Literasi media di Indonesia
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Gerakan literasi media di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1990-an. Kemunculan literasi media di Indonesia didorong oleh kekhawatiran para orang tua, guru, tokoh-tokoh agama, Lembaga Swasaya Masyarakat (LSM) pemerhati perlindungan anak, perguruan tinggi dan kelompok mahasiswa.[1]
Periode awal gerakan literasi media di Indonesia lebih banyak berfokus pada perlindungan anak dari dampak media, terutama televisi (TV). Gerakan literasi media di Indonesia juga banyak digagas oleh berbagai LSM, seperti Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) melalui gerakan pendidikan dan kampanye literasi media, Remotivi yang fokus pada riset dan studi media, Pusat Kajian Media dan Budaya (PKMBP) Yogyakarta dengan penelitian dan pendidikan literasi medianya. Ada pula Masyarakat Peduli Media (MPM) yang fokus pada pendidikan literasi media bagi para ibu rumah tangga, Rumah Sinema yang fokus pada literasi media untuk pelajar SMA dan ECCD-RC yang fokus pada pendidikan literasi untuk anak-anak PAUD.[1]
Literasi media mengalami perubahan dan penyesuaian seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi media yang menjadi sarana komunikasi. Dari yang awalnya berupa media cetak, berkembang dengan adanya media elektronik hingga media digital.[2]
Di Indonesia, hampir sebagian besar rumah tangga memiliki televisi (TV), radio, pemutar permainan elektronik, pemutar video, buku dan majalah. Sebuah penelitian pada tahun 2009 menunjukkan kepemilikan TV oleh rumah tangga di Jakarta mencapai 98%, telepon seluler 90%, pemutar VCD 80%, radio 74%, pemutar permainan 62%, komputer 59%, dan koneksi internet di rumah 28%.[2]
Ketersediaan media di rumah yang tinggi berbanding lurus dengan jumlah waktu yang dihabiskan untuk konsumsi media. Anak-anak menghabiskan waktu sekitar 30-35 jam per minggu untuk menonton TV. Tingginya penetrasi media, kepemilikan dan ketersediaan akses media serta pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan media yang belum kritis membuat anak-anak dan remaja rentan terpapar dampak negatif dari konten-konten media. Hal ini disebabkan oleh kualitas konten media, seperti tayangan TV yang sangat berorientasi bisnis dan sistem peringkat sehingga mengabaikan aspek pendidikan, etika dan kepantasan. Padahal terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media, terutama pada anak prasekolah, dapat membuat mereka kehilangan kesempatan belajar, bermain, bersosialisasi dan melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi tumbuh kembang fisik dan sosialnya. Selain itu, terlalu banyak menggunakan media juga dapat menyebabkan ketergantungan dan penurunan tingkat konsentrasi.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Syukri, Muhammad; Sujoko, Anang; Safitri, Reza (2019-02-20). "Gerakan dan pendidikan literasi media kritis di indonesia (studi terhadap yayasan pengembangan media anak)". MEDIAKOM. 2 (2): 111. doi:10.32528/mdk.v2i2.1925. ISSN 2580-1899.
- ^ a b c Guntarto, Bobi (2016-06-30). "Tantangan dalam Kegiatan Literasi Media di Indonesia". Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi. 8 (1): 1–36. doi:10.31937/ultimacomm.v8i1.944. ISSN 2656-0208.