |
Penghargaan |
John Leslie Mackie adalah salah satu kritikus teisme yang menggunakan metode logika atas adanya kejahatan.[1] Ia merupakan filsuf ateis yang mengemukakan argumentasi mengenai kejahatan dan penderitaan sebagai pembuktian atas ketidakberadaan Tuhan.[2]
Pemikiran
[sunting | sunting sumber]Masalah logis kejahatan
[sunting | sunting sumber]Mackie meyakini bahwa Tuhan tidak ada jika ditinjau dari sifat Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik. Dalam pandangannya ini, Tuhan disebut sebagai Allah. Ia mengajukan tiga proposisi yang membuktikan ketidakberadaan Tuhan, yaitu Allah itu mahakuasa, Allah itu mahabaik, dan kejahatan itu ada. Ia memperlihatkan adanya kontradiksi antara proposisi pertama dan kedua dengan proposisi ketiga. Kontradiksi yang dinayatakannya ialah bahwa kejahatan masih ada meskipun sifat dari Allah adalah mahakuasa dan mahabaik. Dalam kondisi ini, seharusnya Allah mampu menghilangkan semua jenis kejahatan karena ia mahakuasa dan mahabaik. Namun, dalam kenyataan, kejahatan masih tetap ada. Karenanya, Allah itu tidak ada.[3]
Mackie menyatakan bahwa adanya kejahatan merupakan bukti bahwa klaim teisme mengenai sifat Tuhan yang mahabaik dan mahakuasa bersifat tidak konsisten. Ia meyakini bahwa Tuhan mampu menciptakan dunia yang di dalamnya tidak terdapat kejahatan sama sekali. Ia meyakini bahwa mustahil bagi Tuhan untuk tidak dapat menciptakan dunia dengan moral yang sepenuhnya baik dan tanpa adanya kejahatan. [4]
Pemikiran Mackie ini memperoleh pengaruh dari pemikiran Epikuros mengenai hubungan antara Allah dan kejahatan. Epikuros menyatakan empat hipotesa yang berkaitan antara Allah dan kejahatan. Hipotesa pertama, Allah ingin meniadakan kejahatan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk meniadakannya. Pada hipotesa pertama, Allah baik hati tetapi tidak mahakuasa. Hioptesa kedua, Allah tidak mau meniadakan kejahatan meskipun memiliki kemampuan untuk meniadakannnya. Pada hipotesa kedua, Allah mahakuasa tetapi buruk hati. Hipotesa ketiga, Allah tidak mampu dan tidak mau meniadakan kejahatan. Hipotesa ini menandakan bahwa Allah buruk hati dan tidak mahakuasa. Sedangkan hipotesa keempat, Allah mampu dan mau meniadakan kejahatan. Hipotesa keempat ini menjadi kondisi yang ideal bagi Allah. Namun, kejahatan tetap ada di dunia. Karenanya, Epikuros berkesimpulan bahwa Allah tidak ada.[5]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Gultom 2016, hlm. 27.
- ^ Alinurdin 2020, hlm. 1.
- ^ Alinurdin 2020, hlm. 1-2.
- ^ Gultom 2016, hlm. 28.
- ^ Gultom 2016, hlm. 28-29.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Alinurdin, David (2020). "COVID-19 dan Tumit Achilles Iman Kristen". Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan. 19 (1).
- Gultom, Andri Fransiskus (2016). "Enigma Kejahatan dalam Sekam Filsafat Ketuhanan". Intizar. 22 (1).