Kuantan Hilir Seberang, Kuantan Singingi
Kuantan Hilir Seberang | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Riau | ||||
Kabupaten | Kuantan Singingi | ||||
Kode pos | 29562 | ||||
Kode Kemendagri | 14.09.13 | ||||
Kode BPS | 1401053 | ||||
Desa/kelurahan | 14 | ||||
|
Kuantan Hilir Seberang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, Indonesia. Kuantan Hilir Seberang merupakan pemekaran wilayah dari kecamatan Kuantan Hilir berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2012.
Kecamatan ini memiliki 14 desa di mana yang terluas adalah Desa Lumbok dengan cakupan wilayah 11,00 km2. Sedangkan yang terkecil adalah Desa Kasang Limau Sundai dengan cakupan wilayah 2,10 km2.[1]
Ikon Kebudayaan
[sunting | sunting sumber]Masjid Al-Ikhlas Kenegerian Koto Rajo
[sunting | sunting sumber]Masjid ini merupakan salah masjid usang yang berada di Rantau Kuantan. Namun bentuk bangunan luar maupun interiornya telah mengalami renovasi, sehingga hampir tidak ada lagi struktur yang asli kecuali lokasi bangunan masjid. Sebelum direnovasi, masjid ini mempunyai pola tiang-tiang penyangga dan tiang soko yang sama dengan beberapa masjid Jami' di beberapa daerah. Selain itu, juga terdapat kulah besar sebagai tempat penampungan air wudhu'. Namun setelah direnovasi, kulah tersebut dihilangkan dan berubah menjadi teras luar. Masjid Al-Ikhlas Kenegerian Koto Rajo di dalam beberapa kesempatan masih menggunakan imam ataupun khatib dari Jurai Kotik (Jurai Khatib) dalam pesukuan. Jurai sendiri adalah subsuku atau pembagian kelompok yang lebih kecil lagi dalam sebuah suku.
Istana Koto Rajo
[sunting | sunting sumber]Istana ini diperkirakan dibangun pada awal abad 20 M. Hal ini berdasarkan tarikh yang tertulis di salah satu pondasinya yang bertuliskan tanggal 19 April 1939. Bentuk atapnya adalah gonjong yang melengkung bagaikan tanduk kerbau. Hal ini sama persis dengan bentuk atap gonjong pada bangunan Rumah Gadang di Sumatera Barat. Oleh karena itu, Istana Koto Rajo juga disebut Rumah Gonjong atau Istana Gonjong.
Pembangunan istana ini berkaitan erat dengan kepindahan Raja Hasan dari Cerenti pada abad ke-19 M. Raja Hasan sendiri adalah anak Yang Dipertuan Pendek, seorang keturunan raja Pagaruyung dari Minangkabau. Ketika Raja Hasan melanjutkan kepemimpinan ayahnya, ia pindah dari Cerenti menuju Baserah dengan pusat pemerintahan berada di Koto Rajo. Ketika Belanda menaklukkan Kuantan setelah menang dalam Perang Manggis di tahun 1905, Raja Hasan dengan gelar Yang Dipertuan Putih menandatangani suatu perjanjian pendek untuk ditunjuk sebagai urang godang atau pembesar di Koto Rajo. Saat Distrik Kuantan dibentuk, Koto Rajo pun mempunyai keistimewaan dibanding daerah lain, yakn, pembesar wilayah tersebut tidak dipanggil sebagai urang godang dan tidak diberi bergelar datuk, melainkan pembesar yang berstatus "raja" sebagaimana yang sudah-sudah.[2]
Pekuburan Silat Koto Rajo
[sunting | sunting sumber]Pekuburan ini berisi makam guru-guru Silat Pangean yang berada di Koto Rajo. Sebagai makam utama dengan cungkup, tentu saja makam Pendekar Alam Koto Rajo sebagai Guru Besar Silat di kenegerian tersebut. Pekuburan ini pun ramai diziarahi anak silek pada hari ketiga di bulan Syawal. Lalu pada sore harinya, diadakan pertunjukan atraksi silat Pangean di alun-alun kenegerian maupun di laman silat yang terdapat di Desa Lumbok untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri.[3]
Silsilah keturunan Pendekar Alam Koto Rajo pun masih dapat dilacak sampai sat ini. Pendekar yang berasal dari Pangean ini mempunyai seorang anak sebagai generasi kedua yang bernama Tino Lembut. Silsilah ini berlanjut kepada generasi yang ketiga, yakni Tino Lunak, Tino Farila, Tino Farida, Datuk Isin (sebagai guru silat di masa hidupnya), dan terakhir Tino Hasnidar sebagai lima orang adik beradik. Kelimanya adalah anak Tino Lembut yang menikah dengan Pendekar Malin Abu Bakar Sulaiman dari Desa Lumbok. Silisilah ini kemudian berlanjut ke generasi keempat, kelima bahkan telah mencapai generasi keenam.[4]
Bendungan Koto Rajo
[sunting | sunting sumber]Pembangunan bendungan ini dimulai pada tahun 1985-1986 dengan memperlebar sungai kecil yang berhulu ke Rimbo Kukok serta melintasi dusun Pasir Putih. Bendungan ini dibangun untuk membantu proses pengairan sawah atau tanah peladangan yang membentang dari Desa Koto Rajo, Lumbok, hingga mendekati Sungai Sorik dan Rawang Oguang. Selain itu, bendungan ini juga memenuhi kebutuhan air bersih untuk mandi bagi masyarakat sekitar.
Bagi anak-anak di era 90-an, Bendungan Koto Rajo menjadi tempat yang penuh dengan kenangan. Salah satunya karena ramai dijadikan orang sebagai tempat mengajar berenang bagi anak-anak mereka. Lalu di setiap pekan pertama bulan Syawal, bendungan ini biasanya diramaikan dengan event kebudayaan, yakni pacu sampan kecil untuk menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri. Namun telah bertahun-tahun event ini tidak lagi pernah dilaksanakan dengan berbagai kendala.
Surau Lokuak Koto Rajo
[sunting | sunting sumber]Surau ini merupakan salah satu surau tertua yang berada di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang. Pengambilan kata "Lokuak" sebagai nama surau, merujuk pada lokasi bangunannya yang terletak di bawah lokuak Desa Koto Rajo. Kata "Lokuak" dalam padanan bahasa Indonesia berarti lembah di bawah bukit atau daerah yang terletak di bawah tebing tinggi.
Secara administratif, Surau Lokuak Koto berlokasi di Desa Pengalian yang berbatasan langsung Koto Rajo. Namun keduanya dipisah oleh sungai kecil yang bermuara sampai ke Batang Kuantan. Sungai kecil itu terdapat di depan surau dan menjadi tempat mengambil air wudhu' maupun pemandian umum.
Surau ini diperkirakan telah ada sejak awal abad ke-20 M di mana guru yang terbilang mahsyur adalah Datuk Manan bergelar Ongku Kali. Para remaja laki-laki yang mulai menginjak usia dewasa, akan tidur di surau tersebut untuk belajar ilmu agama maupun berbagai pengalaman hidup.[5]
Danau Sungai Sorik
[sunting | sunting sumber]Kecamatan Kuantan Hilir Seberang mempunyai rawa dan danau alami yang diperbesar, sehingga menjadi danau buatan yang terletak di Desa Sungai Sorik. Danau ini menjadi wadah penampung air hujan maupun luapan air Sungai Kuantan saat banjir. Atas inisiatif masyarakat maupun Pemerintah Desa, maka sejak beberapa tahun silam, danau ini kemudian dijadikan sebagai tempat wisata keluarga, lengkap dengan rumah makan terapung dan wahana perahu bebeknya.
Danau Buatan di Desa Danau
[sunting | sunting sumber]Danau buatan ini dulunya adalah rawang panjang atau rawa-rawa yang berukuran luas, kurang lebih sekitar 2-3 hektar. Rawang ini kemudian dikonversi menjadi danau sekitar tahun 2007, hampir bersamaan dengan pembuatan Danau Sungai Sorik. Tujuannya adalah sebagai wadah penampung air hujan maupun air luapan banjir dari Batang Kuantan. Di beberapa kesempatan, tempat ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menyelenggarakan event kebudayaan seperti pacu jalur mini maupun pacu sampan kecil.
Menurut beberapa sumber lisan, rawang ini dulunya menjadi sarang buaya sungai sehingga cukup berbahaya untuk dimasuki seorang diri tanpa persiapan yang matang. Sekitar tahun 1980-an, beberapa warga di Kenegerian Koto Rajo konon sempat dihebohkan adanya penangkapan gajah menol, yakni hewan sejenis kuda nil namun dikaitkan erat dengan kejadian mistis. Hewan ini dikabarkan suka menyerang perahu pencari ikan yang sedang berada di rawang tersebut.[6]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Peradaban masyarakat di wilayah Kecamatan Kuantan Hilir Seberang telah muncul sejak masa lampau dalam berbagai bentuk pemerintahan maupun daulat kekuasaannya. Desa-desa tua seperti Koto Rajo, Pelukahan, dan Sungai Sorik telah disebutkan dalam beberapa literatur dan tutur lisan. Di abad ke-12 M misalnya, Koto Rajo disebutkan telah memiliki seorang raja yang ditunjuk sebagai perwakilian koto pasca ekspedisi Sang Sapurba yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya berhasil mencapai Kuantan.[7]
Di sekitar abad ke-14/15 M, Adityawarman yang merupakan keturunan dari Dara Jingga di Majapahit, berhasil menjadi raja di Minangkabau (Pagaruyung). Ia kemudian mengutus beberapa pembesarnya untuk memperbaiki sistem pemerintahan di daerah Kuantan menjadi pemerintahan Konfederasi, yakni sistem yang menempatkan pusat pemerintahannya di masing-masing koto dengan jabatan pemimpin disebut Penghulu Nan Barompek (Penghulu yang Empat Orang) yang diberi gelar "Datuk". Sistem inilah yang kemudian terkenal dengan istilah Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua . Wilayah di sekitar Baserah termasuk Koto Rajo dan lain-lain bernaung di bawah Luhak Empat Koto di Hilir.[8]
Pada perkembangan berikutnya, desa-desa yang berada di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang saat ini sempat bernaung di bawah Luhak Sembilan Koto di Hilir di bawah kepemimpinan Datuk Bandaro Lelo Budi. Lalu juga sempat bernaung di bawah Luhak Empat Koto di Hilir pada saat Kerajaan Pagarayung mengutus 5 orang pembesarnya atau Urang Godang untuk membantu tugas para datuk dalam memungut pajak dengan menerajui lima luhak yang salah satunya adalah Luhak Empat Koto di Hilir tadi. Di masa ini, pusat pemerintahan luhak tersebut berada di negeri Inuman di bawah kekuasaan Urang Godang Datuk Dano Sakaro.
Sekitar tahun 1905 M, daerah Koto Rajo secara administratif berada dalam pengaturan Distrik Kuantan dengan diletakkanya seorang raja. Ini berbeda dengan sembilan daerah lainnya di distrik tersebut, di mana yang berkuasa adalah Urang Godang bergelar "Datuk". Ini membuat Koto Rajo adalah satu-satunya daerah di Distrik Kuantan yang dipimpin oleh seorang raja.
Selepas kemerdekaan Indonesia di tahun 1950-an, wilayah tersebut masuk ke dalam Kewedanaan Kuantan-Singingi hingga akhirnya menjadi bagian dari Kabupaten Indragiri berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah. Pada momen berikutnya, Kabupaten Indragiri kemudian dimekarkan menjadi dua kabupaten baru yakni Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Indragiri Hulu melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Inderagiri Hilir dengan Mengubah Undang-Undang No. 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah. Wilayah Kecamatan Kuantan Hilir Seberang ketika itu menjadi bagian dari kecamatan induk, yakni Kuantan Hilir yang berpusat di kota Baserah.[9]
Hal ini terus berlanjut hingga Kabupaten Kuantan Singingi dimekarkan dari Kabupaten Indragiri Hulu melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam. Kecamatan Kuantan Hilir yang mencakup wilayah Baserah atau Kenegerian Koto Tuo dan Kenegerian Koto Rajo sebagai yang tercantum dalam Pasal 9.[10] Barulah melalui Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2012, Kecamatan Kuantan Hilir Seberang dimekarkan menjadi kecamatan sendiri sampai dengan saat ini.[11]
Sosial Budaya
[sunting | sunting sumber]Secara kultural, masyarakat di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang terbagi ke dalam dua kenegerian, yaitu:
- Kenegerian Koto Rajo yang meliputi tujuh desa seperti Kasang Limau Sundai, Teratak Jering, Koto Rajo, Tanjung Pisang, Pengalian, Danau, dan Lumbok.
- Kenegerian Koto Tuo Baserah yang meliputi tujuh desa lainnya, yaitu Pelukahan, Pulau Baru, Pulau Beralo, Pulau Kulur, Sungai Sorik, Tanjung dan Rawang Oguang. Adapun kenegerian ini juga mencakup seluruh desa yang terdapat di Kecamatan Kuantan Hilir atau Baserah. Sehingga secara keseluruhan terdapat 23 desa/kelurahan di bawah naungan Kenegerian Koto Tuo Baserah.
Adapun masyarakat di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, termasuk ke dalam etnis Melayu sub Rantau Kuantan yang dialek dan kosakata bahasanya serumpun dengan Minangkabau. Secara keadatan, mereka terbagi dalam empat suku utama yakni Suku Melayu, Suku Limo Kampuong, Suku Tigo Kampuong dan Suku Cemin dengan masing-masing terbagi lagi ke dalam beberapa jurai seperti Jurai Katik, Jurai Pangulu, dan lain-lain.
Beberapa tradisi yang masih hidup di tengah masyarakat Kecamatan Kuantan Hilir Seberang adalah Tradisi Bararak Tomek Kaji, Mandoa Padang, Malom Baghatik dan Ma-anyuin Lancang.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ BPS Kabupaten Kuantan Singingi, Kecamatan Kuantan Hilir dalam Angka 2022, (Teluk Kuantan: BPS Kabupaten Kuantan Singingi, 2022), hal. 4-5. ISSN: 2722-5712, Katalog: 1102001.1401053
- ^ UU Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, Cetakan Pertama, (Pekanbaru: UIR Press, 2000), hal. 20-22
- ^ Ahyatul Putra dan Ahmad Yani, "Studi Kualitatif Silat Pangean Desa Koto Rajo Kabupaten Kuantan Singingi" dalam JRPP, Vol. 6, No. 4, 2023, hal. 1784., pp. 1778-1786, [journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jrpp]
- ^ Kontribusi Informasi Tino Hasnidar, anak kandung Tino Lembut, 2019.
- ^ Kontribusi Informasi Tuan Guru M. Nasir, tokoh pendidikan di Kecamatan Kuantan Hilir Seberang, 2020.
- ^ Kontribusi Informasi Made Sastri, anggota komunitas kultural di Kenegerian Koto Rajo, Kec. Kuantan Hilir Seberang.
- ^ UU. Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, hal. 20-21.
- ^ Hasbullah,, Rendi Ahmad Asori, Oki Candra, Olahraga dan Magis: Kajian terhadap Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi, Cetakan Pertama, (Pekanbaru: ASA Riau, 2015), hal. 53-54. ISBN 978-602-1096-63-5.
- ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Inderagiri Hilir dengan Mengubah Undang-Undang No. 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah.
- ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, Pasal 9.
- ^ BPS Kabupaten Kuantan Singingi, Statistik Daerah Kabupaten Kuantan Singingi 2022, (Teluk Kuantan: BPS Kabupaten Kuantan Singingi, 2022), hal. 7, ISSN: 2355-4487, No. Katalog: 1101002.1401.