Lompat ke isi

Kesadaran sekitar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesadaran sekitar atau ambient awareness (Ama) adalah kesadaran yang dikembangkan pengguna media sosial terhadap jaringan daring mereka sebagai akibat dari paparan terus-menerus terhadap informasi sosial, seperti pembaruan mikroblog.[1] Kesadaran sekitar diciptakan melalui penerimaan, dan/atau pertukaran potongan informasi secara teratur dan terus-menerus melalui media sosial. Mengetahui tempat-tempat yang pernah dikunjungi seseorang sepanjang hari, dikombinasikan dengan beberapa komentar santai di sana-sini, mungkin akan memberi gambaran lebih banyak, dibandingkan informasi panjang surat elektronik 2 halaman.[2]

Kesadaran sekitar juga mengacu pada kemampuan media sosial untuk memperoleh pengetahuan tentang siapa yang tahu apa di jaringan mereka, hanya melalui konten pengguna lainnya.[3]

Kesadaran sekitar dalam skala global dianggap aneh dan baru. Tetapi prinsip kesadaran ini sebenarnya berjalan memanfaatkan keterampilan sosial yang dimiliki manusia sejak lama. Manusia bisa "membaca orang lain" tanpa perlu bertanya. Kesadaran sekitar hampir seperti berada di ruangan yang sama dengan seseorang dan mengetahui suasana hati serta pikiran orang tersebut berdasarkan sinyal yang dia keluarkan.[4]

Kesadaran sekitar memiliki paradoks. Setiap pembaruan kecil setiap informasi sosial tidak berarti apa-apa, bahkan sangat biasa. Namun jika digabungkan, seiring berjalannya waktu, potongan-potongan kecil itu menyatu menjadi potret kehidupan teman dan anggota keluarga yang sangat canggih.[5]

Asal muasal

[sunting | sunting sumber]

Konsep kesadaran sekitar sangat terkait dengan kontak sosial yang dilakukan terus menerus. Kemunculannya dimulai saat Facebook memasang Umpan Berita (news feed) yang memungkinkan pengguna lainnya dengan mudah melihat apa yang dikirimkan orang lain.[6] Seiring perkembangan media sosial, Facebook tidak lagi sendiri menyediakan ruang serupa. Pembaruan kecil dari pengguna kini hadir di semua microbloging termasuk di Twitter (sekarang X).[5] Hal ini sejalan dengan pendapat Kaplan yang menilai jika kesadaran sekitar diciptakan oleh media sosial yang memberikan pertukaran informasi tiada henti.[2]

Thompson lewat artikelnya di New York Times dianggap ilmuan yang mempopulerkan istilah ini. Thompson menghubungkan antara fenomena digital dengan cara manusia menangkap potongan-potongan isyarat halus yang biasa dilakukannya di lingkungan fisik.[7]

Pemanfaatan kesadaraan sekitar

[sunting | sunting sumber]

Notifikasi

[sunting | sunting sumber]

Salah satu pemanfaatan teori kesadaran sekitar di bidang teknologi yaitu pemberian notifikasi (pemberitahuan) yang memanfaatkan visual atau pendengaran untuk menarik perhatian individu terhadap informasi yang diperlukan. Misalnya, peringatan bateri lemah yang memberi tahu pengguna bahwa baterai perlu diganti. Sayangnya, notifikasi yang semakin sering juga dianggap menyebabkan gangguan apabila digunakan secara terus menerus.[8]

Situs perdagangan elektronik

[sunting | sunting sumber]

Website perdagangan yang berisi isyarat sosial kognitif seperti komentar pembeli, peringkat, gambar dari pembeli juga memberi kontribusi terhadap kesadaran sekitar.[8]

Dampak terhadap perilaku manusia

[sunting | sunting sumber]

Kesadaran lingkungan dianggap oleh peneliti memiliki dampak positif transfer pengetahuan karena membantu pencari pengetahuan memperoleh materi pengetahuan dari percakapan yang terjadi di jaringan sosial mereka. Menggunakan media sosial dapat meningkatkan kesadaran sekitar dari karyawan dan membuat karyawan dapat saling mengerti dan terhubung dengan sesama karyawan. Karyawan dapat dengan efektif mengorganisasikan kembali ide mereka satu sama lain.[6] Kesadaran sekitar juga dianggap sebagai pelumas sosial yang membantu individu menjadi lebih sadar akan aktifitas orang lain di jaringan mereka.[8]

Catatan Kaki

[sunting | sunting sumber]

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Zhao, K.; Zhang, X.; Zhang (2020). "How do features of social media influence knowledge sharing? an ambient awareness perspective". Journal of Knowledge Management. 24 (2): 439–462. doi:10.1108/JKM-10-2019-0543.