Zainal Abidin (tokoh agama)
Sumber referensi dari artikel ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar. |
K.H. Zainal Abidin | |
---|---|
Lahir | Blora, Jawa Tengah |
Meninggal | 1922 Blora, Jawa Tengah |
Tempat tinggal | Talokwohmojo, Ngawen, Blora |
Dikenal atas | Tokoh Masyarakat |
Gelar | Kiai Haji |
Pengganti | K.H. Ahmad Hasan |
Suami/istri | Nyai Haminah Nyai Ruqayyah |
K.H. Zainal Abidin adalah pendiri sebuah pondok pesantren di Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada tahun 1900, dan di sana sekarang menjadi basis penggemblengan Tarekat terbesar di Kabupaten Blora.
Kelahiran
[sunting | sunting sumber]Berawal dari tokoh agama berjuluk Longko Pati dari desa Nganguk Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bersama istrinya, mereka pindah dari kota Pati ke kota Blora, tepatnya di Banjarwaru Kec. Ngawen Kab. Blora, tanpa diketahui alasannya. Di sinilah lahir seorang putra bungsu bernama Zainal Abidin yang dalam perkembangannya mempunyai kecakapan ilmu agama. Kemahiran ilmu agamanya menimbulkan ketertarikan seorang hartawan di desa Talokwohmojo hingga suatu ketika Zainal Abidin dinikahkan dengan salah seorang putrinya bernama Haminah. Dari pernikahan inipun membawa babak baru dalam sejarah Desa Talokwohmojo.
Pendiri Pesantren
[sunting | sunting sumber]Melihat potensi anak menantunya, ayah mertua Zainal Abidin memberikan sebidang tanah seluas satu hektare di bilangan desa Talokwohmojo untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama. Pada tahun 1900, di atas tanah pemberian mertuanya, dibangun sebuah langgar kecil untuk salat berjemaah warga sekitar. Selain berjamaah langgar itu juga dijadikan tempat belajar Alquran sekaligus kitab-kitab kuning. Itu sebabnya, tempat ini lebih dikenal sebagai pondok pesantren.
Pada tahun-tahun berikutnya Zainal Abidin tidak hanya mengajarkan ilmu fikih dan ilmu Alquran saja, sebab pada tahun 1908 ia resmi diangkat sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah. Artinya ia telah mendapatkan izin mengajar dan mebaiat para santri tarekat di Desa Talokwohmojo pada khususnya dan warga desa sekitar pada umumnya.
Pelajaran tarekat itu didapatkan dari salah seorang mursyid Tareqat Naqsabandiyah Khalidiyah bernama K.H Ahmad Rowobayan, Padangan, Kabupaten Bojonegoro, ujung barat provinsi Jawa Timur. Mulai tahun tersebut terdapat dua corak pendidikan agama; fikih-salaf dan tasawuf-tarekat. Pesantren itu merupakan pondok pesantren pertama dan tertua, serta satu-satunya pondok pesantren tarekat di kota Blora.
Generasi Penerus
[sunting | sunting sumber]Dari pernikahan dengan Haminah ia mendapatkan sembilan anak dengan perincian anak laki-laki berjumlah enam dan anak perempuan berjumlah tiga. Ia dinikahkan dengan murid guru tarekatnya bernama Ruqayyah setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dengan Ruqayah ia mendapatkan tiga putra dan putri. Kemudian pada tahun 1922 K.H Zainal Abidin menghadap Allah Swt.
Periode selanjutnya pondok salaf dan tarekat di pegang oleh putra pertama dari istri pertama, K.H Ahmad Hasan. Pada masa ini pondok sempat mengalami guncangan saat menghadapi penjajah, terutama penjajah Jepang. Tindakan represif di alamatkan pada pondok pesantren tersebut, hingga pada akhirnya K.H Ahmad Hasan wafat pada tahun 1942.
Sepeninggal K.H Ahmad Hasan, adiknya, K.H Ismail, meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Ia adalah putra putra kedua dari ibu pertama pendiri pondok tersebut. Ia murid kesayangan dari K.H Kholil Kasingan Rembang dan juga sempat berguru kepada Hadratus Syekh K.H Hasyim Asyari di Tebuireng. Di tangan K.H. Islamil tersebut pondok mengalami perkembangan pesat, santri dari luar kota mulai berdatangan. Selain tempat persinggahan, pondok tersebut juga digunakan sebagai tempat perlindungan para ulama, pejabat dan masyarakat. Tercatat dalam sejarah pada tahun 1948 terjadi pemberontakan PKI pertama. Pondok tersebut menjadi tempat perlindungan ulama-ulama dan pejabat pemerintahan dari ancaman PKI. Akhir September pada tahun tersebut Blora dapat dikuasai oleh PKI Muso dan dalam waktu singkat membentuk pemerintahan baru.
Para pejabat dan ulama mendapatkan ancaman bahkan aksi pembantaian. Bupati Blora dan tokoh-tokoh yang lain di bantai oleh PKI pada saat itu. Demikian pula saat agresi militer belanda yang kedua pada tahun 1949. Pondok Pesantren tersebut juga pernah menjadi markas pertahanan para tentara dan sukarelawan sewaktu melawan Belanda. K.H Ismail wafat tahun 1956.
Perkembangan Pesantren
[sunting | sunting sumber]Pada periode ini kepemimpinan diserahkan kepada putra mantu dari putri dari istri kedua K.H Zainal Abidin, yakni K.H Nahrowi. Mulai dari periode ini terdapat pemisahan pengelolaan pondok syariat dan tarekat. K.H Nahrowi mengelola pondok tarekat dan pondok syariat di serahkan pada putra bungsu K.H Zainal Abidin, yaitu K.H Abbas. Pada periode tersebut muncul inisiatif untuk memberikan nama pondok pesantren dengan nama Mambaul Huda. Dalam memegang pondok syariat, K.H. Abbas dibantu K Rosikhin, Putra dari K.H Nahrowi. Namun pada tahun 1976 K.H Abbas wafat dan sepuluh tahun kemudian menyusul K.H Nahrowi.
Sepeninggal K.H. Abbas, pondok syariat dipegang oleh K.H Ali Ridlo, yang juga menantu K.H Abbas, sedangkan sepeninggal K.H Nahrowi pondok tarekat diserahkan kepada putranya, K.H Musthofa Nahrowi. Ia merupakan merupakan mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah yang di baiat oleh ayahnya sendiri. Meskipun banyak perkumpulan pengajian tarekat semisal Syadziliyah dan Qodiriyah, di Blora hanya ada satu mursyid yaitu muryid yang ada di Pondok Pesantren Mambaul Huda. Sekarang, corak pendidikan yang ada di sana bukan hanya syariat dan tareqat, namun juga telah mengikuti kurikulum negara.
Referensi dan Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Sejarah Pondok Pesantren Mambaul Huda
- Dikutip dari Imam Ali Bashori; Respon Tarekat Terhadap Relasi Agama dan Negara Di Indonesia.