Lompat ke isi

Jurnalisme pacuan kuda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jurnalisme pacuan kuda adalah jurnalisme yang membingkai pemilu tak ubahnya liputan pacuan kuda (horse race coverage).[1][2] Dalam pacuan kuda, seekor kuda bukan dinilai berdasarkan kecepatan atau keterampilan absolutnya, tetapi didasarkan atas perbandingan dengan kuda lainnya, terutama berdasarkan kemenangan dan kerugian.[2]

Dalam jurnalisme pacuan kuda, media menghadirkan liputan aksi saling serang secara verbal di antara pendukung masing-masing kontestan untuk meramaikan perlombaan. Liputan ini tak ubahnya sedang menonton pacuan kuda.[1] Media mereduksi kompleksitas persoalan dalam kontestasi politik hanya menjadi siapa yang menjadi pihak yang menang dan siapa pula sosok yang bakal menjelma sebagai pecundang.[3]

Efek negatif jurnalisme pacuan kuda

[sunting | sunting sumber]

Sepintas, jurnalisme pacuan kuda terlihat menarik karena menghadirkan politik yang riuh dan melibatkan masing-masing pendukung. Terlepas dari itu semua, jurnalisme pacuan kuda menyimpan masalah antara lain:

Memperuncing konflik

[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme pacuan kuda akan berpotensi memperuncing konflik di antara masing-masing pendukung.[1] Hal ini terjadi karena media lebih fokus pada laporan siapa yang menang (who's leading) dan siapa yang kalah (who's losing out). Akibatnya perang wacana yang bersifat menyerang akan mendominasi.[4]  

Depolitisasi

[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme pacuan kuda dianggap merendahkan politik dan menyebabkan warga negara menjadi sinis dan kurang percaya pada politisi; setidaknya pada tingkat tertentu atau untuk individu tertentu.[5] Jurnalisme pacuan kuda menjadikan masyarakat mengalami depolitisasi. Hal ini karena masyarakat dijauhkan dari kompleksitas politik yang seharusnya ditangani secara serius. Penampilan fisik calon, luapan kedangkalan retorika, dan tata busana para kandidat memang lebih mempesona daripada sekian banyak visi, misi, dan program-program.[3]

Bagi pemilih yang terdidik, ruang publik yang hanya dipenuhi angka-angka polling terbaru dan persaingan dangkal di antara kedua kubu hanya akan melahirkan sinisme dan apatisme terhadap proses pemilu.[1]

Ketidakpercayaan terhadap media

[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme pacuan kuda yang diikuti dengan lembaga survei opini publik yang hanya mengejar efek bandwagon hanya akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap media. Peneliti media dari Harvard Kennedy School, Thomas E.Patterson telah mengingatkan bahwa media berita hanya akan mengecewakan pemirsanya jika memprioritaskan hasil jajak pendapat dan strategi kampanye dibandingkan diskusi tentang kualifikasi kandidat, gaya kepemimpinan, dan posisi kebijakan.[6]

Survei palsu yang diberitakan dalam sejumlah media massa masih kerap terjadi. Sejumlah lembaga yang justru dipesan untuk memanipulasi elektabilitas peserta pemilu tertentu. Yang paling menonjol, memanipulasi elektabilitas figur yang berintensi maju di pemilihan presiden (pilpres).[7]

Jurnalisme pacuan kuda di Pemilu Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme pacuan kuda terjadi di semua liputan Pemilu baik pemilihan anggota legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres), maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Permasalahan  politik  juga muncul  ketika  pemilik media berada dalam pusaran politik yang berpengaruh pada orientasi politik pemberitaan dari bisnis media yang dimilikinya.[8]

Pemilu 2014

[sunting | sunting sumber]

Pada Pemilu 2014 KPU mengajak media massa untuk tidak terjebak praktik jurnalisme pacuan kuda. Pers sebaiknya mewartakan pokok pikiran dan program semua partai maupun kandidat peserta pemilu. Ini akan menempatkan posisi pers dalam pendidikan politik masyarakat.[9] KPI pada pemilu 2014 juga meminta media massa tidak terjebak pada jurnalisme “pacuan kuda” atau persaingan antar kandidat, sebab hal ini akan mengaduk psikologis konstituen dan berpotensi melahirkan distabilitas sosial dan politik.[10]

Pemilu 2019

[sunting | sunting sumber]

Pada Pemilu 2019, Dewan Pers mengingatkan media agar menghindari jurnalisme pacuan kuda yang hanya fokus terhadap polling data, persepsi publik terhadap suatu kebijakan seorang kandidat dan persaingan serta perbedaan seorang kandidat dengan kandidat yang lainnya.[11] Contoh pemberitaan media di Pemilu 2019. Jokowi Diunggulkan 10 Lembaga Survei, Prabowo Masih Mengekor (CNN Indonesia, 6 Maret 2019); Sebulan Jelang Pemilu, Ini Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi Menurut 3 Lembaga Survei. (Kompas, 20 Maret 2019).

Pemilu 2024

[sunting | sunting sumber]

Pada Pemilu 2024, jurnalisme pacuan kuda terlihat pada sejumlah pemberitaan antara lain: Survei Indikator: Prabowo-Gibran Unggul “Head to Head” Lawan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud (Kompas.com, 19 Januari 2024); Survei CSIS Prabowo-Gibran Unggul di 8 Zona Pemilih, Ini Detailnya (Detik.com, 27 Desember 2023); Survei Indikator Politik: Prabowo-Gibran Unggul 56,2 Persen di Jatim (CNN Indonesia, 1 Februari 2024); Survei SPIN: Elektabilitas Prabowo-Gibran tembus 54,8 persen (Antara, 10 Februari 2024); dan, Quick Count PRC Sudah 100%, Prabowo-Gibran Unggul 59,22% (CNBC Indonesia, 18 Februari 2024).[3]

Semakin marak

[sunting | sunting sumber]

Walau jurnalisme pacuan kuda banyak dikritik, tetapi pemberitaan jenis ini dianggap tidak akan berkurang bahkan semakin meningkat.[6]

Salah satu bentuk keinginan media massa untuk tetap menggunakan jurnalisme pacuan kuda terlihat saat Washington Post menugaskan wartawan baseball Chelsea Janes dalam kampanye 2020 di Amerika Serikat. Kebijakan ini dikritik profesor dari Columbia University Todd Gitlin yang menyebut bahwa “(jurnalisme) pacuan kuda adalah hal yang terpenting bagi media besar.”[12]

Catatan Kaki

[sunting | sunting sumber]

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]