Lompat ke isi

Kulintang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kulintang (Kolintang, Kulintango, Gulintangan) atau Totobuang (Tatabuang, Tetabuhan), adalah sebuah musik ansambel tradisional di Indonesia yang terdiri dari barisan gong kecil (mungmung, momo) dari kuningan atau logam yang diletakkan mendatar yang memiliki kemiripan dengan tradisi Gamelan dari Pulau Jawa, atau berbentuk xylophone yang terdiri dari bilahan yang terbuat dari logam atau kayu atau bambu, yang kemudian diiringi dengan alat-alat musik lainnya. Alat musik ini dimainkan dengan diiringi oleh gong tergantung yang lebih besar dan drum seperti genang atau Tifa. Kolintang merupakan bagian dari budaya gong Asia Tenggara, yang telah dimainkan selama berabad-abad di Kepulauan Melayu Timur - Filipina, Indonesia Timur, Malaysia Timur, Brunei, dan Timor.[1]

Kulintang
Nama lain
Klasifikasi Alat musik perkusi
DikembangkanIndonesia, Filipina, Malaysia
Peta persebaran tradisi Kulintang di Asia Tenggara

Alat musik ini berkembang dari tradisi pemberian isyarat sederhana menjadi bentuk seperti sekarang. Kegunaannya bergantung pada peradaban yang menggunakannya. Dengan pengaruh dari Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Barat, Kulintang merupakan tradisi gong yang terus berkembang.

Ansambel Kulintango Suku Mongondow, terdiri dari 5 sampai 7 buah mungmung (gong kecil) logam yang berderet dan dilengkapi dengan satu hingga dua gandang (1 kepala) atau gimbal (2 kepala, lebih panjang dari gandang), sebuah golantung (gong) kecil dan sebuah banding (gong besar yang digantung), dimainkan dengan memukulnya pada acara pesta pernikahan atau pada saat penjemputan tamu-tamu agung. Gulintang Mongondow merupakan alat musik lain berupa kayu sebesar pergelangan tangan yang dibelah dua dan digantung berjajar, sedangkan Tantabua Mongondow dibuat dari seruas bambu yang kulitnya dijadikan dawai dengan lebarnya 1cm. Dekat dawainya dibuat lubang sebesar 3 x 3 cm, lalu dipukul dengan sepotong kayu atau bambu.[2]

Ansambel Gulintang Toli Toli terdiri dari gulintang yang terdiri dari gong kecil berderet, gagandang, pamandi (gong), dan rebana.

Ansambel Remoi Sahi-Sahi/Kulintang dari Ternate dan Jalanpong dari Tidore terdiri dari 8 momo (gong kecil) berderet disebut tatabuan, saragi gong besar yang digantung, baka-baka gendang dengan dua kepala, podo empat drum kecil, besi tiga hoek trikona, dabi-dabi/cik simbal.[3]

Ansambel Tifa Totobuang dari Kepulauan Maluku dan Papua terdiri dari totobuang yang terdiri dari 9-12 gong kecil yang berjajar,[3] lalu berbagai jenis tifa, yaitu tifa jekir, tifa dasar, tifa potong, tifa jekir potong dan tifa bas ditambah dengan gong berukuran besar.[4]

Ansambel Tifa Syawat (atau Syafaat, Sawat) Kokoda dari Papua Barat Daya, merupakan jenis seni tetabuhan dan suling tambur yang menggabungkan adrat yaitu alat musik pukul dengan lima sampai dua belas ritme berbeda, tifa, gong, dan suling. Seni ini merupakan kombinasi alat musik dari luar papua (adrat, suling) dan asli papua (tifa gong). Berdasarkan sejarahnya diperkenalkan dari Kokas dan pada masa lampau tradisi digunakan sebagai alat dakwah para da'i dan diiringi tarian kasuari.[5]

Contoh ansambel kulintang

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Amin, Mohammad (2005). "A Comparison of Music of the Philippines and Sulawesi". Sulawesi. Diakses tanggal February 22, 2007. 
  2. ^ Mawikere, Marde Christian Stenly; Hura, Sudiria (2020-08-20). "MENELUSURI DINAMIKA INKULTURASI DAN AKULTURASI ETNIS BOLAANG MONGONDOW DI SULAWESI UTARA". MAGENANG : Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen. 1 (1): 23–57. doi:10.51667/mjtpk.v1i1.635. ISSN 2963-1319. Diakses tanggal 2023-11-07. 
  3. ^ a b "A home for Pasikings: The First Lumpia". PnoyAndTheCity: A center for Kulintang. 2004-02-27. Diakses tanggal 2023-11-08. 
  4. ^ Lesilolo, Natalia Christea (2008). "Kajian musik Tifa Totobuang sebagai daya tarik wisata di Kota Ambon". Universitas Gadjah Mada. 
  5. ^ Wekke, Ismail Suardi. (2012). TIFA SYAWAT DAN ENTITAS DAKWAH DALAM BUDAYA ISLAM: STUDI SUKU KOKODA SORONG PAPUA BARAT. Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012