Lompat ke isi

Kramatwatu, Serang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kramatwatu
Negara Indonesia
ProvinsiBanten
KabupatenSerang
Pemerintahan
 • CamatWawan Setiawan, S.Sos., M.Si.
Populasi
 • Total258.433- jiwa
Kode Kemendagri36.04.05 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS3604220 Edit nilai pada Wikidata
Luas- km²
Kepadatan- jiwa/km²
Desa/kelurahan15 desa
Peta
PetaKoordinat: 6°2′11″S 106°7′4″E / 6.03639°S 106.11778°E / -6.03639; 106.11778

Kramatwatu (kadang ditulis secara tidak baku sebagai Kramat Watu atau Kramat) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Terdiri dari 13 Desa: Pegadingan, Harjatani, Kramatwatu, Lebakwana, Margasana, Pamengkang, Pejaten, Pelamunan, Serdang, Terate, Tonjong, Toyomerto, dan Wanayasa.

Kramatwatu yang merupakan kecamatan perbatasan antara Kabupaten Serang dan Cilegon serta Kota Serang menjadi kecamatan dengan arus lalu lintas yang sangat padat.

Pertumbuhan Kramatwatu cukup cepat dan masih menunjukkan keseimbangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Kebanyakan masyarakat Kramatwatu di pedesaan adalah petani (wilayah pesawahan) dan nelayan (wilayah pesisir).

Wilayah pusat kecamatan yang terletak di Desa Kramatwatu telah diubah menjadi perkotaan dan pusat perbelanjaan. Selain itu, alun-alun dijadikan sebagai tempat Tablig Akbar, pertunjukan kesenian teater, sastra, dan festival musik.

Masyarakat Kramatwatu menggunakan bahasa Jawa Banten. Meski sama-sama menggunakan bahasa Jawa Banten, masing-masing desa, bahkan masing-masing kampung memiliki dialek yang berbeda.

Budaya dan Nilai

[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar anggota masyarakat memeluk agama Islam dengan semangat religius yang tinggi, tapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.

Potensi, dan kekhasan budaya masyarakat Kramatwatu antara lain seni bela diri Bandrong, Debus, Qasidah, Buka Pintu, dan ilmu kanuragan. Selain itu, terdapat juga peninggalan Kasultanan Banten di Desa Margasana bernama Tasikardi, sebuah penambahan. Tasikardi berupa danau yang pada masa dulu digunakan sebagai sumber air penghuni keraton dan di tengah waduk tersebut terdapat tempat singgah Sultan. Di Wulandira juga terdapat danau, berhadap-hadapan dengan Gunung Pinang, yang menjadi legenda paling terkenal di Kramatwatu, bahkan di Banten. Selain itu, Kramatwatu memiliki "Sumur Pitu" atau dalam bahasa Indonesianya, "Sumur Tujuh", yang dipercaya masyarakat sebagai tempat berkumpulnya para wali songo pada masa pertama.

Ekonomi Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Ekonomi masyarakat Kramatwatu mengandalkan pesawahan dan perdagangan. Kramatwatu merupakan kecamatan yang masih memiliki lahan pesawahan serta perkebunan yang luas. Hal ini dikarenakan masyarakat Kramatwatu dikenal tidak mau menjual tanah dan kebun warisan nenek moyang mereka. Selain itu, perdagangan di Kramatwatu berkembang pesat. Hal ini dikarenakan letaknya yang strategis, berada di antara tiga kota sekaligus. Selain itu, Kramatwatu memiliki pintul gerbang tol menuju Jakarta dan kota-kota lainnya.

Abuya Luzen Pelamunan (Ulama)

Qazwini (Ulama)

Abuya Latif Sufi Alhamdan (cendikiawan)

Hussein Jayadiningrat (Profesor pertama Indonesia)

Dimas Djayadiningrat (Sutradara)