Makanan yang dimodifikasi secara genetik di Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah penanam terbesar tanaman komersial hasil rekayasa genetika (RG) di dunia, tetapi bukannya tanpa penolakan, baik dari dalam negeri maupun internasional.
Monsanto, yang berbasis di Creve Coeur, Missouri, Amerika Serikat, adalah produsen utama benih RG dan menjual 90% benih RG dunia.[1]
Sejumlah organisasi yang berbasis di Amerika Serikat menentang atau merasa khawatir tentang RG karena berbagai alasan. Kelompok-kelompok seperti Center for Food Safety (Pusat Keamanan Pangan), kelompok advokasi sains nirlaba Union of Concerned Scientists (Uni Ilmuwan Peduli), Greenpeace dan Dana Dunia Untuk Alam (WWF) telah menyatakan keprihatinan mereka tentang lemahnya persyaratan Food and Drug Administration (FDA) untuk pengujian tambahan terhadap produk Genetically Modified Organism (GMO) (Organisme hasil rekayasa genetika), kurangnya pelabelan yang disyaratkan dan FDA menganggap bahwa GMO adalah "Umumnya diakui aman". Beberapa dari kelompok ini mempertanyakan apakah FDA memiliki hubungan yang "terlalu dekat" dengan perusahaan yang meminta persetujuan untuk produk mereka.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Feature story - March 7, 2008 (March 7, 2008). "New movie damns Monsanto's deadly sins | Greenpeace International". Greenpeace.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-13. Diakses tanggal February 1, 2012.
- ^ Emily Marden, Risk and Regulation: U.S. Regulatory Policy on Genetically Modified Food and Agriculture 44 B.C.L. Rev. 733 (2003). Quote: "By the late 1990s, public awareness of GM foods reached a critical level and a number of public interest groups emerged to focus on the issue. One of the early groups to focus on the issue was Mothers for Natural Law ("MFNL"), an Iowa-based organization that aimed to ban GM foods from the market....The Union of Concerned Scientists ("UCS"), an alliance of 50,000 citizens and scientists, has been another prominent voice on the issue.... As the pace of GM products entering the market increased in the 1990s, UCS became a vocal critic of what it saw as the agency’s collusion with industry and failure to fully take account of allergenicity and other safety issues."