Limbah industri pangan
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Menurut Komisi Eropa, limbah industri pangan adalah "setiap zat yang dapat dimakan, mentah ataupun matang; yang dibuang, entah sengaja dibuang atau memang perlu dibuang".[N 1][N 2]
Untuk mengatasi masalah limbah makanan, perlu ada teknologi berkelanjutan dimulai dari tahap reduksi, pemakaian ulang, daur ulang, dan pemulihan. Reduksi dilakukan dengan cara mengubah limbah menjadi bahan lain yang lebih baik kualitasnya; Pemakaian ulang dilakukan di dalam pabrik yang bersangkutan maupun dilakukan oleh pabrik lain; proses daur ulang dilakukan dengan cara mengubah limbah menjadi produk yang mempunyai nlai jual dan nilai tambah; serta pemulihan untuk mendaur ulang air dan minyak/lemak.[1] Penanganan limbah dalam konteks ini lebih bersifat mengobati daripada mencegah, dan hal ini merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari pengurangan limbah atau reduksi; pengumpulan dan penyimpanan sementara limbah untuk kemudian diangkut dan dibawa ke tempat pembuangan limbah; pemanfaatan limbah yang dapat berupa daur ulang atau pemakaian kembali; perlakuan penanganan limbah.[2]
Penanganan limbah padat
[sunting | sunting sumber]Penanganan secara fisika
[sunting | sunting sumber]Pengayakan
[sunting | sunting sumber]Pengayakan berfungsi untuk menghilangkan partikel besar yang menyumbat aliran limbah jika dilakukan perlakuan penanganan selanjutnya. Jenis ayakan yang sering dipakai dalam industri adalah ayakan bergetar, terutama industri yang bahan bakunya adalah buah dan sayur.[3]
Sedimentasi
[sunting | sunting sumber]Proses sedimentasi dilakukan dalam suatu kolam atau baskom yang dirancang agar aliran limbah bersifat perpetual.[4] Sedimentasi merupakan proses pemisahan antara padatan dan cairan limbah secara gravitasi yang seringkali dapat terjadi karena proses alamiah tanpa bantuan bahan kimia. Metode pemisahan ini banyak dipakai untuk menangani limbah di pabrik gula, pengolahan daging, dan pengolahan ikan.[5]
Flotasi
[sunting | sunting sumber]Flotasi merupakan proses pemisahan bahan tersuspensi dengan cairan encer berdasarkan perbedaan spesifik gravitasi. Metode ini menggunakan gelembung udara untuk menarik partikel padat mengapung menuju permukaan cairan. Dalam industri pangan, pemisahan metode ini banyak dipakai untuk menghilangkan protein terlarut pada kedelai.[5]
Kristalisasi
[sunting | sunting sumber]Kristalisasi adalah pembentukkan partikel padat pada fase homogen. Cara ini merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan substansi murni yang berasal dari suatu campuran, dan cara ini banyak dipakai untuk memurnikan bahan organik dan anorganik.[5]
Sentrifugasi
[sunting | sunting sumber]Sentrifugasi adalah cara yang dipakai untuk memisahkan bahan tersuspensi dengan menaikkan gaya gravitasinya. Cara ini banyak diterapkan pada indstri pembuatan minyak ikan.[5]
Penanganan secara kimia
[sunting | sunting sumber]Pengendapan
[sunting | sunting sumber]Pengendapan merupakan proses perubahan bahan terlarut menjadi bahan yang tidak larut dengan penambahan bahan kimia ke dalam suatu medium cairan.[5]
Flokulasi
[sunting | sunting sumber]Flokulasi merupakan pelarutan dari suspensi partikel yang terdapat pada limbah. Proses flokulasi bergantung pada laju aliran, kedalaman kolam atau baskom, konsentrasi patikel, dan ukuran partikel.[4]
Penanganan limbah cair
[sunting | sunting sumber]Limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik makanan berwarna keruh karena mengandung konsentrasi tinggi dari kebutuhan oksigen hayati; kadar minyak dan lemak; padatan tersuspensi; dan juga bahan kimia seperti nitrogen dan fosfor.[6]
Industri pangan yang menghasilkan limbah air adalah misalnya industri pengolahan gula tebu, pembuatan tepung singkong, dan fermentasi alkohol yang menggunakan molase/sirup gula. Perlakuan secara anaerobik cocok diterapkan pada penanganan limbah cair.[6] Pada kondisi yang anaerobik atau kadar oksigen sedikit, bakteri mampu mengurai limbah. Kedalaman kolam anaerobik antara 15-20 kaki, dengan lama pemrosesan limbah antara 2-20 hari. Pada industri pengolahan kentang, kebutuhan oksigen kimiawi dikurangi sebanyak 75-80%.[3]
Limbah cair dapat didaur ulang setelah perlakuan penanganan limbah yang dilakukan di kolam oksidasi atau kolam stabilisasi untuk irigasi pertanian.[6] Oksigen dihasilkan dari populasi alga atau ganggang.[7]
Parameter kualitas air
[sunting | sunting sumber]Beberapa parameter yang dipakai untuk menentuan standar kualitas air adalah sebagai berikut:
Oksigen terlarut
[sunting | sunting sumber]Saat limbah bercampur dengan air, maka mikroorganisme akan menguraikan limbah tersebut menjadi karbon dioksida. Oksigen terlarut dalam air dibutuhkan selama proses penguraian tersebut. Laju dari kebutuhan oksigen terlarut berpengaruh terhadap konsentrasi limbah. Semakin tinggi konsentrasi limbah, maka mikroorganisme pengurai semakin aktif; dan kebutuhan oksigen pun semakin tinggi; sebaliknya, semakin rendah konsentrasi limbah, semakin rendah pula laju deoksigenasi.[8]
Suhu
[sunting | sunting sumber]Suhu sangat berpengaruh baik terhadap kelarutan oksigen maupun aktivitas mikroorganisme. Oleh karena itu, alat pendingin sangat dibutuhkan dalam perlakuan penanganan limbah.[3]
Kebutuhan oksigen
[sunting | sunting sumber]Kebutuhan oksigen adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses degradasi agar mikroorganisme pengurai bekerja dengan baik.
Kebutuhan oksigen hayati
[sunting | sunting sumber]Kebutuhan oksigen hayati terdiri dari dua bentuk yaitu padatan dan zat terlarut. Pada penanganan limbah buah dan sayur, kebutuhan oksigen hayati yang terlarut lebih dari 85% dari total kebutuhan oksigen hayati.
Kebutuhan oksigen kimiawi
[sunting | sunting sumber]Kekuatan dari limbah seringkali diukur dengan uji kebutuhan oksigen kimiawi berdasarkan reaksi kimia antara unsur-unsur dalam limbah cair dengan reagen yang dipakai dalam uji kebutuhan oksigen kimiawi tersebut. Banyak dari unsur-unsur limbah cair yang tidak tergedradasi secara biologi, namun dapat teroksidasi secara kimia, sehingga nilai kebutuhan oksigen kimiawi lebih besar daripada nilai kebutuhan oksigen hayati. Satuan dari kebutuhan oksigen kimiawiadalah miligram/liter.
Kebutuhan oksigen total dan karbon organik total
[sunting | sunting sumber]Sejumlah contoh atau sampel dari limbah diambil untuk dilakukan proses pembakaran pada tungku api. Kebutuhan oksigen total merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan selama proses pembakaran; sedangkan jumlah karbon organik merupakan jumlah karbon yang dihasilkan selama pembakaran berlangsung.[8]
Padatan tersuspensi
[sunting | sunting sumber]Padatan tersuspensi pada limbah dipertimbangkan sebagai parameter karena beberapa hal di bawah ini
- Bahan organik yang tidak dapat disaring/terlarut dapat membentuk lapisan buih mengambang pada permukaan kolam, sama seperti kolam yang dialiri air. Adanya buih bukan hanya karena tidak nyaman dilihat, namun buih menghalangi transfer oksigen ke dalam air serta menghalangi masuknya cahaya ke dalam air.
- Adanya bahan terlarut yang dapat membuat air menjadi keruh bukan saja menghambat oksigen serta cahaya agar dapat masuk ke dalam air, namun juga membahayakan hewan yang hidup di air.
- Bahan terlarut yang berat cenderung berada dalam aliran yang lambat, lama kelamaan membentuk endapan. Walaupun endapan tersebut banyak mengandung oksigen sehingga penguraian limbah dapat terjadi secara anaerobik, namun risikonya adalah terbentuknya gas yang dapat menimbulkan bau.[8]
Aliran limbah
[sunting | sunting sumber]Menghitung laju aliran secara tepat adalah hal penting untuk menentukan beban hidrolik dan menghitung beban organik dari limbah kotor.[8]
Pemanfaatan limbah industri pangan
[sunting | sunting sumber]Pemanfaatan limbah pangan sangat berpengaruh terhadap pengurangan limbah itu sendiri dan membuka peluang baru serta keuntungan dalam suatu sistem produksi makanan.[9]
Limbah dari umbi-umbian
[sunting | sunting sumber]Bubur kentang sebagai sisa dari kentang yang diparut setelah proses ekstraksi pati dapat digunakan sebagai sumber pektin dalam kondisi alkali/basa; dan juga dapat dipakai untuk menggantikan serat kayu dalam pembuatan kertas untuk kemasan pangan; dan sebagai substrat untuk ragi dan pembuatan vitamin B12.[9]
Kulit singkong digunakan sebagai substrat untuk produksi enzim seperti selulase, alpha-amilase, glukoamilase, dan xylanase.[9]
Limbah dari sayur dan buah
[sunting | sunting sumber]Limbah dari buah dan sayur dapat dimanfaatkan untuk tujuan fortifikasi pangan dengan mengolah limbah menjadi zat seperti polifenol, serat pangan, minyak esensial, pigmen, enzim, dan asam organik. Limbah dari buah jeruk dan nanas pun dapat dimanfaatkan sebagai makanan hewan, dan dapat pula dimanfaatkan untuk pembuatan sirup gula.[9]
Limbah perikanan
[sunting | sunting sumber]Limbah yang dihasilkan dari industri perikanan dan kelautan bersumber dari industri hulu yang dimulai dari penangkapan ikan hingga didistribusikan ke pasar ikan; industri antara yang mengolah ikan menjadi suatu produk pangan; hingga sampai ke industri hilir yang meliputi pengepakan, penyimpanan produk, dan distribusi ke tangan konsumen. Limbah cair yang berasal dari industri perikanan tangkap maupun industri budidaya berasal dari pemakaian minyak yang menghasilkan hidrokarbon untuk digunakan pada unit mesin penggerak yang memanfaatkan tenaga pembangkit listrik. Jika digunakan dalam jumlah yang besar, maka akan membahayakan kehidupan di laut. Sementara itu, limbah yang berasal dari industri pengolahan ikan pada umumnya merupakan bahan organik yang mudah terurai, dan tidak terlalu membahayakan lingkungan jika terdapat dalam jumlah yang banyak.[10]
Air limbah dari industri pengolahan dan budidaya ikan jika diproses dengan baik, maka akan dapat dipakai sebagai pupuk organik cair di sektor pertanian; kulit dan tulang ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan penstabil makanan; jeroan ikan pun dapat dimanfaatkan oleh sektor peternakan sebagai makanan sapi, domba, dan unggas.[10]
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- ^ Defra, ed. (2009). "The Definition of Waste, Summary of European Court of Justice Judgments" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-03-18. Diakses tanggal 20 Agustus 2009.
- "Whether it is waste must be determined ... by comparison with the definition set out in Article 1(a) of Directive 75/442, as amended by Directive 91/156, that is to say the discarding of the substance in question or the intention or requirement to discard it"
- ^ EUR-Lex, ed. (1975). "Council Directive 75/442/EEC of 15 July 1975 on waste". Diakses tanggal 20 Agustus 2009.
- "For the purposes of this Directive: (a) "waste" means any substance or object which the holder disposes of or is required to dispose of pursuant to the provisions of national law in force;" (Amended by Directive 91/156)
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Ismuyanto, Bambang (2017). Teknik Pengolahan Limbah Padat. Malang: Universitas Brawijaya Press. hlm. 7. ISBN 978-602-432-167-3.
- ^ Perindustrian, Departemen (2007). "Pengeloaan Limbah Industri Pangan". Diakses tanggal 10 Januari 2022.
- ^ a b c Katsuyama, Allen M (1979). A Guide for Waste Management in the Food Processing Industry (PDF). Washington DC: The Food Processors Institute. hlm. 159.
- ^ a b Thakur, Monika (2020). Sustainable Food Waste Management. Springer. hlm. 50. ISBN 978-981-15-8967-6.
- ^ a b c d e Waldron, Keith (2007). Handbook of waste management and co-product recovery in food processing (PDF). Cambridge: Woodhead Publishing Limited. hlm. 285. ISBN 1-84569-252-7.
- ^ a b c Wang, Lawrence K (2006). Waste Treatment in the Food Processing. London: CRC Press. hlm. 293. ISBN 978-0-8493-7236-0.
- ^ Thakur, Monika (2020). Sustainable Food Waste Management. Springer. hlm. 50–51. ISBN 978-981-15-8967-6.
- ^ a b c d Katsuyama, Allen M (1979). A Guide for Waste Management in the Food Processing Industry (PDF). Washington DC: The Food Processors Institute. hlm. 12–13.
- ^ a b c d Galanakis, Charis M (2015). Food Waste Recovery. London: Academic Press. hlm. 15. ISBN 978-0-12-800351-0.
- ^ a b Sahubawa, Latif (2021). Manajemen Limbah Industri Perikanan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm. 3–4. ISBN 978-602-386-861-2.