Kerajaan Tanjung Singuru
Kerajaan Tanjung Singuru adalah monarki yang pernah ada dalam sejarah kerajaan Tatar Pasundan di Nusantara. Menurut Pantun Jaka Susuru kerajaan ini didirikan oleh Prabu Jaka Susuru alias Raden Munding Kasiringan Wangi putra Raja Pajajaran Prabu Siliwangi.[1][2][3] Perjalanan Prabu Jaka Susuru yang membuat Kerajaan di Tanjung Singuru, yang sekarang disebut Bobojong Cisuru, di Desa Sukarama, Kecamatan Bojong Picung, Kabupaten Cianjur. Bekas kerajaan ini sangat makmur, dari selatan dari barat dan utara dikelilingi sungai yang di beri nama sungai Cisokan, dan di sebelah selatannya berdiri gunung, yang disebut Gunung Cibulé, dan dari sebelah timurnya dihalangi oleh benteng 5 lapis, dan jauh ke timur lagi berdiri Gunung Payung. Menurut cerita penduduk kampung Ciséro yang berada di kaki gunung tersebut, Gunung Payung termasuk keramat.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sang Prabu Siliwangi ke VII Raja di Pajajaran mempunyai putra bernama Munding Mintra Kasiringan Wangi. Pada suatu waktu diadakan pertemuan yang dihadiri para Bupati, Patih, Mantri para Tumenggung. Sang Prabu Siliwangi bersabda kepada Para Bopati, sabdanya: “Bagaimana menurut kalian wahai para Bupati, Patih dan Tumenggung, berhubung kami mempunyai anak laki-laki, yaitu Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi, yang belum mempunyai istri, tetapi akan kami angkat dulu sebagai Bupati!”
Jawab para Bupati dan para Tumenggung kepada Sang Prabu Siliwangi: “Itu sudah sepantasnya, asalkan tidak mengganggu pemerintahan Kangjeng Gusti, dan ditetapkan akan memerintah di mana putra Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi.” Setelah sang Prabu Siliwangi menyimak pendapat para Bupati dan Tumenggung demikian, lalu sabdanya lagi: “Jika menurut keinginan kami serta menurut Peta Pakuan Pajajaran, bakal negara itu terletak di daerah Hutan Pasagi Timur, hanya nama negaranya tergantung bagaimana nanti.”
Setelah Kangjeng Raja Siliwangi bersabda seperti itu, lalu puteranya yaitu Radén Munding Mintra Kasiringan Wangi, dipanggil, serta diperintahkan harus pergi mengembara ke daerah Hutan Pasagi Timur, mencari tempat untuk dijadikan kerajaan kecil, ditemani oleh dua Tumenggung, yaitu Dipati Tumenggung Séwana Giri, dan Dipati Tumenggung Séwana Guru, dan diberi jimat Makuta Siger Kancana juga Peta Pakuan Pajajaran atau gambar Lawé Domas Kinasihan.
Setelah bersiap-siap, lalu Munding Mintra Kasiringan Wangi beserta Tumenggung Séwana Giri Séwana Guru pergi bertiga. Sesampainya di hutan ganggong si magonggong, Radén Munding Mintra beserta dua Tumenggung beristirahat di situ, menoleh ke Tumenggung Séwana Guru dan Séwana Giri, ucapnya: “Wahai, paman Tumenggung Séwana Guru dan Séwana Giri, jangan-jangan ini lah tempat yang akan kita jadikan negara!” jawab kedua Tumenggung: “Benar Gusti, menurut paman juga jangan-jangan benar tempat ini, memang pantas seandainya di dirikan sebuah negara, karena tanahnya bagus, tanah dikelilingi sungai, mengalir ke timur, ya yang seperti ini yang disebut Galudra Ngupuk.”
Lalu Radén Munding Mintra mengeluarkan jimat Makuta Siger Kancana, serta memohon kepada Déwa Batara Sanghiang Utipati. Dikabulkan permohonannya, tiba-tiba di atas tanah itu telah berdiri sebuah bangunan kerajaan, dengan benteng 5 lapis, selapis benteng besi, selapis baja, perunggu, perak, lapis yang paling dalam terbuat dari emas. Kemudian memohon lagi kepada Déwa minta 8.000 punggawa, prajurit 80.000, dan 65 dayang yang mengurusi Keraton. Setelah lengkap isi keraton juga isi negara, kemudian Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi berdiskusi dengan Tumenggung Sewana Giri, Sewana Guru, perihal menentukan nama negara tersebut. Tapi dijawab oleh Tumenggung Sewana Guru, Sewana Giri: “Raden, masalah pemberian negara ini, jangan melancangi ayahanda Prabu, Gusti Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran, lebih baik saya saja yang diutus ke Pajajaran menghadap ke Gusti.” Kemudian Raden Munding Mintra menyetujuinya. Maka Tumenggung Sewana Guru segera berangkat menghadap ke Kanjeng Prabu Siliwangi.
Tidak diceritakan perjalanannya, telah sampai di negara, lalu menghadap ke Duli Prabu Siliwangi, dan menyampaikan bahwa diperintah oleh sang putera untuk memohon pemberian nama negara baru, sedangkan semuanya telah siap, belum diberi nama. Ucap Kanjeng Prabu Siliwangi: “Nama negara itu sepantasnya adalah Tanjung Singuru.” Lalu Tumenggung Sewana Guru pamit mundur, sesampainya di negara Tanjung Singuru, lalu ditanyai oleh Munding Mintra Kasiringan Wangi: “Bagaimana perintah Gusti Prabu Siliwangi?” Lalu dilaporkan oleh Tumenggung Sewana Guru, jika diperintahkan untuk menamakan negara ini Tanjung Singuru, juga rajanya harus berganti nama, Prabu Jaka Susuru.” Jawab Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi: “Oh, begitu. Jika sekarang negara telah bernama, dan kami telah diganti nama, namun patut disesali jika belum mempunyai permaisuri. Lalu sekarang siapa lagi yang akan membantu, selain paman dipati, sekarang saya mohon bantuannya, mencari Putri untuk dijadikan permaisuri.”
Tumenggung Sewana Guru menjawab: “Silahkan, sekarang saya mendapat berita, ada wanita di Negara Bitung Wulung, putra Tumenggung Bitung Wulung, Pangeran Jungjang Buana, nama Puteri yang satu adalah Sekar Jayanti, dan satu lagi Jayanti Kembang.” Prabu Jaka Susuru menjawab: “Oh, kalau begitu kita lamar saja semuanya, persiapkan keperluan melamar seperti adat biasanya, untuk dibawa kepada Tumenggung Bitung Wulung.” Kemudian Patih pun segera berangkat.
Sesampai di Negara Bitung Wulung, kebetulan Raja sedang di singgasana, lalu Patih menghadap, ditanyai oleh Raja: “Dari mana anda, siapa yang menyuruh dan ada perlu apa?” Tumenggung Sewana Guru menjawab: “Adapun kedatangan hamba, hamba ini adalah Patih Tanjung Singuru, hendak melamar sesuai perintah Raja. Bagaimana keadaan puteri paduka, apakah masih lajang? Seandainya masih lajang sekarang juga dipersunting.” Raja menjawab: “Betul hamba mempunyai anak, tetapi oleh ini dan oleh itu juga dilamar dan tidak juga kami berikan, sekarang dipersunting oleh turunan Pakuan Pajajaran, Prabu Jaka Susuru, sedangkan hamba hanya bisa mengabulkan, dan berharap jangan diperlama, sebab puteri telah cukup umur.”
Sang Patih menjawab: “Kalau begitu terima kasih, malah sekarang juga dibawa sekalian, supaya hari ini dipersembahkan ke Prabu Jaka Susuru.”
Sang Prabu Bitung Wulung menjawab: “Ah, kalau begitu hamba akan sekalian mengantarnya sekarang.” Kemudian mereka berangkat, singkat cerita telah datang di Negara Tanjung Singuru, lalu ditanya oleh Prabu Jaka Susuru berhasil tidaknya. Lalu Patih melaporkan bahwa telah berhasil, malah dibantu, serta diantar oleh ayahandanya, juga lalu oleh ayahnya dipasrahkan kepada Prabu Jaka Susuru, ucapnya: “Sekarang hamba pasrahkan, sudah tidak menjadi beban pikiran Prabu Jaka Susuru.” Kemudian ayah sang puteri pamit mundur kembali ke negaranya di Bitung Wulung.
Diceritakan Prabu Jaka Susuru, berkumpul dengan Adipati, dan semua punggawa, berembuk akan mengadakan pesta karena telah mempunyai permaisuri namun belum dirayakan. Tidak berapa lama diadakan pesta yang ramai, tujuh hari tujuh malam.
Ditunda sebentar cerita Prabu Jaka Susuru, ada satu negara, negara Gunung Gumurh, nama Rajanya Badak Tamela Sukla Panarak Jaya. Raja tersebut tidak mempunyai istri, hanya mempunyai satu saudara perempuan bernama Ratna Kembang Tan Gumilang.
Raja sedang duduk di Paseban, mendengar kabar tentang pesta di Negara Tanjung Singuru, lalu bertanya kepada adiknya Putri Ratna Kembang: “Nyai di manakah pesta itu diadakan?”
Jawab Putri: “Itu yang sedang berpesta adalah negeri Tanjung Singuru, Rajanya sedang merayakan pernikahan dengan Puteri Sekar Jayanti dan Jayanti Kembang.”
Jawab Raja: “Oh, bukankah wanita itu idaman kakanda dari dulu, yaitu Putri Sekar Jayanti incaran kakanda. Coba Nyai tunggu sebentar, sekarang kakanda akan melihatnya.”
Jawab adiknya: “Jangan kanda, sebab dia sudah menjadi permaisuri Raja, walaupun kanda rebut juga tidak akan mampu, pasti kita celaka.”
“Ah, biar saja akan kanda rebut, tidak akan bisa dihukum, kan kanda punya kawah Domas; Prabu Jaka Susuru akan kanda jebloskan, akan kanda kelabui dengan mengatakan di kawah Domas ada intan sebesar anak lembu, supaya diambil, dan jika sudah berada di dalam kawah, pintunya akan kanda tutup.”
Lalu Raja Gunung Gumuruh berangkat, setibanya di Tanjung Singuru, mohon izin hendak menumpang istirahat. Raja Tanjung Singuru melihatnya, lalu ditanya: “Anda berasal dari mana, serta siapa nama anda, belum pernah kami lihat, seperti yang sedang payah?”
Jawabnya: “Benar, hamba ini Raja Gunung Gumuruh, keperluan datang ke sini, hendak bakti negeri, memasrahkan diri, serta menyerahkan batu intan sebesar anak lembu, yang ada di kawah Domas. Tidak ada lagi yang pantas memilikinya selain adimas Prabu, yang berhak.”
Lalu Raja Tanjung Singuru bertanya kepada istrinya: “Bagaimana Nyai, sekarang kita memperoleh bakti berupa negara dan intan yang besar?”
Jawab sang istri: “Jangan kanda, siapa tahu itu ada maksud hendak menganiaya, menggoda dan bermaksud buruk kepada kita, serta dinda mempunyai perasaan yang ganjil, seperti akan terjadi musibah.”
Tapi Patih Tumenggun Sewana Guru berkata: “Tidak baik yang berbakti tidak kita terima, sekarang sebaiknya kita berangkat.” Kemudian berangkatlah Prabu Jaka Susuru, Tumenggung Sewana Guru, Tumenggung Sewana Giri bersama Raja Panarak Jaya. Singkat cerita, tibalah mereka di kawah Domas.
Setibanya lalu Prabu Jaka Susuru, Tumenggung Sewana Guru dan Sewana Giri melihat ke dalam kawah. Tidak menunggu lama lagi, oleh Raja Gunung Gumuruh mereka bertiga di tendang ke dalam kawah Domas. Setelah ketiga orang itu tersungkur, kemudian pintu di tutup dengan batu hitam oleh Raja Gunung Gumuruh. Lalu ketiga orang yang berada di dalam dasar kawah Domas itu bertapa, selama 30 tahun.
Dari situ Raja Gunung Gumuruh pergi ke negara Tanjung Singuru, dengan tujuan hendak merebut kerajaan. Setelah datang lalu ditemui oleh Putri Sekar Jayanti dan Putri Jayanti Kembang: “Kakanda Raja Gunung Gumuruh, di mana Sang Prabu Tanjung Singuru?”
Jawabnya: “Nyai, sekarang janganlah menanyakan hal Prabu Jaka Susuru, sebab kanda telah memenjarakannya, sekarang suami nyai adalah kanda seorang, dan negara ini akan dikuasai.”
Jawab Putri: “Ah entahlah, sebab hamba tidak akan berpisah dengan Prabu Jaka Susuru!”
Sang Putri pun terus dipaksa, kemudian ia pun kabur menuju ke hutan dalam keadaan hamil. Setelah usia kehamilan 9 bulan, Sang Putri melahirkan di tengah hutan, putranya lelaki semua. Yang dari Sekar Jayanti dinamakan Heulang Boengbang Legantara Lungguh Tapa Jaya Perang, sedangkan yang dari Jayanti Kembang dinamakan Kebo Keremay Sakti Pangeran Giringsing Wyang. Mereka berdua dilahirkan di hutan dan dibesarkan pula di hutan. Setelah mencapai usia 10 tahun, mereka berdua dengan ibunya masing-masing mengungsi ke Negara Tanjung Sumbara. Rajanya bernama Gajah Karumasakti, mempunyai istri dua orang, yaitu Purba Dewata dan Tarna Dewata. Setelah mereka berdua bersama ibu-ibunya tiba dan menghadap Raja Gajah Karumasakti, serta disambut baik oleh raja: “Oh, sukur kalian datang dengan selamat, kalian ini dari mana dan keturunan siapa?”
Jawab Putri: “Semoga Raja percaya, anak ini, adalah turunan dari Kangjeng Prabu Siliwangi, putra dari Prabu Jaka Susuru, sedang hamba adalah ibunya. Adapun maksud kedatangan kemari adalah hendak memohon pertolongan, untuk menyelamatkan Prabu Jaka Susuru, yang ada di dalam dasar kawah Domas, dipenjara oleh Raja Gunung Gumuruh.”
Jawab Raja: “Oh nyai, pasti akan kanda tolong. Sekarang negeri Tanjung Singuru akan saya jadikan lantaran, agar bisa bertemu dengan Raja Gunung Gumuruh, negeri itu kita serbu.”
Jawab Putri: “Baik, namun kalau berkenan, hendaklah di selamatkan dahulu yang ada di dasar kawah.”
Lalu Raja Karumasakti berangkat, dan setelah datang di Tanjung Singuru langsung menyerbu. Api berkobar-kobar membuat seisi negeri mengungsi ke utara, timur, selatan, barat, negara porak poranda.
Datanglah Raja Gunung Gumuruh dan mereka beradu mulut, masing-masing mengaku bahwa negara ini adalah miliknya. Raja Karumasakti berkata: “Ini negaraku!” Kata Raja Gumuruh: “Punyaku!” Saling mengaku-aku, akhirnya pecahlah perang tanding antara Raja Gajah Karumasakti dengan Raja Gunung Gumuruh, ramai berkelahi adu kesaktian; dan akhirnya Raja Gunung Gumuruh kalah perang, hingga menyerah takluk kepada Raja Gajah Karumasakti. Lalu Raja Gajah Karumasakti berkata: “Sekarang kamu kalah, tetapi harus mau melepaskan Prabu Jaka Susuru dari dasar kawah Domas!”
Jawabnya: “Silahkan, tetapi harus bersama-sama anda, kita ke kawah.”
Lalu mereka semua berangkat, setelah sampai di kawah Domas, batu penutup pintunya digeser, dan terlihatlah ketiga sosok, Prabu Jaka Susuru, Tumenggung Sewana Guru, Tumenggung Sewana Giri, lalu dibangunkan dan dilepaskan.
Raja Gunung Gumuruh pun menyatakan bertobat dan memohon ampunan kepada ketiganya karena telah sekian lama membuat sengsara kepada Prabu Jaka Susuru, dan menyerahkan negaranya beserta seluruh isinya, juga saudara perempuannya juga di pasrahkan kepada Prabu Jaka Susuru, supaya berkenan diperistri. Selanjutnya negara Gunung Gumuruh di bawah perintah Prabu Jaka Susuru.
Sejak itu lalu Prabu Jaka Susuru berangkat beserta saudara perempuan Raja Gunung Gumuruh, menuju ke negara Tanjung Sumbara. Jadi akhirnya Raja Prabu Jaka Susuru menetap di negara Tanjung Sumbara mempunyai tiga orang istri, dua putra, dan empat patih:
Tumenggung Sewana Guru Tumenggung Sewana Giri Tumenggung Gajah Karumasakti Tumenggung Badak Tamela Sakti Paranak Jaya
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Bacaan lanjut
[sunting | sunting sumber]
|
|
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Situs Karangkamulyan, Mitos Ciung Wanara & Wisata Budaya Diarsipkan 2007-12-10 di Wayback Machine., Pikiran Rakyat: Selasa, 29 April 2003.
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ : Benny Bastiandy (Sabtu, 9 Juli 2011 18:05 WIB). "Wah, Ada Tiga Kerajaan di Kabupaten Cianjur". inilah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 28 Agustus 2015.
- ^ Dr. N.J. Krom. Babad dan Serat Kanda Majapahit dalam Pararaton (Kén Arok). Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. halaman 110,111,203,216,217,218 dan 223, Jilid LXII, cetakan ke 2. Jaka Susuru atau Susuruh ialah yang pertama mendirikan kerajaan Majapahit.
- ^ Moehamad Enoch (Oktober 1922). Patilasan Jaka Susuru dalam Poesaka Soenda, No. 1 Taun ka-1. Salemba No. 28, Weltevreden: Pagoejoeban Java-Instituut. Dalam akhir tulisan Enoch tersebut: Jika diperiksa oleh Oudheidkundige Dienst tentu akan lebih banyak keanehan. Raden Wijaya atau Jaka Susuru (diididik oleh oleh Erlangga sebagai wali nagara) atau Rakeyan Banyak Citra (Batu Raden Purwokerto) atau Hibarbuana Tajimalela (Misi Mendirikan Sumedanglarang) atau Prabu Wijaya Kusumah (gelar tertinggi dalam ketatanegaraan Pajajaran Nagara/Jawa Dwipa) atau Kartarajasa Nagara (Raja Majapahit I th. 1293-1309) atau Raja Medang Kemulan di Jawa Pawatan (Hujung Galuh) atau Raja Agung Sumedang Larang.