Lompat ke isi

Kampanye pasifikasi Belanda di Formosa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Serangkaian aksi militer dan langkah diplomatik dijalankan pada tahun 1635 dan 1636 oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Taiwan zaman Belanda (Formosa) yang bertujuan untuk menaklukkan desa-desa penduduk asli yang bermusuhan dengan Belanda di wilayah barat daya pulau tersebut. Sebelum kampanye tersebut, Belanda telah berada di Formosa selama sebelas tahun, tetapi tidak menguasai sebagian besar pulau tersebut di luar benteng utama mereka di Tayouan (kini Anping, Tainan), dan aliansi dengan kota Sinkan. Desa-desa penduduk asli lainnya di daerah tersebut melancarkan banyak serangan terhadap Belanda dan sekutunya, dengan pihak bertikai yang utama adalah desa Mattau, yang penduduknya pada tahun 1629 menyergap dan membantai sekelompok enam puluh tentara Belanda.

Setelah menerima bala bantuan dari markas kolonial di Batavia, Belanda melancarkan serangan pada tahun 1635 dan berhasil menghancurkan perlawanan serta membawa wilayah di sekitar Tainan saat ini sepenuhnya di bawah kendali mereka. Setelah melihat bahwa Mattau dan Soulang—desa-desa terkuat di wilayah tersebut—dikuasai oleh pasukan Belanda secara keseluruhan, banyak desa lain di wilayah sekitarnya datang kepada Belanda untuk mencari perdamaian dan menyerahkan kedaulatan. Dengan demikian, Belanda mampu memperluas wilayah kendali teritorial mereka secara dramatis dalam waktu singkat, dan menghindari perlunya pertempuran lebih lanjut. Kampanye tersebut berakhir pada bulan Februari 1636, ketika perwakilan dari dua puluh delapan desa menghadiri upacara di Tayouan untuk memperkuat kedaulatan Belanda.

Dengan memperkokoh wilayah barat daya di bawah kekuasaan mereka, Belanda mampu memperluas operasi mereka dari perdagangan entrepôt terbatas yang dilakukan oleh koloni sebelum tahun 1635. Perluasan wilayah ini memungkinkan akses terhadap perdagangan rusa, yang kemudian menjadi sangat menguntungkan, dan menyediakan pasokan makanan yang aman. Akuisisi teritorial baru menyediakan lahan yang subur, yang mulai digunakan Belanda untuk mendatangkan banyak pekerja Tiongkok untuk bertani. Desa-desa penduduk asli juga menyediakan prajurit untuk membantu Belanda di masa-masa sulit, terutama dalam Pembantaian Pulau Lamey tahun 1636, kemenangan Belanda atas Spanyol tahun 1642, dan Pemberontakan Guo Huaiyi tahun 1652. Desa-desa yang bersekutu juga menyediakan kesempatan bagi para misionaris Belanda untuk menyebarkan agama mereka. Kampanye pasifikasi dianggap sebagai fondasi yang membangun keberhasilan koloni di kemudian hari.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
Desa-desa di sekitar Benteng Zeelandia

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) tiba di Formosa selatan tahun 1624 dan setelah membangun benteng Benteng Zeelandia di semenanjung Tayouan, mulai menjajaki desa-desa setempat untuk kemungkinan membentuk aliansi. Meskipun awalnya tujuannya adalah untuk menjalankan koloni hanya sebagai entrepôt (pelabuhan perdagangan), Belanda kemudian memutuskan bahwa mereka perlu mengendalikan wilayah pedalaman untuk memberikan keamanan.[1] Selain itu, sebagian besar perbekalan untuk para penjajah Belanda harus dikirim dari Batavia dengan biaya yang besar dan waktu yang tidak teratur, dan pemerintah koloni yang baru berdiri itu sangat ingin memperoleh bahan makanan dan perbekalan lainnya secara lokal.[2] Perusahaan memutuskan untuk bersekutu dengan desa terdekat, yaitu Sinkan yang relatif kecil, yang mampu memasok mereka kayu bakar, daging rusa, dan ikan.[3] Namun, hubungan dengan desa-desa lain tidaklah begitu bersahabat. Permukiman penduduk asli di daerah tersebut terlibat dalam peperangan kecil-kecilan yang kurang lebih terus-menerus satu sama lain (serangan perburuan kepala dan penjarahan harta benda),[4] dan aliansi dengan Sinkan menyebabkan Belanda berselisih dengan musuh desa itu. Pada tahun 1625 Belanda membeli sebidang tanah dari penduduk Sinkan dengan harga lima belas cangan (sejenis kain), tempat mereka kemudian membangun kota Sakam untuk para saudagar Belanda dan Tiongkok.[5]

  1. ^ Shepherd (1993), hlm. 49.
  2. ^ van Veen (2003), hlm. 143.
  3. ^ van Veen (2003), hlm. 142.
  4. ^ Chiu (2008), hlm. 24.
  5. ^ Shepherd (1993), hlm. 37.

Referensi

[sunting | sunting sumber]