Kemuning, Kresek, Tangerang
Kemuning | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Banten | ||||
Kabupaten | Tangerang | ||||
Kecamatan | Kresek | ||||
Kode pos | 15628[1] | ||||
Kode Kemendagri | 36.03.06.2007 | ||||
Luas | 25 km² | ||||
Jumlah penduduk | 9669 jiwa | ||||
Kepadatan | 45 jiwa/km² | ||||
|
Kemuning adalah desa yang berada di kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia. Desa Kemuning Telah lahir Sejak Jaman Pemerintahan Sultan ageng Tirtayasa Kebijakan Sultan Ageng Tirtayasa untuk membangun sejumlah terusan yang menghubungkan sejumlah sungai dengan permukiman dan lahan pertanian warga, membuat penduduk desa di daerah ini semakin memungkinkan untuk mengangkut padi mereka dan hasil bumi lainnya dengan mudah ke pusat kota. Sultan Ageng Tirtayasa tercatat memulai pembangunan terusan pada tahun 1659. Kebijakan yang berorientasi pada pengembangan pertanian ini, dimulai dengan membuat terusan dari Sungai Tanara (Cidurian) ke Sungai Ontong Jawa (Cisadane).
Dalam rubrik Babad Banten kali ini, redaksi Banten Hits akan mengulas kebijakan-kebijakan Sultan Ageng Tirtayasa yang ingin memajukan pertanian di Banten. Untuk terwujudnya keinginan itu, Sultan Ageng bahkan memutuskan untuk tinggal di tempat pengerjaan dengan maksud supaya pembangunan menjadi lebih lancar. Seluruh bahan tulisan bersumber dari buku Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII yang ditulis Claude Guillot.
Dalam ulasan sebelumnya, Sultan Ageng Tirtayasa melalui menterinya yang giat dan setia, Kiayi Arya Mangunjaya mengerahkan semua kepala wilayah kerajaan dan memerintahkan kepada mereka untuk mengumpulkan pohon kelapa muda sebanyak seratus batang setiap orang di daerah wewenangnya. Pohon-pohon ini ditanam di dekat sungai Untung Jawa (Cisadane). Selain bertujuan untuk membuka lahan pertanian baru, proyek ini juga dimaksudkan untuk memperkuat wilayah pertahanan.
(BACA JUGA: Cisadane; Pusat Pengembangan Tanaman Kelapa dan Benteng Pertahanan)
Empat tahun kemudian pada 27 April 1663, proyek pembuatan terusan ini baru bisa direalisasi. Proyek ini menghubungkan Sungai Tanara ke Sungai Pasilian yang juga dinamakan Sungai Cimanceuri melalui Balaraja sepanjang tiga “miljen”, yakni antara 5-6 kilometer. Belanda pesimistis proyek ini bisa diwujudkan hingga ke Sungai Cisadane, karena terdapat ngarai (kloof) yang menghubungkan Sungai Pasilian dan Sungai Cisadane. Namun, Sultan Ageng tetap yakin, karena proyek pembuatan terusan ini dapat memungkinkan penduduk desa mengangkut padi dan hasil bumi mereka ke pusat kota.
Pekerjaan ini dimulai pada bulan September 1663. Pada tanggal 9 September 1663, sultan berangkat dari Banten dengan 150 kapal dan 5.000 orang laki-laki dengan maksud supaya pengerjaan terusan dapat diselesaikan dengan sangat cepat.
Tujuan dari pembangunan ini dengan jelas adalah untuk membuat tanah pertanian baru karena, bersamaan dengan waktunya dengan penggalian terusan, sultan membuat persawahan sekitar terusan dan memerintahkan segera dibangun satu lumbung padi.
Proyek ini jelas-jelas merupakan hal yang penting bagi sultan. Bahkan sultan memerintahkan agar dibangun sebuah pasanggrahan di Tanara, tempat proyek tersebut dikerjakan. Di tempat pembangunan itu, sultan tinggal selama hampir tiga bulan. Dia juga mendatangkan isteri-isteri dan bangsawan-bangsawan istana ke tempat itu. Proyek penanaman padi pertama dilakukan di tempat ini. Bulan Maret padi yang ditanam sudah bisa dipanen.
Tidak lama kemudian, dalam tahun 1664 juga, sultan memerintahkan lagi pembangunan dua proyek pengairan. Ia memerintahkan pembangunan sebuah bendungan selama musim kemarau. Sayang lokasi pembangunan bendungan ini tak diketahui. Sejumlah keterangan menyebutkan, sultan mendatangkan sejumlah “pelarian-pelarian” dari Batavia untuk membantu pembangunan itu.
Pada bulan Oktober tahun yang sama, sultan meneruskan pembangunan terusan yang mengelilingi pesanggrahan sultan di Tanara. Namun, pembangunan terusan ini lebih merupakan parit pertahanan dibanding fungsi untuk pertanian seperti terusan-terusan sebelumnya.
Pada tahun 1664, sultan juga memerintahkan untuk mengisi lumbung padi negara dengan 40 “lasten” padi, yang berarti 80 ton metrik padi. Lumbung padi itu sendiri telah ada di Banten sejak tahun 1635 – 1636. Perintah mengisi lumbung padi negara merupakan salah satu solusi sultan yang concern mengatasi soal produksi pangan di Banten.
Pada bulan Oktober 1670, diambil keputusan untuk menggali terusan baru. Kali ini antara Pontang dan Tanara; mulai dari tepi laut sampai jauh ke daratan. Tujuannya merubah tanah-tanah yang terlantar menjadi sawah. Dalam pikiran sultan, pikiran ini tidak hanya harus berguna untuk membuka tanah-tanah pertanian baru dan mengairinya, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat pertanian yang sesungguhnya. Maka, selain membuat terusan, dibangunlah 50 – 60 tempat tinggal tetap.
Dalam proyek pembangunan ini, lagi-lagi sultan terlibat seluruhnya dalam pelaksanaan proyeknya. Sultan memutuskan untuk tinggal di tempat proyek pembangunan supaya pekerjaan menjadi lebih cepat dan lancar. Hasilnya, pada pertengahan Desember–atau satu setengah bulan saja–penggalian terusan telah selesai dilakukan.
Dimasa Inilah banyak Punggawa Kerajaan , abdi raja Juga turunan- turunan raja-raja banten yang ikut babad hutan dan mencetak sawah juga membuka pemukiman baru disekitar daerah yang dibuka oleh sultan ageng tirtayasa. Muncullah Pedesan atau pedukuhan- pedukuhan baru di sekitar aliran sungai ini menjadi cikal bakal tumbuhnya desa- desa disekitar aliran sungai cisadane, cimanceri dan sungai cidurian, kemuning adalah salah satu desa yang muncul karena adanya perluasan areal persawahan Disekitar sungai ini
Tokoh Semisal Buyut Kati, Buyut Bentul, buyut Yaman Buyut banon adalah abdi dan turunan dari raja- raja banten yang membuka daerah ini menjadi Desa membuat sawah- sawah baru