Lompat ke isi

Masjid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Masjid nasional)
Masjid Biru di Istanbul, Turki.

Masjid (serapan dari bahasa Arab: مَسْجِد, translit. masjid, pelafalan [mǝsdʒid]; secara harfiah "tempat sujud"), merupakan tempat salat bagi umat Islam.[1] Masjid biasanya tertutup bangunan, tetapi bisa menjadi tempat salat (sujud) dilakukan, termasuk halaman luar.[2][3]

Awalnya masjid adalah tempat salat sederhana bagi umat Islam, dan mungkin merupakan ruang terbuka daripada bangunan.[4] Pada tahap pertama arsitektur Islam, 650-750, masjid terdiri dari ruang terbuka dan tertutup yang dikelilingi oleh dinding, seringkali dengan menara tempat azan dikeluarkan.[5] Bangunan masjid biasanya berisi mihrab dipasang di dinding yang menunjukkan arah Kiblat ke Makkah,[1] dan fasilitas wudu.[1][6] Mimbar, tempat di mana khutbah salat Jumat disampaikan, dulunya adalah karakteristik masjid pusat kota, tetapi sejak itu menjadi umum di masjid-masjid kecil.[7][1] Masjid biasanya memiliki ruang terpisah untuk pria dan wanita.[1] Pola dasar organisasi ini mengambil bentuk yang berbeda tergantung pada wilayah, periode, dan mazhab.[6]

Masjid umumnya berfungsi sebagai lokasi untuk salat, buka puasa Ramadan, salat Jenazah, pelaksanaan pernikahan dan bisnis, pengumpulan dan distribusi sedekah, serta tempat penampungan tunawisma,[1][7] tempat tinggalnya orang-orang bertakwa, tempat berkumpul kaum muslimin setiap hari, markas untuk mengadakan muktamar (pertemuan besar), tempat bermusyawarah dan saling memberi nasehat, tempat bertemu untuk saling mengenal dan persatuan, dan tempat menumbuhkan semangat saling tolong menolong dalam kebaikan.[8] Secara historis, masjid telah berfungsi sebagai pusat komunitas, pengadilan, dan sekolah agama. Di zaman modern, mereka juga mempertahankan perannya sebagai tempat pengajaran dan debat agama.[1][7] Kepentingan khusus diberikan kepada Masjidilharam (pusat haji), Masjid Nabawi di Madinah (tempat pemakaman Muhammad) dan Masjidilaqsa di Yerusalem (diyakini sebagai tempat kenaikan Muhammad ke surga).[1]

Dengan penyebaran Islam, masjid berlipat ganda di seluruh dunia Islam. Terkadang gereja dan kuil diubah menjadi masjid, yang memengaruhi gaya arsitektur Islam.[7] Sementara sebagian besar masjid pra-modern didanai oleh sumbangan amal,[1] peningkatan peraturan pemerintah tentang masjid besar telah diimbangi dengan munculnya masjid yang didanai swasta, banyak di antaranya berfungsi sebagai basis untuk berbagai organisasi revivalis Islam dan aktivitas sosial.[7] Masjid telah memainkan sejumlah peran politik. Tingkat kehadiran masjid sangat bervariasi tergantung pada wilayah.

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada di mana sajada berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".[9] Dalam pola maf'il, masjid berarti tempat sujud. Kemudian, pola mashdarnya menambahkan isim menjadi masjad. Kata ini berarti bekas sujud yang terlihat pada dahi. Kata masjid dan masjad adalah bentuk tunggal dari kata masâjid.[10]

Etimologi masjid berdasarkan salah satu hadis yaitu sebagai tempat sujud di Bumi. Lokasinya adalah di segala tempat di Bumi dan tidak ada lokasi khusus untuk tempat sujud ini. Dalam pengertian ini, masjid menjadi tempat pelaksanaan salat yang sifatnya suci dari najis. Beberapa lokasi tidak dapat dijadikan sebagai tempat salat atau masjid karena disebutkan dalam dalil. Tempat-tempat ini antara lain pemakaman, kamar mandi, dan kandang.[10]

Terminologi

[sunting | sunting sumber]

Menurut terminologi, masjid diartikan sebagai lahan yang kepemilikannya bersifat umum dan tidak pribadi, yang dijadikan sebagai tempat khusus untuk ibadah. Kepemilikan masjid dipandang sebagai milik Allah dengan tujuan sebagai tempat salat. Termonologi masjid secara khusus ialah tempat pelaksanaan salat lima waktu. Dalam pengertian ini, musala dan tempat pelaksanaan yang khusus untuk salat Id tidak dikategorikan sebagai masjid. Berdasarkan terminologi ini, tempat bagi fakir miskin dan madrasah juga tidak dimasukkan dalam kategori masjid. Pada tempat-tempat ini, hukum-hukum yang berlaku pada masjid tidak dapat diberlakukan.[10]

Interior masjid Da'wah di kota Pekanbaru, Riau
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Masjid khas Minangkabau pada tahun 1895.

Menara-menara, serta kubah masjid yang besar, seakan menjadi saksi betapa jayanya Islam pada kurun abad pertengahan. Masjid telah melalui serangkaian tahun-tahun terpanjang di sejarah hingga sekarang. Mulai dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Selama lebih dari 1000 tahun pula, arsitektur masjid perlahan-lahan mulai menyesuaikan bangunan masjid dengan arsitektur modern.

Masjid pertama

[sunting | sunting sumber]

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, dia memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw.[9] Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin.

Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia.[11]

Penyebaran masjid

[sunting | sunting sumber]

Masjid kemudian dibangun di daerah luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, ibu kota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid. Maka dari itu, Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara.[12] Beberapa masjid di Kairo berfungsi sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan sebagai rumah sakit.[13] Masjid di Sisilia dan Spanyol tidak menirukan desain arsitektur Visigoth, tetapi menirukan arsitektur bangsa Moor.[14] Para ilmuwan kemudian memperkirakan bahwa bentuk bangunan pra-Islam kemudian diubah menjadi bentuk arsitektur Islam ala Andalus dan Magribi, seperti contoh lengkung tapal kuda di pintu-pintu masjid.[15]

Menara Masjid Raya Xi'an di Xi'an, Tiongkok

Masjid pertama di Tiongkok berdiri pada abad ke 8 Masehi di Xi'an. Masjid Raya Xi'an, yang terakhir kali di rekonstruksi pada abad ke 18 Masehi, mengikuti arsitektur Tiongkok. Masjid di bagian barat Tiongkok seperti di daerah Xinjiang, mengikuti arsitektur Arab, di mana di masjid terdapat kubah dan menara. Sedangkan, di timur Tiongkok, seperti di daerah Beijing, mengandung arsitektur Tiongkok.[16]

Masjid mulai masuk di daerah India pada abad ke 16 semasa kerajaan Mugal berkuasa. Masjid di India mempunyai karakteristik arsitektur masjid yang lain, seperti kubah yang berbentuk seperti bawang. Kubah jenis ini dapat dilihat di Masjid Jama, Delhi.

Masjid pertama kali didirikan di Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke 11 Masehi, di mana pada saat itu orang-orang Turki mulai masuk agama Islam. Beberapa masjid awal di Turki adalah Aya Sofya, di mana pada zaman Bizantium, bangunan Aya Sofya merupakan sebuah katedral. Kesultanan Utsmaniyah memiliki karakteristik arsitektur masjid yang unik, terdiri dari kubah yang besar, menara dan bagian luar gedung yang lapang. Masjid di Kesultanan Usmaniyah biasanya mengolaborasikan tiang-tiang yang tinggi, jalur-jalur kecil di antara saf-saf, dan langit-langit yang tinggi, juga dengan menggabungkan mihrab dalam satu masjid.[17] Sampai saat ini, Turki adalah rumah dari masjid yang berciri khas arsitektur Utsmaniyah.

Secara bertahap, masjid masuk ke beberapa bagian di Eropa. Perkembangan jumlah masjid secara pesat mulai terlihat seabad yang lalu, ketika banyak imigran Muslim yang masuk ke Eropa. Kota-kota besar di Eropa, seperti München, London dan Paris memilki masjid yang besar dengan kubah dan menara. Masjid ini biasanya terletak di daerah urban sebagai pusat komunitas dan kegiatan sosial untuk para muslim di daerah tersebut. Walaupun begitu, seseorang dapat menemukan sebuah masjid di Eropa apabila di sekitar daerah tersebut ditinggali oleh kaum Muslim dalam jumlah yang cukup banyak.[18] Masjid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke 20. Masjid yang pertama didirikan di Amerika Serikat adalah di daerah Cedar Rapids, Iowa yang dibangun pada kurun akhir 1920an. Bagaimanapun, makin banyak imigran Muslim yang datang ke Amerika Serikat, terutama dari Asia Selatan, jumlah masjid di Amerika Serikat bertambah secara drastis. Di mana jumlah masjid pada waktu 1950 sekitar 2% dari jumlah masjid di Amerika Serikat, pada tahun 1980, 50% jumlah masjid di Amerika Serikat didirikan.[19]

Perubahan tempat ibadah menjadi masjid

[sunting | sunting sumber]
Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah, dahulu merupakan gereja Bizantium
Masjid Aya Sofya, dahulu merupakan gereja

Menurut sejarawan Muslim, sebuah kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan dari penduduknya, maka pasukan Muslim memperbolehkan penduduk untuk tetap mempergunakan gereja dan sinagoge mereka. Tapi, ada beberapa gereja dan sinagoge yang beralih fungsi menjadi sebuah masjid dengan persetujuan dari tokoh agama setempat. Misal pada perubahan fungsi Masjid Umayyah, di mana khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik mengambil gereja Santo Yohannes pada tahun 705 dari Umat Kristiani. Kesultanan Utsmaniyah juga melakukan alih fungsi terhadap beberapa gereja, biara dan kapel di Istanbul, termasuk gereja terbesar Ayasofya yang diubah menjadi masjid, setelah kejatuhan kota Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad al-Fatih. Beberapa masjid lainnya juga didirikan di daerah suci milik Yahudi dan Kristen, seperti di Yerusalem.[9] Penguasa Muslim di India juga membangun masjid hanya untuk memenuhi tugas mereka di bidang agama.

Sebaliknya, masjid juga dialihfungsikan menjadi tempat ibadah yang lain, seperti gereja. Hal ini dilakukan oleh umat Kristiani di Spanyol yang mengubah fungsi masjid di selatan Spanyol menjadi katedral, mengikuti keruntuhan kekuasaan Bani Umayyah di selatan Spanyol.[20] Masjid Agung Kordoba sekarang dialihfungsikan menjadi sebuah gereja. Beberapa masjid di kawasan Semenanjung Iberia, Eropa Selatan dan India juga dialih fungsikan menjadi gereja atau pura setelah kekuasaan Islam tidak berkuasa lagi.

Pemberlakuan hukum

[sunting | sunting sumber]

Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masjid diberlakukan pada masjid dan pekarangan masjid. Ini berlaku karena pekarangan masjid umumnya langsung terhubung dengan bangunan masjid. Hukum yang berlaku pada masjid berlaku pada seluruh lahan masjid dengan adanya pembatas maupun tanpa pembatas. Jika masjid memiliki ruangan khusus untuk perpustakaan, maka ruangan tersebut juga diberlakukan hukum masjid. Syarat yang harus dipenuhi ialah posisi pintunya. Hukum masjid hanya berlaku jika pintu ruangan perpustakaan berada di dalam masjid.[21]

Fungsi keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Semua muslim yang telah baligh atau dewasa diperintahkan untuk menunaikan salat wajib lima kali sehari secara berjamaah di masjid kecuali ada halangan. Pada hari Jumat, semua muslim laki-laki yang telah dewasa diwajibkan pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat selama tidak ada halangan, berdasarkan Surah Al-Jumu’ah ayat 9:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[22]

Umat Muslim sedang melakukan salat di Masjid Umayyah

Salat jenazah, biasanya juga diselenggarakan di masjid. Salat jenazah dilakukan untuk muslim yang telah meninggal, dengan dipimpin seorang imam. Salat jenazah dilakukan di area sekitar masjid.[23] Ketika gerhana matahari muncul, kaum Muslimin juga mengadakan salat khusuf untuk mengingat kebesaran Allah.[24] Pada dua hari raya atau 'idain, yaitu Idulfitri dan Iduladha umat Muslim juga melakukan salat. Biasanya, beberapa masjid kecil di daerah Eropa atau Amerika akan menyewa sebuah gedung pertemuan untuk menyelenggarakan salat 'Id.[25] Di Indonesia, Salat 'Id dilakukan di lapangan terbuka atau di masjid sekitar apabila tidak memungkinkan.

Kegiatan bulan Ramadan

[sunting | sunting sumber]

Masjid, pada bulan Ramadan, mengakomodasi umat Muslim untuk beribadah pada bulan Ramadan. Biasanya, masjid akan sangat ramai di minggu pertama Ramadan. Pada bulan Ramadan, masjid-masjid biasanya menyelenggarakan acara pengajian yang amat diminati oleh masyarakat. Tradisi lainnya adalah menyediakan iftar, atau makanan buka puasa. Ada beberapa masjid yang juga menyediakan makanan untuk sahur. Masjid-masjid biasanya mengundang kaum fakir miskin untuk datang menikmati sahur atau iftar di masjid. Hal ini dilakukan sebagai amal saleh pada bulan Ramadan.[26]

Pada malam hari setelah salat Isya digelar, umat Muslim disunahkan untuk melaksanakan salat Tarawih berjamaah di masjid. Setelah salat Tarawih, ada beberapa orang yang akan membacakan Al-Qur'an.[22] Pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masjid-masjid besar akan menyelenggarakan Iktikaf, yaitu sunnah Nabi Muhammad saw. untuk berdiam diri di Masjid (mengkhususkan hari-hari terakhir Ramadan guna meningkatkan amal ibadah) dan memperbanyak mengingat Allah SWT.[22]

Rukun ketiga dalam Rukun Islam adalah zakat. Setiap muslim yang mampu wajib menzakati hartanya sebanyak 2.5% dari jumlah hartanya. Masjid, sebagai pusat dari komunitas umat Islam, menjadi tempat penyaluran zakat bagi yatim piatu dan fakir miskin. Pada saat Idulfitri, masjid menjadi tempat penyaluran zakat fitrah dan membentuk panitia amil zakat.

Panitia zakat, biasanya dibentuk secara lokal oleh orang-orang atau para jemaah yang hidup di sekitar lingkungan masjid. Begitu pula dalam pengelolaannya. Namun, untuk masjid-masjid besar seperti di pusat kota, biasanya langsung ditangani oleh pemerintah daerah setempat.

Fungsi sosial

[sunting | sunting sumber]
Masjid di Martapura pada masa penjajahan. Masjid di banyak kota di Indonesia menjadi bagian tidak terpisahkan dari alun-alun.

Pusat kegiatan masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Banyak pemimpin Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti kota Mekkah dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, kota Karbala juga dibangun di dekat makam Husain bin Ali. Kota Isfahan, Iran dikenal dengan Masjid Imam-nya yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Pada akhir abad ke-17, Syah Abbas I dari dinasti Safawi di Iran mengubah kota Isfahan menjadi salah satu kota terbagus di dunia dengan membangun Masjid Syah dan Masjid Syaikh Lutfallah di pusat kota. Ini menjadikan kota Isfahan memiliki lapangan pusat kota yang terbesar di dunia. Lapangan ini berfungsi sebagai pasar bahkan tempat olahraga.[27]

Masjid di daerah Amerika Serikat dibangun dengan sangat sering. Masjid biasa digunakan sebagai tempat perkumpulan umat Islam. Biasanya perkembangan jumlah masjid di daerah pinggiran kota, lebih besar dibanding di daerah kota. Masjid dibangun agak jauh dari pusat kota.[28]

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]
Madrasah Ulugh Beg, yang termasuk dalam kompleks masjid di Samarkand, Uzbekistan

Fungsi utama masjid yang lainnya adalah sebagai tempat pendidikan. Beberapa masjid, terutama masjid yang didanai oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar baik ilmu keislaman maupun ilmu umum. Sekolah ini memiliki tingkatan dari dasar sampai menengah, walaupun ada beberapa sekolah yang menyediakan tingkat tinggi. Beberapa masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia, dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains. Selain itu, tujuan adanya pendidikan di masjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk Muslim di daerah luar Arab, termasuk Indonesia. Kelas-kelas untuk mualaf, atau orang yang baru masuk Islam juga disediakan di masjid-masjid di Eropa dan Amerika Serikat, di mana perkembangan agama Islam melaju dengan sangat pesat.[29] Beberapa masjid juga menyediakan pengajaran tentang hukum Islam secara mendalam. Madrasah, walaupun letaknya agak berpisah dari masjid, tetapi tersedia bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu keislaman.

Kegiatan dan pengumpulan dana

[sunting | sunting sumber]

Masjid juga menjadi tempat kegiatan untuk mengumpulkan dana. Masjid juga sering mengadakan bazar, di mana umat Islam dapat membeli alat-alat ibadah maupun buku-buku Islam. Masjid juga menjadi tempat untuk akad nikah, seperti tempat ibadah agama lainnya.

Masjid tanah liat di Djenné, Mali, secara tahunan mengadakan festival untuk merekonstruksi dan membenah ulang masjid.

Masjid dan politik

[sunting | sunting sumber]

Di penghujung abad ke-20, peranan masjid sebagai tempat berpolitik mulai meningkat. Saat ini, partisipasi kepada masyarakat mulai menjadi agenda utama masjid-masjid di daerah Barat. Karena melihat masyarakat sekitar adalah penting, masjid-masjid digunakan sebagai tempat dialog dan diskusi damai antara umat Islam dengan non-Muslim.

Masjid Raya Paris

Negara yang di mana jumlah penduduk Muslimnya sangat sedikit, biasanya turut membantu dalam hal-hal masyarakat, seperti misalnya memberikan fasilitas pendaftaran pemilih untuk kepentingan pemilu.[30] Pendaftaran pemilih ini melibatkan masyarakat Islam yang tinggal di sekitar Masjid. Beberapa masjid juga sering berpartisipasi dalam demonstrasi, penandatanganan petisi, dan kegiatan politik lainnya.[30]

Selain itu, peran masjid dalam dunia politik terlihat di bagian lain di dunia.[31] Contohnya, pada kasus pengeboman Masjid al-Askari di Irak. pada bulan Februari 2006 Imam-imam dan khatib di Masjid al-Askari menggunakan masjid sebagai tempat untuk menyeru pada kedamaian di tengah kerusuhan di Irak.[32]

Konflik sosial

[sunting | sunting sumber]

Masjid kadang-kadang menjadi sasaran kemarahan umat non-Muslim. Kadang kala kasus persengketan terjadi di beberapa daerah di mana umat Islam menjadi minoritas di daerah tersebut.

Sebagai contoh konkret adalah kasus di Masjid Babri. Masjid Babri yang terletak di Mumbai, India menjadi masalah sengketa lahan antara masyarakat penganut Hindu dan masyarakat Muslim. Hal ini disebabkan Masjid Babri berdiri di daerah keramat Mandir.[33] Sebelum sebuah kesepakatan dibuat, masyarakat dan aktivis Hindu berjumlah 75000 massa menghancurkan bangunan Masjid Babri pada 6 Desember 1992.

Selain itu, masjid juga sering menjadi tempat pengejekan dan penyerbuan terhadap umat Muslim setelah terjadinya peristiwa 11 September.[34] Lebih dari itu, Liga Yahudi diketahui berencana mengebom King Fahd Mosque di Culver City, California.[35] Masjid Hassan Bek di Palestina menjadi objek penyerbuan kaum Yahudi Israel kepada Muslim Arab.[36][37][38]

Pengaruh Saudi

[sunting | sunting sumber]

Walaupun Arab Saudi telah berperan dalam membangun masjid sejak awal abad ke-20, tetapi pada pertengahan abad ke-20, Arab Saudi menjadi negara yang paling banyak mendukung atau mendonasikan pembangunan masjid di seluruh dunia.[39] Pada awal 1980-an, pemerintah Arab Saudi, di bawah kepemimpinan Khaled dan Fahd mendonasikan biaya untuk pembangunan masjid di beberapa bagian di dunia. Dana sebesar 45 miliar dolar telah dihabiskan untuk membangun masjid di seluruh dunia. Koran Ainul Yaqin di Arab Saudi mencatat bahwa pemerintah Arab Saudi telah membangun setidaknya 1500 masjid dan lebih dari 2000 pusat Islam di seluruh dunia.[40] Di Amerika Serikat dan Italia, masjid dan pusat pendidikan Islam telah berdiri di California dan Roma. Proyek tersebut adalah investasi terbesar bagi pemerintah Arab Saudi.[39][41]

Arsitektur

[sunting | sunting sumber]
Masjid Indrapuri di Aceh, akhir abad ke-19, bergaya arsitektur Nusantara. Foto koleksi KITLV.

Bentuk bangunan masjid yang utama ialah persegi atau persegi panjang. Tujuannya agar saf dapat tersusun secara lurus dan arah kiblat terlihat jelas. Bangunan masjid juga diutamakan tidak menyerupai bentuk bangunan lain. Tujuannya sebagai pembeda yang membuatnya dapat dikenali sebagai masjid.[42] Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat di Anatolia.

Masjid di Kobe, Jepang

Arab-plan atau hypostyle adalah bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan dipelopori oleh Bani Umayyah. Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang dibangun pada sebuah dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam. Halaman di masjid sering digunakan untuk menampung jamaah pada hari Jumat. Beberapa masjid berbentuk hypostyle ayau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap datar di atasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang.[9] Contoh masjid yang menggunakan bentuk hypostyle adalah Masjid Kordoba, di Kordoba, yang dibangun dengan 850 tiang.[43] Beberapa masjid bergaya hypostyle memiliki atap melengkung yang memberikan keteduhan bagi jamaah di masjid. Masjid bergaya arab-plan mulai dibangun pada masa Abbasiyah dan Umayyah, tetapi masjid bergaya arab-plan tidak terlalu disenangi.

Masjid El Rahman diCherchell di Aljazair (dibangun tahun 1574 pada masa Kesultanan Utsmaniyah)

Kesultanan Utsmaniyah kemudian memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di tengah pada abad ke-15 dan memiliki kubah yang besar, di mana kubah ini melingkupi sebagian besar area salat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah.[44] Gaya ini sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan kubah besar.[9]

Masjid gaya Iwan juga dikenal dengan bagian masjid yang dikubah. Gaya ini diambil dari arsitektur Iran pra-Islam.

Bentuk umum dari sebuah masjid adalah keberadaan menara. Menara asal katanya dari bahasa Arab "nar" yang artinya "api"( api di atas menara/lampu) yang terlihat dari kejauhan. Menara di masjid biasanya tinggi dan berada di bagian pojok dari kompleks masjid. Menara masjid tertinggi di dunia berada di Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko.[45]

Masjid-masjid pada zaman Nabi Muhammad tidak memiliki menara, dan hal ini mulai diterapkan oleh pengikut ajaran Wahabiyyah, yang melarang pembangunan menara dan menganggap menara tidak penting dalam kompleks masjid. Menara pertama kali dibangun di Basra pada tahun 665 sewaktu pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Muawiyah I, yang mendukung pembangunan menara masjid untuk menyaingi menara-menara lonceng pada gereja. Menara bertujuan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan.[46]

Pada masjid yang membangun menara, tinggi menara harus dibuat seperlunya dan tidak berlebihan. Selain itu, jumlah menara juga harus secukupnya saja. Jika suatu masjid telah memiliki pengeras suara, maka pembangunan menara menjadi tidak wajib. Dana yang dimiliki oleh masjid untuk pembangunan menara dialihkan untuk pembangunan masjid lainnya.[47]

Masjid dengan kubah yang besar di Pusat Islam Wina

Kubah juga merupakan salah satu ciri khas dari sebuah masjid. Seiring waktu, kubah diperluas menjadi sama luas dengan tempat ibadah di bawahnya. Walaupun kebanyakan kubah memakai bentuk setengah bulat, masjid-masjid di daerah India dan Pakistan memakai kubah berbentuk bawang.[48]

Salah satu sudut dalam Masjid dengan Mihrab pada bagian tengah ruangan

Tempat ibadah

[sunting | sunting sumber]

Tempat ibadah atau ruang salat, tidak diberikan meja, atau kursi, sehingga memungkinkan para jamaah untuk mengisi saf atau barisan-barisan yang ada di dalam ruang salat. Bagian ruang salat biasanya diberi kaligrafi dari potongan ayat Al-Qur'an untuk memperlihatkan keindahan agama Islam serta Al-Qur'an. Ruang salat mengarah ke arah Ka'bah, sebagai kiblat umat Islam.[49] Di masjid juga terdapat mihrab dan mimbar. Mihrab adalah tempat imam memimpin salat, sedangkan mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah.[50]

Tempat bersuci

[sunting | sunting sumber]

Dalam komplek masjid, di dekat ruang salat, tersedia ruang untuk menyucikan diri, atau biasa disebut tempat wudhu. Di beberapa masjid kecil, kamar mandi digunakan sebagai tempat untuk berwudhu. Sedangkan di masjid tradisional, tempat wudhu biasanya sedikit terpisah dari bangunan masjid.[43]

Fasilitas lain

[sunting | sunting sumber]

Masjid modern sebagai pusat kegiatan umat Islam, juga menyediakan fasilitas seperti klinik, perpustakaan, dan tempat berolahraga. Di Masjid Raya Bandung, halaman depannya merupakan lapangan terbuka untuk masyarakat.

Aturan dan etiket

[sunting | sunting sumber]
Masjid Raya Isfahan di Iran

Masjid sebagai tempat beribadah kaum muslim, merupakan tempat suci. Oleh karena itu, ada peraturan dan etiket yang harus dipenuhi ketika berada di masjid.

Pemilihan imam sebagai pemimpin salat sangat dianjurkan, meskipun bukan sebuah kewajiban.[51] Seorang imam haruslah seorang muslim yang jujur, baik dan paham akan agama Islam.[51] Sebuah masjid yang dibangun dan dirawat oleh pemerintah, akan dipimpin oleh Imam yang ditunjuk oleh pemerintah.[51] Masjid yang tidak dikelola pemerintah, akan memilih imam dengan sistem pemilihan dengan suara terbanyak. Menurut Mazhab Hanafi, orang yang membangun masjid layak disebut sebagai imam, walaupun konsep ini tidak diajarkan ke mazhab lainnya.[51]

Kepemimpinan salat dibagi dalam tiga jenis, yakni imam untuk salat lima waktu, imam salat Jumat dan imam salat lainnya (seperti salat khusuf atau jenazah). Semua ulama Islam berpendapat bahwa jemaah laki-laki hanya dapat dipimpin oleh seorang imam laki-laki. Bila semua jemaah adalah perempuan, maka baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi imam, asalkan perempuan tidak menjadi imam bagi jemaah laki-laki.[51]

Kebersihan

[sunting | sunting sumber]

Masjid merupakan tempat yang suci, maka jamaah yang datang ke masjid harus dalam keadaan yang suci pula. Sebelum masuk masjid, jemaah harus berwudhu di tempat wudhu yang telah disediakan. Selain itu, jemaah tidak boleh masuk ke masjid dengan menggunakan sepatu atau sandal yang tidak bersih. Jemaah sebisa mungkin harus dalam keadaan rapi, bersih, dan tidak dalam keadaan junub. Seorang jamaah dianjurkan untuk bersiwak sebelum masuk ke masjid, untuk menghindari bau mulut.[52]

Masjid Ar-Rahman di Pekanbaru

Agama Islam menganjurkan untuk berpakaian rapi, sopan, dan bersih dalam beribadah. Jemaah laki-laki dianjurkan memakai baju yang longgar dan bersih. Jamaah perempuan diharuskan memakai jubah yang longgar atau memakai hijab. Baik jemaah laki-laki maupun perempuan tidak boleh memakai pakaian yang memperlihatkan aurat. Kebanyakan umat Islam memakai baju khas Timur Tengah seperti jubah atau hijab.[22] Pakaian harus baik sesuai Firman Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Araf ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.


Masjid sebagai tempat untuk beribadah tidak boleh diganggu ketenangannya. Pembicaraan dengan suara yang keras di sekitar masjid yang dapat mengganggu jamaah di masjid dilarang. Selain itu, orang tidak boleh berjalan di depan jemaah yang sedang salat.[53] Para jemaah juga dianjurkan untuk memakai pakaian yang tidak bertulisan maupun berwarna supaya menjaga kekhusyuan salat.

Masjid Schwetzingen di Jerman

Pemisahan gender

[sunting | sunting sumber]

Pemisahan antara lelaki dan perempuan di masjid sangat penting, agar tidak menimbulkan syahwat. Posisi jemaah wanita di masjid adalah di belakang jemaah pria. Nabi islam Muhammad dalam hadisnya mengatakan:

"Tempat ibadah terbaik bagi perempuan adalah di rumah."

Bahkan khalifah rasyidin, Umar bin Khattab melarang wanita untuk salat di masjid.[54] Pada beberapa masjid di Asia Tenggara dan Asia Selatan, jemaah perempuan dipisahkan dengan sebuah hijab atau dibedakan lantainya. Sedangkan di Masjidil Haram, jemaah perempuan dan anak-anak diberi tempat khusus untuk beribadah.[55]

Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, penganut selain Islam diperbolehkan untuk masuk ke masjid, selama mereka tidak makan atau tidur di dalamnya. Tapi, Mazhab Maliki memiliki pendapat lain yang melarang penganut selain Islam untuk masuk ke masjid dalam keadaan apa pun.[51]

Menurut Imam Hambali, penganut agama samawi, seperti Kristen maupun Yahudi masih diperbolehkan untuk masuk ke Masjidil Haram. Tapi, khalifah Bani Umayyah, Umar II melarang non-muslim untuk masuk ke daerah Masjidil Haram dan kemudian berlaku di seluruh penjuru Arab. Masjid-masjid di Maroko yang menganut Mazhab Maliki melarang non-muslim untuk masuk ke masjid.[56] Di Amerika Serikat, non-muslim diperbolehkan untuk masuk, sebagai sarana untuk pembelajaran Islam.[57][58]

Saat ini, di Arab Saudi, kota Mekkah dan Madinah hanya diperbolehkan untuk kaum Muslim saja. Sedangkan bagi non-muslim, diarahkan ke kota Jeddah.[59]

Pemakmuran

[sunting | sunting sumber]

Dalam Surah At-Taubah ayat 18 disebutkan bahwa memakmurkan masjid merupakan salah satu tanda keimanan kepada Allah.[60] Memakmurkan masjid dapat diartikan sebagai melaksanakan ibadah dan membantu pembangunan masjid.[61] Membiayai pembangunan masjid merupakan salah satu bentuk ibadah dan amalan terbaik di dalam Islam. Kedudukannya didasarkan kepada kedudukan masjid sebagai sarana salat berjemaah dan perannya dalam ibadah Islam yang lainnya.[21] Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan, pembangunan masjid diganjari dengan rumah atau masjid di surga. Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari dan Jabir bin Abdullah, membangun masjid meskipun sebesar sarang burung akan mendapatkan ganjaran berupa rumah yang seukuran dengannya di surga. Ukuran sarang burung dalam riwayat ini adalah seukuran sarang burung yang bertelur di tanah.[61]

Pada hadis lainnya, pemakmuran masjid secara berlebihan dijadikan tanda kiamat. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, membangga-banggakan masjid menjadi pertanda akan terjadinya kiamat. Kegiatan membangga-banggakan masjid ini berupa kegiatan memberikan hiasan-hiasan pada masjid dan mengadakan perlombaan atasnya. Kegiatan menghias masjid mulai dilarang pada masa khalifah Umar bin Khattab. Kegiatan ini dianggap mengganggu ibadah salat dan merupakan perbuatan yang sia-sia dan berlebihan. Pelarangan ini pertama kali diberlakukan pada Masjid Nabawi.[62] Umar bin Khattab melarang pengecatan Masjid Nabawi dengan warna merah atau kuning.[63] An-Nawawi menetapkan kegiatan menghiasi masjid dengan kedudukan makruh.[64]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i John L. Esposito, ed. (2014). "Mosque". The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. 
  2. ^ Longhurst, Christopher E; Theology of a Mosque: The Sacred Inspiring Form, Function and Design in Islamic Architecture, Lonaard Journal. Mar 2012, Vol. 2 Issue 8, p3-13. 11p. “Since submission to God is the essence of divine worship, the place of worship is intrinsic to Islam’s self-identity. This ‘place’ is not a building per se but what is evidenced by the etymology of the word ‘mosque’ which derives from the Arabic ‘masjid’ meaning ‘a place of sujud (prostration).’
  3. ^ Colledge, R. (1999). The mosque. In: Mastering World Religions. Macmillan Master Series. Palgrave, London. https://doi.org/10.1007/978-1-349-14329-0_16 “A mosque is a building where Muslims bow before Allah to show their submission to His will. It is not necessary to have a building to do this. Muhammad said that ‘Wherever the hour of prayer overtakes you, you shall perform the prayer. That place is the mosque’. In his early days in Makkah there was no mosque, so he and his friends would pray anywhere.”
  4. ^ Grabar 1969, hlm. 34: "The main characteristic, then, of this first stage was the creation of a space which served exclusively Muslim purposes and which, in cities that were entirely Muslim, existed on two separate levels of exclusivity. The word masjid is always associated with these spaces, but it does not yet possess any formal structure nor does it have any precise function other than that of excluding non-Muslims."
  5. ^ Grabar 1969, hlm. 34-35: "A second stage occurred between 650 and 750. To my knowledge, twenty-seven masjids from this period are archaeologically definable… All mosques had a certain relationship between open and closed covered spaces. The problems posed by this relationship pertain primarily to the history of art, except on one point, which is the apparent tendency to consider the covered parts as the bayt al-salat, i.e. place of prayer, and the rest of the building as an overflow area for prayer. All these buildings were enclosed by walls and did not have an exterior façade. Their orderly form appeared only from the inside where the balance between open and covered spaces served, among other things, to indicate the direction of qibla. Their only outward symbol was the minaret, a feature which appeared early in mosques built in old cities with predominantly non-Muslim populations and only later in primarily Muslim ones."
  6. ^ a b Nuha N. N. Khoury (2009). "Mosque". Dalam Juan Eduardo Campo. Encyclopedia of Islam. Infobase Publishing. 
  7. ^ a b c d e Patrick D. Gaffney (2004). "Masjid". Dalam Richard C. Martin. Encyclopedia of Islam and the Muslim World. MacMillan Reference. 
  8. ^ Wanili, Khairuddin (2014). ENSIKLOPEDI MASJID. Jakarta Timur: Darus Sunnah Press. hlm. xiii. ISBN 9789793772707. 
  9. ^ a b c d e Hillenbrand, R. "Masdjid. I. In the central Islamic lands". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  10. ^ a b c Adil 2018, hlm. 78.
  11. ^ "The Ottoman: Origins". Washington State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-04-09. Diakses tanggal 2006-04-15. 
  12. ^ [travel.independent.co.uk/africa/article253491.ece "Cairo, Egypt"] Periksa nilai |url= (bantuan). The Independent. Diakses tanggal 2007-09-22. 
  13. ^ Budge, E.A. Wallis (June 13,2001). Budge's Egypt: A Classic 19th-Century Travel Guide. Courier Dover Publications. hlm. 123–128. ISBN 0-486-41721-2. 
  14. ^ "Theoretical Issues of Islamic Architecture". Foundation for Science Technology and Civilisation. Diakses tanggal 2006-04-07. 
  15. ^ "Architecture in Christian Spain". Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-22. Diakses tanggal 2007-09-10. 
  16. ^ Cowen, Jill S. (July/August 1985). "Muslims in China: The Mosque". Saudi Aramco World. hlm. 30–35. Diakses tanggal 2006-04-08. 
  17. ^ "Mosques". Charlotte Country Day School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-07. Diakses tanggal 2006-04-07. 
  18. ^ Lawton, John (January/February 1979). "Muslims in Europe: The Mosque". hlm. 9–14. Diakses tanggal 2006-04-17. 
  19. ^ (2001). "The Mosque in America: A National Portrait". Council on American-Islamic Relations. Diakses pada 17 April 2006. "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2007-05-10. Diakses tanggal 2021-02-27. 
  20. ^ Wagner, William (2004). How Islam Plans to Change the World. Kregel Publications. hlm. 99. ISBN 0-8254-3965-5. Diakses tanggal 2006-06-22. When the Moors were driven out of Spain in 1492, most of the mosques were converted into churches 
  21. ^ a b Adil 2018, hlm. 81.
  22. ^ a b c d Maqsood, Ruqaiyyah Waris (April 22, 2003). Teach Yourself Islam (edisi ke-2nd edition). Chicago: McGraw-Hill. hlm. 57–8, 72–5, 112–120. ISBN 0-07-141963-2. 
  23. ^ "Fiqh-us-Sunnah, Volume 4: Funeral Prayers (Salatul Janazah)". Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-25. Diakses tanggal 2006-04-16. 
  24. ^ "Eclipses". Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-06-21. Diakses tanggal 2006-04-16. 
  25. ^ "'Id Prayers (Salatul 'Idain)". Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-12-23. Diakses tanggal 2006-04-08. 
  26. ^ "Charity". Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-02-05. Diakses tanggal 2006-04-17. 
  27. ^ Madanipour, Ali (May 09, 2003). Public and Private Spaces of the City. Routledge. hlm. 207. ISBN 0-415-25629-1. 
  28. ^ Abdo, Geneive (2005). "Islam in America: Separate but Unequal". The Washington Quarterly. 28 (4): 7–17. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-21. Diakses tanggal 2006-04-07. 
  29. ^ Wheeler, Brannon M. (August 1, 2002). "Preface". Teaching Islam. Oxford University Press US. hlm. v. ISBN 0-19-515225-5. and [Islam] remains the fastest growing religion both in the United States and worldwide 
  30. ^ a b Jamal, Amany. "The Role of Mosques in the Civic and Political Incorporation of Muslim American". Teachers' College–Columbia University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-04-22. 
  31. ^ Swanbrow, Diane (2005-06-23). "Study: Islam devotion not linked to terror". The University Record Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-12-30. Diakses tanggal 2007-02-24. 
  32. ^ "Friday prayer plea for Iraq calm". BBC. 2006-02-24. Diakses tanggal 2006-04-23. 
  33. ^ Romey, Kristen M. (July/August 2004). "Flashpoint Ayodhya". Archaeology. 
  34. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-24. Diakses tanggal 2007-12-06. 
  35. ^ "JDL Chairman, Follower Accused of Plotting to Bomb Mosque, Congressman". Associated Press via FOX News. 2001-12-13. Diakses tanggal 2006-04-23. 
  36. ^ "Arafat orders immediate ceasefire". BBC. 2001-06-03. Diakses tanggal 2006-04-23. 
  37. ^ Harris, John (2006-04-22). "Paranoia, poverty and wild rumours - a journey through BNP country". The Guardian. Diakses tanggal 2006-05-28. 
  38. ^ Carlile, Jennifer. "Italians fear mosque plans". MSNBC. Diakses tanggal 2006-05-28.  Teks "date-2006-05-25" akan diabaikan (bantuan)
  39. ^ a b Ottoway, David B. (2004-08-19). "U.S. Eyes Money Trails of Saudi-Backed Charities". The Washington Post. hlm. A1. Diakses tanggal 2007-02-24. 
  40. ^ Kaplan, David E. (2003-12-15). "The Saudi Connection". U.S. News and World Report. Diakses tanggal 2006-04-17. 
  41. ^ "Islamic Center in Rome, Italy". King Fahd bin Abdul Aziz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2002-01-08. Diakses tanggal 2006-04-17. 
  42. ^ bin Sa'ad, Abu Abdirrahman Adil (2018). Ensiklopedi Shalat. Diterjemahkan oleh Mujtahid, Umar. Jakarta Timur: Ummul Qura. hlm. 85. ISBN 978-602-7637-03-0. 
  43. ^ a b "Religious Architecture and Islamic Cultures". Massachusetts Institute of Technology. Diakses tanggal 2006-04-09. 
  44. ^ "Vocabulary of Islamic Architecture". Massachusetts Institute of Technology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-18. Diakses tanggal 2006-04-09. 
  45. ^ Walters, Brian (May 17, 2004). "The Prophet's People". Call to Prayer: My Travels in Spain, Portugal and Morocco. Virtualbookworm Publishing. hlm. 14. ISBN 1-58939-592-1. Its 210-meter minaret is the tallest in the world 
  46. ^ Hillenbrand, R. "Manara, Manar". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  47. ^ Adil 2018, hlm. 85.
  48. ^ Asher, Catherine B. (September 24, 1992). "Aurangzeb and the Islamization of the Mughal style". Architecture of Mughal India. Cambridge University Press. hlm. 256. ISBN 0-521-26728-5. 
  49. ^ Bierman, Irene A. (December 16, 1998). Writing Signs: Fatimid Public Text. University of California Press. hlm. 150. ISBN 0-520-20802-1. 
  50. ^ "Terms 1: Mosque". University of Tokyo Institute of Oriental Culture. Diakses tanggal 2006-04-09. 
  51. ^ a b c d e f Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib, Al-Mawardi (2000). The Ordinances of Government (Al-Ahkam al-Sultaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya). Lebanon: Garnet Publishing. hlm. p. 184. ISBN 1-85964-140-7. 
  52. ^ "Chapter 16. The Description of the Prayer". SunniPath Library. SunniPath. Diakses tanggal 2006-07-12. 
  53. ^ Connecting Cultures, Inc.. "Building Cultural Competency: Understanding Islam, Muslims, and Arab Culture" (Doc). Connecting Cultures, Inc.. Diakses pada 12 Juli 2006. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-07-24. Diakses tanggal 2007-12-07. 
  54. ^ Doi, Abdur Rahman I. "Women in Society". Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-04-09. Diakses tanggal 2006-04-15. 
  55. ^ Rezk, Rawya (2006-01-26). "Muslim Women Seek More Equitable Role in Mosques". The Columbia Journalist. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-05-27. Diakses tanggal 2006-04-09. 
  56. ^ "Morocco travel". CNN. Diakses tanggal 2006-09-22. 
  57. ^ Takim, Liyakatali (2004). "From Conversion to Conversation: Interfaith Dialogue in Post 9–11 America" (PDF). The Muslim World. 94: 343–355. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2006-06-18. Diakses tanggal 2006-06-16.  Liyakatali Takim is a professor in the Department of Religious Studies at the University of Denver
  58. ^ "Laptop link-up: A day at the mosque". BBC. 2005-12-05. Diakses tanggal 2006-06-16. 
  59. ^ Goring, Rosemary (May 1, 1997). Dictionary of Beliefs & Religions. Wordsworth Editions. ISBN 1-85326-354-0. 
  60. ^ Adil 2018, hlm. 81-82.
  61. ^ a b Adil 2018, hlm. 82.
  62. ^ Adil 2018, hlm. 83.
  63. ^ Adil 2018, hlm. 83-84.
  64. ^ Adil 2018, hlm. 84.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid, Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta: Ummul Qura. ISBN 978-602-7637-03-0. 

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]