Masjid Agung Syuhada Pelaihari
3°47′58″S 114°45′52″E / 3.7993528173349347°S 114.76434630990569°E
Masjid Agung Syuhada Pelaihari masjid | ||||
---|---|---|---|---|
Tempat | ||||
Negara berdaulat | Indonesia | |||
Provinsi di Indonesia | Kalimantan Selatan | |||
Kabupaten di Indonesia | Tanah Laut | |||
Kecamatan | Pelaihari | |||
Kelurahan | Pelaihari | |||
Negara | Indonesia | |||
Sejarah | ||||
Pembuatan | 1935 |
Masjid Agung Syuhada adalah sebuah masjid besar dan tertua di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Indonesia, dan menjadi kebanggaan masyarakat Pelaihari.[1][2]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Dulu di Kampung Pelaihari, berdiri sebuah wadah peribadatan sederhana yang tidak diketahui kapan dibangunnya. Tempat itu terletak di tepi danau di Jalan Pusaka Pelaihari. Berkonstruksi kayu ulin, papan, dan beratap sirap berukuran 7x7 meter. Wadah peribadatan yang dikenal dengan nama masjid itulah para pejuang pergerakan kebangsaan, sering berkumpul. Bukan saja untuk ibadah, tetapi juga mengatur strategi perjuangan.[2]
Pemerintah Belanda tak pernah curiga di dalam bangunan itu ada perjuangan rakyat Pelaihari bermula. Hingga beberapa kali pecah perang, masjid itu tak pernah terbuka kedoknya sebagai tempat pengaturan serangan ke benteng Belanda.[2]
Menurut Sekretaris Umum Masjid Agung Syuhada Pelaihari, Khamarulzaman, di pasca kemerdekaan, peran masjid sedikit berubah. Hanya melayani jamaahnya beribadah. Namun seiring pertambahan penduduk, Masjid Agung Syuhada tak lagi mampu menampung jamaah. Warga pun bergotong royong. Bahu membahu membangun Masjid Agung Syuhada. Menurut catatan-catatan lama, masjid pertama dibangun tahun 1935.[2]
Dipelopori beberapa tokoh masyarakat, mereka membentuk panitia yang dibagi dalam dua kelompok kerja.Pertama bidang fatwa, yang terdiri H Mansur, H Jafri, H Abdul Gani, H Matran, H Ramli, H Anang Syukri, H Abdul Hamid, dan H Asmail. Mereka ini bertugas member fatwa hukum berdasarkan syariat Islam. Selain itu, dibentuk panitia kedua yang memberi motivasi masyarakat berwakaf dan infaq dan mereka lebih dikenal membidangi dana dan pengerahan massa secara massal, di antaranya Sidik, H Abdussyukur, H Khali, H Aanang Tuah, H Bakeri, H Hasim, H Abul Kadir, Hasbullah dan H Nunci.[2]
Selama pembangunan masjid, sebagaimana kisah masjid bersejarah lain di Kalsel, Masjid Agung Syuhada Pelaihari pun punya riwayat menarik. Misalnya, ketika mendatangkan empat sokoguru dari Kampung Jilatan dengan panjang 40 meter berdiameter 50 cm. Perjalanan dari Jilatan menuju Pelaihari ditempuh dengan menarik secara massal oleh warga Pelaihari. Mereka dibantu masyarakat desa yang dilalui seperti Desa Jilatan, Tajau Pecah, Tampang, dan Sarang Halang. Urusan makan dan minum, warga desa yang dilewati yang menyediakan.
Hingga sekitar tahun 2000, masjid ini berkembang menjadi lebih modern dengan tambahan luas tanah dan pembangunan tempat wudhu terpisah antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksesuaian bangunan juga sempat terjadi, hingga mengalami pembongkaran pada bagian tempat wudhu yang telah dibangun.
Arsitektur
[sunting | sunting sumber]Dari arsitektur bangunan, Masjid Agung Syuhada agaknya terpengaruh Masjid Agung Demak, terutama bentuk atap 3 rangkapnya. Di masjid ini juga terdapat tiga kubah di atas mihrab, teras depan dan kubah di atas atap bangunan.
Penamaan Masjid Syuhada diambil dari masa perjuangan. Pada periode Panitia Pembanguan Masjid diketuai H Abdulah Sani tahun 2000, masjid ini pernah direnovasi secara modern. Namun batal, lantaran panitianya bubar.
Walau begitu, kini Masjid Agung Syuhada Pelaihari tetap semarak. Terlebih sejak digelar pengajian rutin oleh KH Ahmad Bakeri. Masjid tua ini semakin ramai jamaah. Ruang induk hingga plasa masjid selalu penuh jamaah saat pengajian rutin.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Jejak Perjuangan di Masjid Agung Syuhada Pelaihari Diarsipkan 2016-10-13 di Wayback Machine.. inilah.com. Diakses pada 20 Juni 2012
- ^ a b c d e M. Syaifuddin, Syahifuddin (11 April 2022). "Sejarah Masjid Agung Syuhada Pelaihari". Radar Banjarmasin. Diakses tanggal 19 Mei 2024.