Kriteria permaluan
Kriteria permaluan (atau Kriteria malu; bahasa Inggris: Criterion of embarrassment) adalah analisis kritis mengenai cerita bersejarah dimana cerita yang memalukan mengenai seorang tokoh atau penulis dianggap benar dikarenakan penulis tidak mungkin mengarang cerita memalukan mengenai dirinya sendiri. Beberapa sarjana Injil telah menggunakan kriteria ini dalam menilai apakah cerita Perjanjian Baru mengenai tindakan dan perkataan Yesus adalah mungkin terjadi dalam sejarah.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Kriteria malu adalah metode lama dalam riset Perjanjian Baru. Ungkapan ini digunakan oleh John P. Meier dalam bukunya A Marginal Jew, ia menghubungkannya dengan Edward Schillebeeckx, yang kelihatannya tidak benar-benar menggunakan ungkapan tersebut. Penggunaan paling awal mengenai pendekatan ini dimungkinkan oleh Paul Wilhelm Schmiedel dalam Encyclopaedia Biblica (1899).[2]
Contoh
[sunting | sunting sumber]Inti dari kriteria permaluan adalah bahwa gereja perdana sangat tidak mungkin keluar dari jalur untuk "menciptakan" atau "memalsukan" materi bersejarah yang hanya akan memalukan penulis atau melemahkan posisinya dalam argumen dengan lawan. Agaknya, materi memalukan yang datang dari Yesus secara alamiah akan ditekan atau dilemahkan dalam langkah-langkah kemudian tentang tradisi Injil. Kriteria ini jarang digunakan hanya sendirian, dan tipikalnya adalah salah satu dari sejumlah kriteria, seperti kriteria diskontinuitas dan kriteria beberapa penegasan, bersama dengan metode historis.
Penyaliban Yesus adalah sebuah contoh dari peristiwa yang memenuhi kriteria memalukan. Metode hukuman mati ini dianggap sebagai metode yang paling memalukan dan menghinakan pada masa Romawi, dan penyokong kriteria ini mengklaim bahwa sangat kecil kemungkinan metode hukuman mati ini dikarang oleh para pengikut Yesus.[1][3][4][5][6]
Keterbatasan
[sunting | sunting sumber]Kriteria permaluan memiliki keterbatasan dan harus selalu digunakan bersama dengan kriteria lainnya. Satu keterbatasan pada kriteria ini adalah bahwa kasus yang jelas mengenai hal-hal memalukan sangat jarang. Potret penuh Yesus tidak dapat didasarkan pada data yang begitu sedikit. Keterbatasan lainnya berakar dari fakta bahwa apa yang dianggap memalukan di mata orang hari ini, tidak selalu merupakan hal yang memalukan di mata jemaat Gereja awal. Perincian memalukan dapat mencakup sebagai alternatif pada cerita yang lebih memalukan mengenai peristiwa yang sama. Sebagai contoh hipotetis, penyangkalan Simon Petrus atas Yesus mungkin adalah substitusi bagi kelakuan yang lebih buruk dari Petrus.[7]
Contoh yang bagus dari poin kedua ditemukan dalam cerita dari suatu kitab non-kanonikal yang disebut "Injil masa kecil Yesus". Dalam satu cerita dalam "Injil Masa Kecil Yesus Menurut Tomas", Yesus kecil disebutkan menggunakan kekuatan supernaturalnya untuk mematikan, lalu menghidupkan, seorang kawan bermain yang tidak sengaja menabraknya.[8] Jika saja tradisi ini diterima sebagai cerita yang layak untuk dicantumkan pada beberapa titik waktu dalam pembentukan Alkitab (dan karenanya diintegrasi di antara Injil Kanonikal), banyak Kristen modern akan menemukannya cukup memalukan—khususnya pengikut keras yang percaya pada ineransi Alkitab. Namun diusulkan bahwa keberadaan perikop non-kanonik awal ini dapat menunjukkan hal itu tidaklah memalukan bagi orang-orang Kristen awal, meskipun kenyataannya memang tidak diterima pada zaman itu.[9][10][11][12]
Keterbatasan lebih lanjut lagi adalah kemungkinan bahwa apa yang dapat digolongkan memalukan dapat juga menjadi cerita yang sengaja diciptakan untuk memancing reaksi. Contohnya, penyangkalan Simon Petrus atas Yesus dapat ditulis sebagai contoh dari konsekuensi atas penyangkalan. Matius 10:32–33: "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga."
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Catherine M. Murphy, The Historical Jesus For Dummies, For Dummies Pub., 2007. p 14
- ^ Stanley E. Porter, Criteria for Authenticity in Historical-Jesus Research (Continuum, 2004) pages 106-7.
- ^ Guy Davenport and Benjamin Urrutia, The Logia of Yeshua, Washington, DC 1996.
- ^ John P. Meier, A Marginal Jew, Yale University Press, 2009
- ^ N.S.Gill, Discussion of the Historical Jesus Diarsipkan 2007-03-16 di Wayback Machine.
- ^ Blue Butler Education, Historical Study of Jesus of Nazareth - An Introduction
- ^ John P. Meier, A Marginal Jew, Yale University Press, 2009. p 170
- ^ Cameron, Ron (1982), The Other Gospels: Non-Canonical Gospel Texts, Home Base, New York: Westminster John Knox Press, pp. 124–130
- ^ Bart D. Ehrman, Jesus: Apocalyptic Prophet of the New Millennium, Oxford, 1999. pp 90–91.
- ^ John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus, Doubleday, 1991. v. 1, pp 174–175, 317
- ^ Stanley E. Porter, The Criteria for Authenticity in Historical-Jesus Research: Previous Discussion and New Proposals Sheffield Academic Press, 2000.
- ^ Gerd Thiessen|Thiessen, & Dagmar Winter. The Quest for the Plausible Jesus: The Question of Criteria, Westminster John Knox Press, 2002.
Pustaka tambahan
[sunting | sunting sumber]- Meier, John P., A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus, Doubleday: 1991. vol 1: p. 168-171.