Kue cincin
Cincin atau kue cincin adalah kue 41 jenis yang termasuk tua umurnya [1]
Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Tangah, terdapat desa yang dikenal sebagai pusatnya wadai cincin, yaitu desa Maringgit dan Muara Rintis yang terletak di pinggir jalan negara. Setiap hari, banyak penduduk desa berjualan dengan membawa cincin. Wadai cincin yang ada di desa ini diseduh langsung di depan dan bisa dimakan saat masih hangat. Ada dua rasa yang biasanya dijual, yaitu rasa asli (gula merah) dan rasa durian. Harga cincin yang dijual di sini lebih murah daripada harga cincin yang dijual di tempat lain.[2]
Makna
[sunting | sunting sumber]Wadai cincin orang Banjar berbentuk bulat, seperti lingkaran. Di bagian dalam wadah itu terdapat empat ruang. Keempat ruang di dalam ruangan itu berbentuk seperti cicin. Oleh karena itu, wadah tersebut disebut wadah cincin. Badai cincin menjadi simbol dari alam bawah sadar. Ada empat lubang pada wadai tersebut sehingga ada empat mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.[3]
Bagi manusia, empat sudut mata angin adalah simbol kehidupan. Siklus alam selalu dimulai dari empat sudut ini. Keempat penjuru ini dalam kehidupan juga melambangkan keseimbangan alam sekitar. Selain itu, diyakini juga bahwa dengan adanya empat cincin pada tempat ini sebagai pelindung manusia dari kejahatan gaib. Orang-orang Banjar percaya bahwa orang gaib tidak akan datang untuk membawa manusia dari empat sudut mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Seman, Syamsiar (2023). Wadai Banjar 41 Macam: Wadai Tradisional Ulahan Urang Banjar. Banjarmasin: Lembaga Pendidikan Banua Banjarmasin. hlm. 15–16. ISBN 978-602-96540-6-0 Periksa nilai: checksum
|isbn=
(bantuan). - ^ "Mencicipi Kue Cincin di Maringgit Kabupaten HST, Penjual Tawarkan Dua Varian Rasa". Banjarmasinpost.co.id. Diakses tanggal 2023-11-20.
- ^ a b Rahmawati, Neni Puji Nur,. Makna simbolik dan nilai budaya kuliner "wadai Banjar 41 macam" pada masyarakat Banjar Kalsel (edisi ke-Cetakan pertama). Yogyakarta. ISBN 978-602-1228-94-4. OCLC 957057293.