Kiai Muhyiddin
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Nama | Muhyiddin |
---|
Kiai Muhyiddin - Nama pengganti dari Muhyiddin adalah sosok pendiri Pondok Pesantren Darusalam Blokagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi bersama KH Mukhtar Syafa'at Abdul Gofur. Namun tak banyak yang mengetahui, jika Pondok Pesantren Blokagung dirintis oleh dua sekawan yakni Kiai Mukhtar Syafa'at dengan Kiai Muhyiddin.[1]
Biografi
[sunting | sunting sumber]Mbah Muhyi atau Kiai Muhyiddin, sapaan akrab warga dan santri Blokagung, bukanlah warga asli Banyuwangi. Ia lahir di Ngebel, Ponorogo tahun 1916. Muhlis adalah nama kecilnya. Tak banyak yang bisa diungkapkan dari latar belakang keluarganya. Namun dapat dipastikan ia berasal dari keluarga santri. Konon, ia masih memiliki hubungan darah dengan Kiai Hasan Besari, pendiri Pesantren Gerbang Tinatar di Ponorogo. Sebuah pesantren tua yang sangat legendaris. Ia juga masih sanak kerabat dari KH. Khozin, Pengasuh Pesantren Mahir al-Riyald, Ringinagung, Kediri
Keluarga
[sunting | sunting sumber]Sebagai keluarga santri, Mbah Muhyi pun tak terlepas dari tradisi pesantren. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Hingga akhirnya ia nyantri di Banyuwangi. Tepatnya di Pesantren Tsamaratut Thullab di Desa Jalen, Kecamatan Genteng. Kala itu, pesantren tersebut diasuh oleh sang pendiri langsung, KH Ibrahim Arsyad.
Latar belakang keluarga Zainab juga berasal dari kalangan pesantren. Ia adalah putri pasangan Kiai Karto Diwikiryo Abdul Hadi dan Nyai Aminah. Bapaknya, merupakan seorang ulama terkemuka di Yogyakarta pada masa Hamengku Buwono VII berkuasa. Keturunan dari Kiai Muhammad Asror Sadiyo. Sedang ibunya, berasal dari Margokaton, Sayegan, Sleman.
Dari pasangan Kiai Karto Diwiryo dan Nyai Aminah tersebut, terlahir enam putra-putri. Zainab sendiri merupakan anak kelima. Secara berurutan, saudara-saudaranya sebagai berikut: Mukijah, Rukiah, Rusydi, Khodijah, dan Maryam. Keluarga ini, lantas pindah ke Banyuwangi pada tahun 1921.
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Di pesantren yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, Mbah Muhyi bertemu dengan Kiai Syafaat. Sebagai sesama santri kelana, keduanya berteman karib. Pertemanan yang kelak berlanjut hingga mendirikan pesantren bersama-sama.
Di Pesantren Tsamaratut Thalabah, Kiai Muhyi keluar terlebih dahulu ketimbang Kiai Syafaat. Namun Kiai Muhyi tak pulang ke kampung halamannya. Ia menikah dengan orang Banyuwangi, bernama Zainab. Nama terakhir ini sendiri, pada dasarnya juga seorang perantauan.
Peran Dalam Pondok Pesantren Darussalam Blokagung
[sunting | sunting sumber]Mbah Muhyi sendiri di Pesantren Darussalam yang dikembangkannya bersama Kiai Syafaat dan Kiai Muallim Syarqawi, lebih dikenal sebagai seorang yang faqih (ahli dalam ilmu fiqih). Jika Kiai Syafa'at dikenal dengan kegemarannya mengaji kitab tasawuf Ihya Ulumuddin anggitan Imam Ghazali, maka Kiai Muhyi lebih dikenal dengan kitab fiqih Fathul Wahab bi Syarhi Minhajit Thullab yang ditulis oleh Imam Abu Yahya Zakariya al-Anshori. Dengan dua kecenderungan yang berbeda tersebut, membuat corak Pesantren Darussalam menjadi lengkap.
Kegemaran Mbah Muhyi terhadap kitab Fathul Wahab, tergambar dalam kesehariannya. Ia tak pernah berhenti mengajar kitab itu kepada para santri. Setelah khatam, ia kembali mengulangnya lagi. Demikian terus menerus. Dari haliah yang demikian, konon Kiai Muhyi sampai hafal kitab yang cukup tebal tersebut. Bahkan, dalam tidurnya, tak jarang ia mengigau dan dari bibirnya terucap kalimat-kalimat dari kitab yang dikenal memiliki kerumitan tata Bahasa tingkat tinggi itu.
Sekilas Kehidupan
[sunting | sunting sumber]Dalam kesehariannya sendiri, Mbah Muhyi dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Ia tak segan menuakan Kiai Syafa'at, meski secara usia dan status keluarga lebih muda. Akhlaknya berbanding lurus dengan kealimannya. Selain itu, ia dikenal pula sebagai sosok yang gigih baik dalam berdakwah maupun dalam bekerja.
Tak hanya sebagai seorang yang faqih, Mbah Muhyi juga dikenal sebagai sosok yang ampuh. Seringkali ada orang yang menyaksikan ia berjalan di atas air. Biasanya ketika sungai Blokagung meluap, sangat sulit untuk menyebrang. Jembatan yang ada hanyalah jembatan bambu yang tentu sangat berbahaya untuk disebrangi. Dalam kondisi terdesak demikian, mau tak mau Mbah Muhyi menggunakan kelebihannya.
Dalam kehidupan rumah tangga, Mbah Muhyi dikarunia seorang anak dari pernikahannya dengan Nyai Zainab. Namanya Khudori. Namun pernikahan tersebut tak berlangsung lama, keduanya melakukan perceraian. Mbah Muhyi kemudian menikah dengan Nyai Shofiah yang berasal dari Sumberurip Barurejo baratnya Pondok Pesantren Blokagung dengan dikaruniai 9 keturunan, yakni: 1. Sa'wanah 2. Mutmainah 3. Ahmad Satibi 4. Siti Nur Insiyah 5. Siti Khomsah 6. Rohmatul Ummah 7. Imam Haris 8. Abdullah Kholid 9. Khiyarotul Bintiyah. (*)
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "Kiai Muhyi, Partner Kiai Syafaat Rintis Pesantren Blokagung Banyuwangi". Times Indonesia. 13 Februari 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-18. Diakses tanggal 1 Februari 2018.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Indonesia) Kiai Muhyi, Partner Kiai Syafaat Rintis Pesantren Blokagung Banyuwangi Diarsipkan 2019-02-18 di Wayback Machine.