Konsensus Beijing
Bagian dari seri |
Sistem ekonomi |
---|
Konsensus Beijing (kadang disebut "Model Tiongkok" atau "Model Ekonomi Tiongkok"[1]) adalah istilah yang mengacu pada kebijakan politik dan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok[2] setelah wafatnya Mao Zedong dan naiknya Deng Xiaoping (1976). Kebijakan ini ikut berkontribusi pada pertumbuhan produk nasional bruto Tiongkok yang naik delapan kali lipat dalam kurun dua dasawarsa.[3][4] Frasa "Konsensus Beijing" diciptakan oleh Joshua Cooper Ramo dengan tujuan menjadikan model pembangunan ekonomi Tiongkok sebuah alternatif — khususnya untuk negara berkembang — bagi kebijakan ramah pasar a la Konsensus Washington yang didukung oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat.[5][6]
Istilah ini sering disebut sebagai pemanfaatan inovasi dan eksperimentasi secara pragmatis demi meraih "pertumbuhan berkualitas tinggi yang setara dan damai" dan "ketahanan perbatasan dan kepentingan nasional";[4] penerapan "politik yang stabil, meski represif, dan pertumbuhan ekonomi yang cepat".[7] Pihak lain menyatakan bahwa tampaknya "tidak ada kesepakatan mengenai tujuan [konsensus ini]" selain menjadi alternatif bagi Konsensus Washington yang neoliberal;[8] dan istilah ini "berlaku bagi semua peristiwa yang terjadi di Beijing, entah itu ada hubungannya dengan 'model pembangunan Tiongkok' atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT) per se."[9]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]- Abad Asia
- Ekonomi pembangunan
- Developmentalisme
- Globalisme
- Konsensus Mumbai
- Konsensus Pembangunan Seoul
- Konsensus Washington
- Reformasi ekonomi Tiongkok
- Deng Xiaoping: Reformasi ekonomi
- Negara pembangunan
- Ekonomi pasar sosialis
- Kapitalisme negara
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Zhang, Jiakun Jack. "Seeking the Beijing Consensus in Asia: An Empirical Test of Soft Power" (PDF). 4/15/2011. DUKE UNIVERSITY. Diakses tanggal 28 January 2014.
This paper re presents a first-cut effort at operationalizing and measuring the so-called Beijing Consensus (or China Model), a form of state capitalism which some see as an ideological alternative to the Washington Consensus and a challenge to American soft power.
- ^ The allure of the Chinese model Diarsipkan 2014-02-03 di Wayback Machine. ZHANG Weiwei / International Herald Tribune, 2 November 2006
- ^ "Commentator doubts efficacy of "Chinese model" for Iran"| BBC Monitoring Middle East - Political [London] 4 May 2002: 1.
- ^ a b Ramo, Joshua Cooper. "The Beijing Consensus" (PDF). May 2004. The Foreign Policy Centre. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-08-24. Diakses tanggal 28 January 2014.
- ^ International Political Economy Zone: Is There a Beijing Consensus?
- ^ Turin, Dustin R. (2010). "China and the Beijing Consensus: An Alternative Model for Development". Student Pulse Academic Journal. 2 (1): 13.
- ^ Kurlantzick, Joshua (January 23, 2014). "The Rise of Elected Autocrats Threatens Democracy". Bloomberg Businessweek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-14. Diakses tanggal January 28, 2014.
China’s stable, if repressive, politics and high-speed economic growth—the “Beijing Consensus”—have impressed elites in places such as Thailand, where democracy seems to have produced only graft, muddled economic planning, and political strife
- ^ "No consensus on the Beijing Consensus - How the World Works - Salon.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-03. Diakses tanggal 2015-05-12.
- ^ Dirlik, Arif. University of Oregon. "Beijing Consensus: Beijing 'Gongshi.' Diarsipkan 2014-02-02 di Wayback Machine."
Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Ramo, Joshua The Beijing Consensus Diarsipkan 2013-08-24 di Wayback Machine. (Foreign Policy Centre, May 2004)
- Huang, Yasheng, Rethinking the Beijing Consensus (Asia Policy, January 2011)
- Williamson, John, Is the “Beijing Consensus” Now Dominant? (Asia Policy, January 2012)