Kerajaan Rambah
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Januari 2024) |
Kerajaan Rambah adalah kerajaan islam yang terletak di Kabupaten Rokan Hulu. Kerajaan Rambah adalah salah satu dari lima Kerajaan di Luhak Rokan Hulu yang memiliki ibukota kerajaan semula terletak di tepi Sungai Rokan Kanan, tetapi kemudian dipindahkan ke Pasir Pangarayan. Keberadaan kerajaan ini diperkirakan dimulai pada abad ke-16 M, di mana mereka menganut Agama Islam.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Kerajaan Rambah merupakan wilayah yang terletak di Rokan Kanan. Pada masa lalu, Rokan Hulu juga dikenal sebagai Rantau Rokan atau Luhak Rokan Hulu, karena daerah tersebut merupakan tempat tinggal suku Minangkabau yang bermigrasi dari Sumatera Barat. Pada masa penjajahan Belanda sebelum kemerdekaan, Kerajaan Rambah masuk ke wilayah Rokan Kanan. Terdapat beberapa kerajaan di wilayah Rokan Kanan, seperti Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah, dan Kerajaan Kepenuhan. Sementara itu, Rokan Kiri terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam, serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak seperti Kewalian Negri Tandun dan Kewalian Kabun. Kedua wilayah tersebut dikenal sebagai Lima Lukah. Pada tahun 1905, kerajaan-kerajaan di Rokan Kanan dan Rokan Kiri menjalin perjanjian dengan Belanda dan diakui sebagai kerajaan dengan status yang tetap. Setiap peraturan yang dibuat oleh kerajaan harus mendapatkan pengesahan dari pihak Belanda.
Kerajaan Rambah berdiri atas permintaan Tengku Raja Muda kepada ayahnya untuk mendirikan kerajaan sendiri. Ada beberapa perjanjian yang terjadi. Awalnya, wilayah Kerajaan Rambah merupakan bagian dari Kerajaan Tambusai, yang merupakan kerajaan terbesar di Rokan Hulu. Pada saat itu, Kerajaan Tambusai dipimpin oleh Yang Dipertuan Tua, yang memiliki tiga adik, yaitu Siti Dualam, Tengku Raja Muda, dan Yang Dipertuan Akhir Zaman.
Setelah perjanjian disetujui, Tengku Raja Muda mendirikan kerajaan sendiri dan diberikan rakyat serta alat kebesaran. Ia membuka Negeri di Kalu Batang Lubuk. Nama "Rambah" dipilih karena wilayah Negeri Kalu Batang Lubuk pernah dirambah oleh orang-orang Tambusai. Kerajaan Rambah berkembang dan menjadi makmur. Setelah Tengku Raja Muda meninggal, posisi Raja digantikan oleh anaknya yang bergelar Yang Dipertuan Besar.[2]
Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut[3]:
- Pertama, pihak Kerajaan Tambusai akan menaikkan raja atau kepala kerajaan dari Kerajaan Rambah hingga kepada anak cucu mereka.
- Kedua, jika raja Kerajaan Rambah meninggal, Kerajaan Tambusai berhak untuk menggantikannya.
- Ketiga, tidak ada dendam atau aniaya antara kedua belah pihak.
- Keempat, jika suku-suku dari Kerajaan Tambusai ingin bergabung dengan Kerajaan Rambah atau sebaliknya, mereka tidak boleh dicegah atau dilarang.
- Kelima, jika anggota kerajaan yang pergi tidak mengikuti adat pusaka, mereka dapat kembali ke Kerajaan Tambusai.
- Keenam, Raja Tambusai harus segera memberitahu Kerajaan Rambah jika ada kegiatan atau peristiwa penting, dan membawa pakaian dan syahab muka (simbol kehormatan) ke Kerajaan Rambah.
Silsilah Raja
[sunting | sunting sumber]Urutan Raja | Nama Raja | Gelar Raja |
---|---|---|
Raja I | Gegar Alam (Gapar Alam) | Ydp Djumadil Alam |
Raja II | Mangkuta Alam | Yang Dipertuan Djumadilalam |
Raja III | Tunggal Kuning | Yang Dipertuan Besar (alm Sakti Atap Ijuk) |
Raja IV | Pa.Manshur | Sutan Zainal |
Raja V | Sulung Bahar | Sutan Zainal (alm Besar nan Berani) |
Raja VI | Abdul Wahab | Yang Dipertuan Besar (Alm Kayo) |
Raja VII | Ali Domboer | Yang Dipertuan Besar (Alm Saleh) |
Raja VIII | Sat Lawi | Yang Dipertuan Besar (Alm Panjang Djanggut) |
Raja IX | Mohamad Syarif | sutan Zainal, Yang Dipertuan Besar |
Raja X | Tengku Saleh | Yang Dipertuan DJumadil Alam, Yang DiPertuan Besar |
Dari Tarombo Kerajaan Rambah yang saat ini masih terjaga dengan baik, terdapat daftar 10 nama Raja Rambah yang tercatat sebagai berikut[4]:
- Raja I, Gegar Alam (Gapar Alam), dengan gelar Yang Diipertoean Jumadil Alam.
- Raja II, Mangkoeta Alam, dengan gelar Yang Dipertoean Jumadil Alam.
- Raja III, Toenggal Koening, dengan gelar Yang Dipertoean Besar.
- Raja IV, Pamashoer, dengan gelar Yang Dipertoran Besar.
- Raja V, Soeloeng Bahar, dengan gelar Yang Dipertoean Besar.
- Raja VI, Abdoel Wahab, dengan gelar Yang Dipertoen Besar. tidak menikah, sehingga tidak memiliki putra/putri
- Raja VII, Ali Damhoer, dengan gelar Yang Dipertuan Besar, Menikah dan memiliki anak perempuan bernama Dendam Gelar Permaisuri.
- Raja VIII, Sat Lawi, dengan gelar Yang Dipertuan Besar. Raja yang kedelapan ini tidak punya anak laki laki, dan hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Zainab Gelar Siti Doelam yang menikah dengan Laki Laki bernama Umar gelar Sutan Djalil Van Kunto.
- Raja IX, Mohamad Syarif, dengan gelar pertamanya yaitu Sultan Zainal, lalu gelar keduanya yaitu Yang Dipertuan Besar. Sejarah singkat tentang bagaimana Mohamad Syarif terpilih sebagai Raja adalah sebagai berikut: Zainab dan Umar memiliki seorang putra bernama Ahmad Kesasi Gelar Yang Dpertuan Jumadil Alam. Raja ketujuh (Ali Damhoer) dan Raja keenam (Abdul Wahab) juga tidak memiliki anak laki-laki, sehingga Ahmad Kesasi diangkat sebagai pelaksana tugas raja. Namun, Ahmad Kesasi belum sempat dilantik atau ditabalkan karena kemunculan tuntutan dari cucu raja ketujuh Ali (Damhoer) yang bernama M. Syarif, anak dari Dendam dan Djahja Gelar Yang Dipertoean Muda. Pada 20 Juni 1902, melalui elevasi definitif Controler Rokan, M. Syarif Gelar Soetan Zainal yang berusia 14 tahun ditunjuk sebagai Raja Rambah ke-9. Di bawah perwalian M. Noeh yang didukung oleh penguasa Belanda saat itu melalui Controleur Rokan yang mengawasi lima luhak, M. Syarif diangkat menjadi Raja ke-9. Selama kepemimpinannya, M. Syarif didampingi oleh Kepala Kerapatan bernama M. Noeh bersama ayahnya. Namun, tiga tahun kemudian, tepatnya pada 9 Maret 1905, ayah M Djahja gelar yang dipertuan muda tersebut meninggal dunia.
- Raja X, Tengku Saleh, dengan gelar pertama Yang Dipertuan Djumadil Alam, dan gelar keduanya Yang Dipertuan Besar. Sejarah singkat tentang bagaimana Tengku Saleh terpilih sebagai Raja adalah sebagai berikut: Pada tanggal 14 Desember 1918, Raja ke-9 M.Syarif meninggal dunia tanpa meninggalkan seorang putra mahkota, karena dua orang putranya yang laki-laki, yaitu Syarifoeddin dan Ali Ibrahim, telah meninggal dunia sebelumnya. Karena terjadi kekosongan kepemimpinan kerajaan Rambah, penguasa Belanda pada tahun 1919 melalui Controleur memerintahkan adik M. Syarif bernama M. Zaman gelar Sutan Zainal untuk menjalankan tugas Raja atau adat meradat. Tidak lama kemudian, untuk mencari Raja, dilakukan pemilihan Raja Rambah dengan melibatkan pucuk suku Melayu tujuh dan Kepala Kampung dari tujuh kampung Mandahiling Rambah (Napituhuta). Ada dua kandidat calon raja yang akan dipilih, yaitu Pirang gelar Soetan Momat yang merupakan anak dari Intan gelar permaisuri, anakMaaf, tampaknya informasi yang saya berikan tidak lengkap. Tarombo Kerajaan Rambah adalah sejarah keluarga atau garis keturunan Kerajaan Rambah di Provinsi Riau, Indonesia. Namun, informasi yang tersedia tentang raja-raja Rambah terbatas dan tidak banyak diketahui secara luas.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Rambah, kerajaan / Sumatera – Prov. Riau, kab. Rokan Hulu". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2014-04-25. Diakses tanggal 2024-01-28.
- ^ "Sejarah Kerajaan Rambah" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-28.
- ^ LancangKuning.Com. "Sejarah dan Silsilah Kerajaan Rambah di Rokan Hulu". lancangkuning.com. Diakses tanggal 2024-01-28.
- ^ "Daftar raja kerajaan Rambah lengkap". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2017-12-30. Diakses tanggal 2024-01-28.