Malam Kuala Lumpur
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Malam Kuala Lumpur merupakan novel karya Nasjah Djamin yang diterbitkan pertama kali oleh Pembangunan (1968) dan diterbitkan ulang oleh Pustaka Jaya (1983).
Malam Kuala Lumpur memiliki ketebalan 394 halaman yang dipilah menjadi 23 episode atau bagian. Novel tersebut menampilkan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia ketika terjadi konflik konfrontasi dengan Malaysia. Tokoh utama Malam Kuala Lumpur adalah Budi atau Buddy, biasa dipanggil "Bud". Ia bersuku bangsa Jawa, mantan pejuang pada zaman revolusi fisik, yang teguh pendiriannya dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Tokoh utama lainnya adalah seorang wanita Melayu (Latifah), Nyonya Inggris (Pauline Adam), Nona Hongkong (Evelyn), dan wanita Jawa (Sri Rahayu). Secara keseluruhan, Malam Kuala Lumpur karya Nasjah Djamin terdiri atas empat bagian pokok yang masing-masing diberi judul (1) Latifah, dari episode pertama pada halaman 5 hingga episode ke-6 di halaman 86, (2) Pauline, dari episode 8 pada halaman 87 hingga episode ke-10 di halaman 170, (3) Evelyn, dari episode 11 pada halaman 171 hingga episode ke-16 di halaman 269, dan (4) Sri Rahayu, dari episode 17 pada halaman 271 hingga episode terakhir ke-23 di halaman 394. Kisah dimulai ketika terjadi pergumulan fisik antara dua insan yang berlainan jenis, Budi dan Latifah, di sebuah kamar pada malam hari dalam sebuah rumah bertingkat di Petaling Jaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian cerita dilanjutkan dengan sorot balik. Melalui lamunan-lamunan dalam pikiran tokoh Budi dan dialognya dengan seorang wanita Melayu bernama Latifah, terungkap kronologis cerita. Semasa perjuangan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, Budi bersahabat baik dengan seorang keturunan Tionghoa yang bernama The. Mereka berdua merupakan kawan seperjuangan melawan penjajah kompeni Belanda di daerah seputar Semarang, Jawa Tengah. Setelah kemerdekaan negeri itu tercapai, nasib membawa keberuntungan mereka masing-masing. The menjadi orang sukses, pengusaha Biro Arsitek di daerah Semenanjung Melayu, dan memiliki rumah gedung modern di Kuala Lumpur dan Johor. Namun, nasib Budi tetap seperti dahulu, miskin dan terlunta-lunta di Jakarta—ibu kota negeri yang sudah merdeka. Tahun 1963 sebelum terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, Budi diundang The ke Kuala Lumpur menjadi turis tamunya. Budi ditempatkan di rumah The di lantai bawah yang kebetulan digunakan The sebagai kantor bisnisnya. Melalui kantor bisnis The itulah, Budi berkenalan dengan sekretaris The, seorang perempuan Melayu bernama Latifah. Mereka berdua kemudian menjalin hubungan asmara hingga berbulan-bulan lamanya. Selain berkenalan dengan seorang perempuan Melayu, Budi juga berkenalan dengan seorang nyonya berkebangsaan Inggris, bernama Pauline Adam. Meskipun perempuan tersebut telah bersuamikan seorang militer keturunan Inggris totok yang bertugas di Serawak, ia menjalin hubungan asmara pula dengan si Budi. Sebagai seorang lelaki mata keranjang, Budi pun menanggapi permainan asmara Nyonya Pauline Adam yang selalu merasa kesepian dan haus akan cinta asmara. Seorang gadis Cina dari Hongkong pun dapat dijerat oleh asmara Budi melalui biro arsitek The. Gadis Cina tersebut bernama Evelyn. Budi merupakan gambaran seorang "buaya darat" yang selalu mereguk kenikmatan asmaranya dengan perempuan-perempuan tersebut pada malam hari di Kuala Lumpur. Ketika terjadi konflik antara Indonesia dan Malaysia pada awal tahun 1964, Budi kembali ke Jakarta. Di Jakarta Budi menikah dengan seorang gadis yang berasal dari kampung halamannya, Gunung Kidul, bernama Sri Rahayu. Perempuan sederhana tersebut secara fisik merupakan duplikat Latifah, perempuan Melayu yang pernah dikenalnya. Rahayu adalah seorang pegawai negeri yang bergaji kecil dan setiap bulan mendapatkan jatah beras sebanyak 30 kilo. Dari pernikahannya dengan Rahayu, Budi memperoleh seorang anak lelaki yang diberi nama Wahyu. Hidup mereka serba kekurangan, tetapi romantis dan bahagia. Suatu ketika, tahun 1967, The datang ke Jakarta. Budi menemui The di Hotel Indonesia. Mereka berdua kemudian mengobrol sambil makan gulai sate kambing di daerah Kramat, Senen. Dalam pertemuan itu Budi minta diundang sekali lagi oleh The ke Kuala Lumpur karena ingin menjenguk Latifah. Budi sudah amat rindu pada Latifah. The menyanggupinya. Tahun itu pula Budi pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia, dengan pesawat udara, berangkat dari Kemayoran. Di Kuala Lumpur Budi ditempatkan The di sebuah hotel bernama Hotel Federal. Pada malam-malam di Kuala Lumpur itu sekali lagi Budi menjalin asmara dengan ketiga perempuan yang pernah digaulinya dulu. Peristiwa seakan-akan berulang, seperti reuni. Meskipun demikian, Budi tetap kembali ke istrinya, Sri Rahayu, dan anak semata wayangnya, Wahyu. Hidup dirasakan Budi memang absurd seperti mimpi dan bermain-main. Puji Santosa dan Maini Trisna Jayawati (2011) menyatakan bahwa perrwatakan tokoh-tokoh dalam novel Malam Kuala Lumpur karya Nasjah Djamin terlihat dinamis, tidak statis, dan berkarakter bulat seperti yang ditunjukkan pada diri tokoh protagonis Budiman dan tokoh antagonis Latifah.naan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Artikel "Malam Kuala Lumpur" - Ensiklopedia Sastra Indonesia". ensiklopedia.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2018-04-19.