Pekarangan

Pekarangan adalah jenis taman rumah tropis yang dikembangkan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Pekarangan umumnya berisi ragam tanaman, sementara beberapa pekarangan memiliki hewan (termasuk ikan ternak, pemamah biak, unggas, dan satwa liar) serta bangunan seperti kandang dan sangkar burung. Pekarangan menghasilkan pangan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual serta menghasilkan tanaman hias. Selain itu, pekarangan juga menjadi tempat interaksi sosial (termasuk bagi hasil panen pekarangan) serta menyediakan hasil tani untuk upacara adat dan keagamaan. Beberapa pekarangan dibuat, dipelihara, dan diatur tata ruangnya sesuai dengan nilai-nilai lokal. Pekarangan mungkin sudah ada selama beberapa ribu tahun, tetapi catatan pertama mengenai pekarangan ditemukan dalam sebuah babad Jawa yang ditulis pada tahun 860 M. Pada tahun 2010, sekitar 103.000 kilometer persegi lahan di Indonesia digunakan untuk pekarangan.
Peran keberlanjutan dan sosial pekarangan terancam oleh urbanisasi massal dan fragmentasi lahan, yang menjadi faktor penyusutan luas lahan tempat tinggal rata-rata. Penurunan ini kemudian diikuti dengan hilangnya keragaman tanaman di dalam pekarangan. Selain itu, sebagian pemilik pekarangan secara sengaja mengurangi keragaman tanaman untuk mengoptimalkan hasil tani komersial. Masalah seperti wabah hama dan peningkatan utang rumah tangga muncul akibat terdegradasinya keberlanjutan pekarangan.
Pekarangan pada masa lampau, khususnya di Pulau Jawa, kurang mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak yang memerintah, mulai dari kerajaan-kerajaan, pihak kolonial, hingga pemerintah Indonesia sebelum dasawarsa 2010-an. Hal ini disebabkan karena kesulitan untuk membuat sistem pemanenan dan perpajakan hasil panen dari pekarangan. Pekarangan kemudian mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia sejak awal dasawarsa 2010-an melalui program P2KP (Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan) yang berfokus pada daerah perkotaan dan sekitarnya. Program tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan produksi hasil tani pekarangan dengan pendekatan yang berkelanjutan.
Pengertian
[sunting | sunting sumber]Istilah "pekarangan", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti "tanah sekitar rumah", "halaman rumah", atau "tanah yang disiapkan untuk tempat tinggal".[1] Namun, istilah ini banyak digunakan dalam pustaka ilmiah, khususnya dalam topik wanatani (agroforestri) dan lingkungan, untuk diartikan sebagai "kebun rumah".[2] Kata pekarangan dapat berasal dari kata "karang", yang berarti "tanaman menahun," menurut Ashari dkk.[3]
Para ilmuwan memberikan berbagai definisi tentang istilah "pekarangan". Menurut Sajogyo, pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di samping rumah dan digunakan secara sambilan. Totok Mardikanto dan Sri Sutami mendefinisikan pekarangan sebagai sebidang tanah yang mengelilingi perumahan. Kebanyakan pekarangan dipagari, dan biasanya ditanami dengan tanaman rapat yang terdiri dari berbagai tanaman semusim dan menahun untuk kebutuhan sehari-hari dan komersial. Euis Novitasari mengartikan pekarangan sebagai bentuk tata guna lahan berupa sistem produksi makanan skala kecil yang dilakukan oleh anggota keluarga, serta merupakan ekosistem dengan lapisan tajuk yang bersusun. Lebih jauh lagi, Euis Novitasari menggambarkan pekarangan sebagai area dengan batas yang jelas dan memiliki unsur-unsur seperti rumah, pelataran, dapur, kandang, dan pagar. Simatupang dan Suryana berpendapat bahwa sulit untuk mendefinisikan istilah "pekarangan" secara jelas, karena perannya dapat beragam, mulai dari bentuk lahan pertanian hingga sebidang tanah halaman rumah.[3] Rahu dkk. mengartikan istilah "pekarangan" secara sepsifik, yakni sebagai kebun rumah Jawa.[4]
Unsur-unsur
[sunting | sunting sumber]Tanaman
[sunting | sunting sumber]
Sebuah pekarangan umumnya terdiri dari gabungan tanaman semusim dan menahun. Tanaman-tanaman tersebut bisa dipanen setiap hari atau musiman.[6] Beberapa tanaman menahun seperti melinjo menghasilkan daun secara konsisten. Beberapa tanaman menahun lainnya seperti kelapa, nangka, pisang, dan salak menghasilkan buah sepanjang tahun. Tanaman menahun lainnya memiliki masa berbuah yang terbatas. Misalnya, jambu semarang berbuah dari April hingga Juni, mangga berbuah pada bulan Juli dan Agustus, dan durian berbuah dari Juni hingga September.[7] Tanaman menahun lebih umum ditemukan dibandingkan tanaman semusim pada pekarangan di daerah yang luas sawahnya melebihi 40 persen. Tanaman semusim lebih umum ditemukan di daerah dengan luas sawah kurang dari 40 persen, tetapi tanaman menahun kembali diutamakan bila terjadi keterbatasan tenaga kerja.[8] Pepohonan adalah salah satu komponen paling umum dari pekarangan. Pepohonan tersebut juga membantu memberikan gambaran pedesaan Indonesia dengan rumah yang cenderung tersembunyi di antara pekarangan yang "lebat dan menyerupai hutan".[9]
Pekarangan suku Sunda memilki pola tanaman tersendiri. Tanaman hias, serta tanaman bernilai komersial seperti cengkih, jeruk, dan mangga sering ditanam di pekarangan depan agar dapat lebih mudah diawasi. Tanaman pangan yang mengandung pati, tanaman obat, dan tanaman komoditas lebih sering ditanam di pekarangan depan dan belakang, dan lebih sedikit di pekarangan samping. Kopi dapat digunakan sebagai pagar di pekarangan samping dan belakang. Tanaman hias juga dapat difungsikan sebagai pagar di pekarangan depan. Sayuran biasanya ditanam di area depan dan samping yang terpapar cahaya, karena pohon-pohon besar jarang ditemukan di area tersebut. Pohon bertajuk besar dapat ditanam di pekarangan depan untuk memberikan naungan bagi anak-anak. Kelapa, pohon buah, dan pohon berkayu ditanam di pekarangan belakang untuk menghindari kerusakan rumah jika pohon-pohon tersebut tumbang akibat badai. Sebagian besar tanaman berkembang biak tanpa campur tangan secara sengaja dari manusia. Proses ini disebut janteun ku anjeun dalam bahasa Sunda. Istilah teresbut memaknai bahwa penyebaran biji terjadi secara alami oleh burung, mamalia, atau manusia setelah memakan buahnya. Karena hal ini, tidak ditemukan pengaturan ruang yang jelas di bagian belakang pekarangan suku Sunda.[10]
Tanaman di pekarangan suku Jawa dan Sunda, termasuk tanaman semusim yang dibudidayakan di musim kemarau (misalnya terung), biasanya ditanam di dekat sumber air seperti kolam ikan, selokan terbuka, dan sumur.[7][10] Tanaman yang membutuhkan tingkat nutrisi tinggi, seperti pisang, mangga, nangka, dan tanaman buah lainnya, ditanam dekat tempat pembuangan sampah.[10] Sementara itu, tanaman yang sering dipanen untuk masakan, seperti cabai, lengkuas, serai, dan tomat, ditanam dekat dapur.[10][11]
Pekarangan di Kalimantan mengandung jumlah spesies introduksi yang lebih rendah dari pekarangan di wilayah lain di Indonesia. Banyak tanaman di pekarangan Kalimantan yang merupakan tanaman asli Kalimantan. Di antara tanaman-tanaman di pekarangan Kalimantan yang dianggap penting secara ekonomi dan ekologi adalah durian (termasuk lai), nangka, duku, dan rambutan.[12]
Hewan
[sunting | sunting sumber]
Sebagian pemilik pekarangan memelihara ternak berupa pemamah biak (misalnya kambing dan domba) dan unggas (misalnya ayam). Hewan-hewan tersebut biasanya dipelihara di dalam kandang pekarangan, tetapi dibiarkan berkeliaran di sekitar pekarangan, area desa, dan pasar tradisional untuk mencari makanan sendiri. Mereka dikandangkan pada malam hari dan biasanya diberi pakan tambahan. Hewan domestik lainnya yang umum dipelihara di pekarangan adalah ikan di kolam dan burung pengicau (misalnya perkutut jawa). Burung pengicau umumnya dipelihara dalam sangkar yang digantung pada tiang bambu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepemilikan ternak dalam pekarangan adalah status ekonomi pemiliknya. Pemilik dari golongan bawah cenderung hanya memelihara beberapa ayam, sementara pemilik golongan menengah dapat memelihara seekor kambing atau domba, dan pemilik yang memiliki kelebihan secara ekonomi dapat memelihara beberapa sapi atau kerbau. Kotoran ternak berfungsi sebagai pupuk organik untuk pekarangan dalam bentuk kompos, serta terkadang sebagai sumber pakan bagi ikan kolam.[13][14]

Kolam ikan produktif banyak ditemukan di pekarangan tradisional suku Sunda. Ikan-ikan tersebut diberi pakan berupa limbah dapur yang disertai dengan limbah hewan dan manusia. Masyarakat cenderung menghindari penggunaan air kolam ikan untuk kebutuhan rumah tangga dan lebih memilih menggunakan air dari tanah yang lebih tinggi dan disalurkan dengan pipa air.[14]
Pekarangan memiliki potensi keanekaragaman fauna tanah yang tinggi. Menurut Widyastuti, keanekaragaman fauna tanah di pekarangan diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan jati.[15] Keanekaragaman ini dapat disebabkan oleh tumbuh-tumbuhan yang melindungi fauna tanah dari terik sinar matahari, terutama pada musim kemarau.[16] Otto Soemarwoto dan Gordon Conway juga mencatat bahwa kebun-kebun tersebut diyakini sebagai "habitat yang baik" bagi reptil dan amfibi.[17]
Terdapat perbedaan temuan ilmiah mengenai keanekaragaman burung liar di pekarangan. Sebuah penelitian di Jawa Barat mencatat adanya keanekaragaman burung yang tinggi di pekarangan, termasuk spesies burung yang dilindungi. Sementara itu, penelitian lain di Jambi menunjukkan bahwa pekarangan (secara satuan) tidak efektif sebagai sarana untuk melestarikan komunitas ekologis burung. Hal ini disebabkan oleh efek tepi ekologis dari bentuk pekarangan yang tidak teratur, gangguan yang sering terjadi pada pekarangan, dan kedekatan pekarangan dengan jalan serta rumah. Pekarangan yang diteliti di Jambi tersebut memiliki tingkat keanekaragaman tanaman yang sangat rendah, berbeda dibandingkan pekarangan pada umumnya. Meskipun demikian, pekarangan pada studi tersebut masih menarik burung karena sumber makanan yang ada.[17][18] Temuan serupa juga ditemukan dalam studi lainnya di Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa anak-anak melemparkan batu dengan ketapel ke burung-burung di pekarangan dan mengambil telurnya, sementara orang dewasa membunuh atau mengejar burung karena dianggap sebagai hama.[19]
Ekologi
[sunting | sunting sumber]
Keanekaragaman tanaman di pekarangan muncul dari interaksi kompleks antara berbagai faktor yang belum sepenuhnya dipahami.[20] Faktor-faktor ini meliputi stabilitas lingkungan, iklim tropis yang mendukung pertumbuhan tanaman, serta kedekatan pekarangan dengan aktivitas rumah tangga pemiliknya.[21] Faktor alami lainnya adalah ukuran pekarangan, penurunan suhu karena ketinggian, curah hujan, dan peristiwa iklim seperti El Niño.[22] Faktor manusia meliputi preferensi pemilik pekarangan dan kedekatan dengan pasar tradisional.[23]
Keanekaragaman tanaman dalam pekarangan membantu tanaman individu untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Hal ini mendukung tanaman individu tetap hidup dalam jangka waktu yang lebih lama.[24] Keanekaragaman hayati dalam sistem ekologis bertingkat (karena tanaman yang berlapis) juga membantu mengoptimalkan energi surya dan penyerapan karbon, mendinginkan iklim domestik, melindungi tanah dari erosi, serta menyediakan habitat bagi tumbuhan dan hewan liar.[25][24] Keanekaragaman genetik dalam pekarangan juga memberikan perlindungan dari dampak hama dan penyakit.[26] Sebagai contoh, keberadaan burung pemakan serangga yang melimpah di pekarangan membantu mengendalikan hama,[27] sehingga pekarangan tetap produktif.[24]
Meskipun pekarangan individu hanya menyimpan sedikit karbon karena ukurannya, kumpulan pekarangan per satuan luasnya (misalnya per kilometer persegi) menyimpan jumlah karbon yang mirip dengan hutan primer atau sekunder, dan jauh melebihi padang rumput alang-alang serta tanah bera.[28]
Faktor alamiah
[sunting | sunting sumber]Keanekaragaman tanaman di pekarangan individu cenderung meningkat seiring dengan peningkatan luasnya.[29] Namun, keanekaragaman spesies tanaman budidaya dapat mencapai titik jenuh di pekarangan yang sangat besar. Pekarangan yang lebih besar memiliki kepadatan spesies tanaman budidaya yang lebih rendah karena pola budidaya yang lebih konstan.[30] Pekarangan yang lebih kecil dari 100 meter persegi tidak cukup untuk mendukung keanekaragaman tanaman dan produksi tanaman.[31] Beberapa jenis tanaman, seperti pohon yang lebih tinggi dari 10 meter, tanaman rempah, dan tanaman penghasil bahan mentah industri hampir sepenuhnya tidak ditemukan di pekarangan berukuran 100 meter persegi atau kurang.[29] Pekarangan di Pulau Jawa cenderung lebih kecil, dengan sebagian besarnya berukuran kurang dari 200 meter persegi, berdasarkan penelitian tahun 2004. Sementara itu, pekarangan di pulau-pulau Indonesia lainnya cenderung lebih besar, dengan rerata ukurannya diperkirakan mencapai 2.500 meter persegi. Beberapa pekarangan di luar Pulau Jawa bahkan mencapai ukuran 3 hektare (30.000 meter persegi).[32]
Pekarangan yang berada di daerah yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil, kepadatan tanaman yang lebih tinggi, dan jangkauan keanekaragaman tanaman yang lebih rendah. Seiring dengan meningkatnya ketinggian, suhu menurun, sehingga membatasi keanekaragaman tanaman. Kelapa dan pohon buah cenderung berkembang lebih baik di pekarangan dengan ketinggian rendah, sementara sayuran cenderung tumbuh lebih baik di pekarangan dengan ketinggian lebih tinggi.[33][20]
Pekarangan yang memiliki akses air yang lebih baik, baik karena iklim atau sumber daya air yang dekat, dapat mewadahi budidaya tanaman semusim.[34] Sebuah penelitian di Jawa Barat menemukan bahwa pekarangan lebih baik dalam mendukung keanekaragaman tanaman pada musim hujan daripada musim kemarau.[35] Kondisi iklim di Pulau Jawa memungkinkan pertumbuhan tanaman semusim yang konsisten di pekarangan, bahkan di daerah-daerah di Jawa Timur yang iklimnya lebih kering.[36]
Tajuk tanaman pada pekarangan berfungsi sebagai perlindungan dari hujan lebat. Sebagian besar tanaman pada pekarangan memiliki tinggi kurang dari satu meter dan berperan memperlambat tetesan hujan saat mengenai tanah.[26][11] Guguran daun juga membantu melindungi tanah dari erosi. Peran guguran daun dan dahan yang dihasilkan tajuk tanaman secara konsisten diyakini lebih penting dalam mengurangi erosi daripada peran penahan hujan oleh tajuk itu sendiri. Meskipun demikian, tingkat efektivitas pekarangan dalam mengurangi erosi lebih rendah dibanding hutan alami.[37][11]
Faktor manusia
[sunting | sunting sumber]Pemanenan padi, sebagai makanan pokok utama di Indonesia, mempengaruhi penggunaan pekarangan. Produksi panen pekarangan menurun selama musim panen padi, tetapi meningkat di luar musim panen padi.[38] Penduduk desa berpendapatan rendah memperoleh manfaat dari produktivitas tanaman sumber karbohidrat yang konsisten di pekarangan, terutama pada masa kekurangan pangan sebelum panen padi atau setelah gagal panen akibat kekeringan.[7][39]
Dinamika pemukiman juga memengaruhi kondisi pekarangan. Pertumbuhan populasi mendorong perluasan pemukiman ke daerah baru. Perluasan daerah permukiman menjadi penyebab hadirnya tanaman pangan di pekarangan yang baru dibuat.[40] Masyarakat yang mengikuti program transmigrasi berpotensi mendukung keanekaragaman tanaman pekarangan di daerah tujuan transmigrasi. Namun, spesies tanaman yang dibawa oleh transmigran perlu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan lokal.[41]
Komersialisasi, fragmentasi, dan urbanisasi adalah ancaman utama terhadap keanekaragaman tanaman pekarangan. Ketiga ancaman tersebut mengubah daur organik dalam pekarangan, sehingga mengancam keberlanjutan ekologi pekarangan.[31] Komersialisasi memerlukan perubahan sistem tanam dalam bentuk pengutamaan satu tanaman (monokultur) atau beberapa tanaman dalam pekarangan, sehingga dapat memproduksi lebih banyak tanaman. Pengutamaan tersebut dapat menurunkan keanekaragaman tanaman di pekarangan.[42] Fragmentasi lahan berasal dari sistem pembagian tanah warisan. Hal tersebut dapat menurunkan luas pekarangan, sehingga keanekaragaman tanamannya juga menurun.[31] Dampak dari berkurangnya keanekaragaman tanaman antara lain hilangnya struktur kanopi dan sampah organik pelindung lapisan tanah, hilangnya pengendali hama biologis, hilangnya stabilitas produksi, hilangnya keanekaragaman nutrisi, dan menghilangnya budaya berbagi hasil tani pekarangan.[43] Hilangnya pengendali hama juga mendorong pemilik pekarangan untuk menggunakan pestisida. Meskipun urbanisasi mengurangi keanekaragaman tanaman pekarangan, urbanisasi justru meningkatkan keanekaragaman tanaman hias.[44]
Sebuah studi kasus pekarangan rumah di Lembah Napu, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa penurunan perlindungan tanah disebabkan oleh pengelolaan kesuburan tanah yang tidak memadai, penyiangan rutin dan pembakaran sampah, pembuangan sampah ke dalam lubang sampah alih-alih menggunakannya untuk membuat kompos, dan penyebaran sampah anorganik.[45] Penurunan kesuburan tanah memperburuk penurunan keanekaragaman tanaman di pekarangan.[46]
Kegunaan
[sunting | sunting sumber]
Penghidupan
[sunting | sunting sumber]Hasil tani dari pekarangan memiliki berbagai kegunaan. Misalnya, pohon kelapa dapat menyediakan makanan, minyak, bahan bakar, dan bahan bangunan. Hasil taninya juga digunakan dalam berbagai ritual dan upacara.[47] Tanaman di pekarangan dikenal karena manfaat gizi dan keberagamannya. Untuk melengkapi beras yang rendah akan vitamin A dan C, hasil tani dari pekarangan menawarkan banyaknya kandungan vitamin tersebut. Pekarangan dengan tanaman semusim yang lebih banyak cenderung menghasilkan karbohidrat dan protein yang lebih banyak, sementara pekarangan dengan tanaman menahun yang lebih banyak cenderung menghasilkan vitamin A yang lebih banyak.[48][7] Pekarangan juga berfungsi sebagai sumber kayu bakar dan bahan bangunan.[47][49]
Keluarga berpendapatan rendah cenderung lebih banyak mengonsumsi sayuran daun dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi. Hal ini dikarenaan ketersediaan sayuran daun yang konsisten dan harganya yang murah.[7] Keluarga berpendapatan rendah juga lebih banyak memanfaatkan sumber bahan bakar dari pekarangan.[47] Pekarangan di desa lebih berfungsi sebagai sistem penghidupan bagi keluarga daripada sebagai sumber pendapatan. Di daerah seperti Gunungkidul, D.I. Yogyakarta, penggunaan pekarangan untuk produksi pangan lebih dominan daripada ladang pertanian karena erosi tanah di daerah tersebut.[47]
Komersial
[sunting | sunting sumber]
Di daerah perkotaan, pinggiran kota, pusat produksi buah utama, dan daerah tujuan wisata, pekarangan cenderung berfungsi sebagai penghasil pendapatan. Sebagian besar pendapatan hasil pekarangan berasal dari tanaman menahun.[13] Akses pasar yang baik mendorong penanaman tanaman komersial di dalam pekarangan.[46] Faktor lain yang memengaruhi pentingnya secara ekonomi adalah luas pekarangan dan permintaan untuk hasil tani tertentu.[49]
Yamamoto dkk. berpendapat bahwa masyarakat berpenghasilan rendah menanam tanaman subsisten di pekarangan dengan mengutamakan pada buah-buahan dan sayuran, sementara masyarakat berpengahsilan tinggi cenderung menanam tanaman hias dan tanaman komersial dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi.[50] KF Wiersum juga menyimpulkan bahwa pentingnya tanaman komersial meningkat seiring dengan kekayaan pemiliknya.[46] Namun, sebuah penelitian di Sriharjo, D.I. Yogyakarta, menyimpulkan bahwa pemilik pekarangan yang berpenghasilan lebih rendah cenderung berorientasi pada penggunaan komersial, sementara pemilik berpenghasilan lebih tinggi berorientasi pada penggunaan untuk penghidupan sehari-hari.[51] Ann Stoler berpendapat bahwa seiring meningkatnya lahan sawah yang diperoleh keluarga pedesaan, penggunaan pekarangan menjadi kurang intens. Pola ini berlaku sampai lahan sawah yang dimiliki satu keluarga mencapai sekitar 2.000 meter persegi sebagai ukuran minimal yang biasanya dibutuhkan untuk memberi makan satu keluarga. Setelah titik ini, penggunaan pekarangan oleh keluarga mulai meningkat.[52]
Kegunaan lainnya
[sunting | sunting sumber]Buruan (dalam bahasa Sunda berarti "pekarangan depan"), yang merupakan bagian dari pekarangan suku Sunda, digunakan sebagai tempat bermain anak-anak dan tempat berkumpul bagi orang dewasa.[34] Pekarangan juga mendukung interaksi sosial lainnya seperti bagi hasil, upacara, dan kegiatan keagamaan, serta terintegrasi dengan adat dan filosofi lokal seperti falsafah kerukunan dan Tri Hita Karana.[53][54] Pekarangan juga berfungsi sebagai hiasan estetika rumah, terutama pada pekarangan depan rumah. Pekarangan berfungsi estetika tersebut utamanya ditemukan di perkotaan.[34]
Sosiologi dan ekonomi
[sunting | sunting sumber]Pekarangan umumnya dikembangkan oleh wanita. Bentuk pekarangan dalam suku-suku dan masyarakat matrilineal, seperti suku Minangkabau, suku Aceh, dan sebagian masyarakat di Jawa Tengah pada tahun 1960-an, lebih berkembang dibandingkan dengan suku-suku yang cenderung patrilineal, seperti suku Batak. Karena sebab ini juga, budaya matrilineal di sekitar pekarangan mulai berkembang, seperti munculya keharusan izin dari istri pemilik tanah sebelum menjual sebidang tanah yang mereka miliki. Praktik ini dapat ditemukan di kota-kota seperti Kota Tegal.[55] Rumah tangga yang dipimpin oleh wanita cenderung menggunakan pekarangan untuk kebutuhan rumah tangga.[46] Namun, pekarangan di Madura digambarkan sebagai ranah kaum pria.[56] Meskipun demikian, terlepas dari budaya suku, pekarangan secara umum dianggap sebagai tanggung jawab seluruh keluarga, termasuk keturunannya beserta keluarganya.[57] Para pria menyiapkan lahan sebelum digunakan untuk pekarangan, menanam tanaman pohon, dan menjual hasil tanaman pekarangan, sementara wanita menanam tanaman semusim.[58]
Penelitian tahun 2004 menyimpulkan bahwa pekarangan suku Jawa cenderung memiliki pendapatan bersih per area yang lebih tinggi daripada sawah. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa biaya produksi pekarangan suku Jawa lebih rendah dibandingkan dengan sawah.[59] Warga yang lebih berfokus pada produksi pekarangan daripada sawah mungkin mendapatkan hasil tani yang lebih baik.[60] Namun, warga desa berstatus ekonomi ke bawah cenderung tidak berfokus pada usaha budidaya pekarangan. Hal ini karena pemeliharaan pekarangan sebagai satu-satunya sumber pendapatan akan membutuhkan penggunaan tanaman dengan hasil tinggi dan risiko tinggi bersamaan, perawatan yang lebih intensif, dan pendapatan yang rentan terhadap fluktuasi pasar. Pemeliharaan tanaman komersial yang beragam membutuhkan kerja yang lebih intensif dibandingkan dengan sawah, sehingga membuat jadwal berkebun warga desa kurang fleksibel terhadap kegiatan pertanian padi.[61]
Dalam beberapa kasus, seorang warga dapat diizinkan untuk membangun rumah atau gubuk di pekarangan orang lain sebagai imbalan untuk melakukan pekerjaan bagi pemilik tanah. Namun, pekarangan cenderung memiliki kebutuhan tenaga kerja yang rendah, sehingga menawarkan peluang kerja yang minim.[62]
Budaya
[sunting | sunting sumber]
Falsafah hidup rukun dalam budaya pedesaan suku Jawa dan Sunda diamalkan lewat pemberian hasil tani pekarangan, baik lewat kegiatan sosial, maupun sebagai sesajen kepada roh supernatural dalam kepercayaan tertentu, misalnya Kejawen. Hasil tani tersebut dapat diberikan kepada keluarga dan sesama warga pada acara-acara seperti kelahiran, kematian, pernikahan, serta peringatan keagamaan dan kebudayaan seperti Tahun Baru Jawa dan Sekaten (pada saat Maulid Nabi). Beberapa orang menyajikan hasil pekarangan sebagai sesajen untuk menyembuhkan penyakit atau untuk melindungi pemiliknya dari marabahaya. Hasil tani pekarangan juga diberikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di daerah pedesaan. Pemilik pekarangan di pedesaan biasanya mengizinkan orang lain memasuki pekarangan untuk alasan praktis, misalnya mengambil kayu mati untuk bahan bakar, mengambil air sumur untuk keperluan pribadi, atau bahkan mengambil hasil tanamannya. Meskipun demikian, izin tersebut bisa dibatasi atau ditolak jika pemilik hanya memiliki hasil yang terbatas untuk konsumsi pribadinya. Permintaan untuk mengambil hasil pekarangan untuk tujuan agama atau pengobatan jarang atau bahkan tidak pernah ditolak. Namun, karena sebagian masyarakat percaya bahwa pantang meminta izin untuk mengambil tanaman obat di pekarangan, tanaman tersebut mungkin juga diambil tanpa izin yang jelas.[53]
Salah satu penafsiran pekarangan dalam budaya Jawa adalah pepek ing karang, yang berarti "rancangan yang lengkap".[21] Tafsiran lainnya adalah pepek teng karangan. Istilah ini dapat diartikan sebagai cara berpikir yang menunjukkan bahwa praktik tani di pekarangan merupakan hasil dari pemikiran tentang cara-cara menggunakan hasil pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya.[63] Makna dari pepek teng karangan juga bisa dipecah sebagai berikut: pepek berarti 'lengkap', teng berarti 'di', dan karangan berarti 'ide'. Pembagian ini mirip dengan pemecahan kata pekarangan dalam bahasa Sunda: pe- adalah awalan yang berarti 'tempat', karang berarti 'ide', dan gabungan keduanya dapat diterjemahkan secara bebas sebagai 'tempat untuk menciptakan ide'.[64] Namun, budaya Jawa menganggap bahwa tidak pantas jika pekarangan dibandingkan dengan hutan karena rendahnya nilai sosial hutan dalam budaya Jawa. Pertunjukan wayang banyak menggambarkan hutan sebagai tempat berkuasanya binatang liar dan roh jahat. Penebangan hutan dalam budaya Jawa, yang hanya dilakukan oleh laki-laki yang diyakini memiliki kekuatan gaib, dipandang sebagai tindakan yang mulia.[9] Halaman belakang rumah suku Sunda digambarkan sebagai supados sungkur (tidak terlihat oleh orang lain).[10]
Hubungan antar tanaman di pekarangan suku Jawa cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan pekarangan suku Sunda. Pada pekarangan suku Jawa, pemilik juga cenderung menanam tanaman obat (jamu), sementara orang Sunda lebih cenderung menanam sayuran dan tanaman hias.[17]
Tiap bagian pekarangan memiliki istilah dalam bahasa Sunda serta fungsi-fungsi tersendiri. Pekarangan depan (buruan) berfungsi sebagai ruang untuk gudang pekarangan, tanaman hias, pohon buah, tempat bermain anak, bangku-bangku, dan tempat jemur hasil tani. Pekarangan samping (pipir) digunakan untuk pohon kayu, tanaman pangan, tanaman obat, kolam ikan, sumur, dan kamar mandi. Pekarangan samping juga merupakan tempat untuk mewarnai kain. Pekarangan belakang (kebon) digunakan untuk menanam sayuran, tanaman rempah, kandang hewan, dan tanaman penghasil bahan mentah industri.[65] Pekarangan di Lampung memiliki unsur-unsur tersendiri. Selain tanaman, ada tempat cuci kaki yang digunakan sebelum masuk ke serambi rumah (gakhang hadap[66]), ruang penyimpanan beras (walai[67]), dapur (atau dapur luar), tempat penyimpanan kayu bakar, dan kandang ternak.[68] Dalam bahasa Lampung, pekarangan depan disebut tengahbah/terambah/beruan, pekarangan samping disebut kebik/kakebik, dan pekarangan belakang disebut kudan/juyu/kebon.[69]

Pekarangan suku Bali dipengaruhi oleh falsafah Tri Hita Karana yang membagi ruang pekarangan menjadi parahyangan (atas, kepala, suci), pawongan (tengah, tubuh, netral), dan palemahan (bawah, kaki, kotor). Area parahyangan dalam pekarangan Bali menghadap Gunung Agung yang dianggap sebagai tempat suci (prajan) untuk berdoa (sanggah). Area parahyangan biasanya berisi tanaman dengan bunga dan daun yang dipetik secara teratur dan digunakan untuk tujuan persembahan (misalnya untuk canang sari) dalam ajaran Hindu Dharma. Area pawongan biasanya berisi bunga, buah, dan daun biasa. Area palemahan biasanya berisi buah, batang, daun, dan umbi.[54] Bagian belakang dalam pekarangan Bali, yang dikenal sebagai teba di Tabanan dan Karangasem, digunakan sebagai tempat untuk menanam tanaman dan memelihara ternak untuk kebutuhan hidup, komersial, dan keagamaan/sesajen.[70] Masyarakat Bali juga memiliki kepercayaan mengenai tanaman apa yang sebaiknya ditanam dan tidak ditanam di berbagai bagian pekarangan Bali berdasarkan Lontar Taru Pramana. Sebagai contoh, tanaman jepun (kamboja) dan kembang kertas (bugenvil) dipercaya memancarkan aura positif jika ditanam di area parahyangan/sanggah dari sebuah pekarangan, sementara aura negatif diyakini muncul jika tanaman-tanaman tersebut ditanam di depan bangunan bale daja yang terletak di bagian utara area tempat tinggal.[71][72]
Taneyan (pekarangan dalam budaya suku Madura), digunakan untuk mengeringkan hasil pertanian, ritual tradisional, serta acara-acara keluarga.[73][74] Taneyan merupakan bagian dari jenis tempat tinggal tradisional Madura, taneyan lanjhang, yang dihuni beberapa keluarga sekaligus. Komposisi ruangan taneyan lanjhang diatur berdasarkan filosofi bappa', babbhu', guru, rato (ayah, ibu, guru/ulama, pemimpin) yang menunjukkan urutan tokoh yang dihormati dalam budaya suku Madura.[73]
Pekarangan dalam budaya suku lain di Indonesia memiliki nama yang berbeda, termasuk passiring dan terampak benua dalam budaya suku Bugis, serta tarampak dan pa'palakan dalam budaya suku Toraja.[64] Pekarangan juga terintegrasi dalam sistem agroforestri tingkat lokal, seperti kaleka dalam rumah tangga suku Dayak.[4]
Sejarah dan perkembangan
[sunting | sunting sumber]Pada pembentukan atau pendirian sebuah desa atau lahan baru, para calon pemukim akan memastikan untuk menyediakan lahan pekarangan yang cukup di sekitar gubuk mereka untuk ternak, serta untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Hasil dari pekarangan ini adalah murni milik pemukim tersebut, dan dibebaskan dari kontribusi atau beban apa pun, serta di beberapa keresidenan (seperti di Kedú, misalnya), lahan tersebut mungkin mencakup sekitar sepersepuluh dari total luas wilayah. Lahan di sekitar tempat tinggal sederhana mereka dianggap sebagai warisan khusus oleh pemukim serta dibudidayakan dengan perhatian khusus. Mereka bekerja keras untuk menanam dan merawat sayuran yang paling berguna bagi keluarga mereka serta semak-semak dan pohon-pohon yang tidak hanya memberikan buah, tetapi juga naungan; dan mereka tidak membuang-buang tenaga di tanah yang tidak subur. Pondok-pondok, atau kumpulan gubuk, yang membentuk desa, dengan demikian menjadi sepenuhnya terlindung dari cahaya matahari yang terik, dan begitu tertutup di tengah-tengah dedaunan yang subur, sehingga dari jarak yang agak jauh tidak ada tanda-tanda adanya hunian manusia yang dapat ditemukan, dan tempat tinggal masyarakat yang banyak tersebut hanya tampak seperti hutan hijau atau sekumpulan pohon hijau yang selalu rimbun. Tiada yang dapat melebihi keindahan atau daya tarik dari kumpulan besar tumbuh-tumbuhan yang terpisah-pisah ini, tersebar di seluruh wajah pedesaan, serta menunjukkan tempat tinggal sekelompok pemukim yang bahagia, saat ditambahkan pada pemandangan yang sudah kaya, baik dilihat di sisi-sisi pegunungan, di lembah-lembah sempit, atau di dataran yang luas.
— Stamford Raffles, The History of Java, 1817 (terjemahan bebas).[75]
Sebagian kutipan ini juga dikutip oleh Ann Stoler dalam Garden Use and Household Economy in Rural Java, 1978[76]
Sebaran luas pekarangan di Pulau jawa in Java | ||||
---|---|---|---|---|
Provinsi | <100m2 | 100m2-200m2 | 200m2-300m2 | >300m2 |
Jawa Barat-Banten | 52,29% | 25,00% | 8,77% | 8,95% |
Jawa Tengah | 27,50% | 27,57% | 13,20% | 31,73% |
Jawa Timur | 34,52% | 25,83% | 13,33% | 31,73% |
D.I. Yogyakarta | 33,51% | 17,48% | 14,61% | 34,40% |
Sumber: Arifin, Kaswanto & Nakagoshi 2014[77] |
Pada tahun 1902, pekarangan mencakup 378.000 hektare lahan di Pulau Jawa, dan luasnya meningkat menjadi 1.417.000 hektare pada tahun 1937 dan 1.612.568 hektare pada tahun 1986.[9] Pada tahun 2000, pekarangan mencakup sekitar 1.736.000 hektare.[78] Secara keseluruhan, Indonesia memiliki 5.132.000 hektare pekarangan pada tahun 2000.[78] Angka tersebut meningkat menjadi sekitar 10.300.000 hektare pada tahun 2010.[79] Pada tahun 2021, luas pekarangan di indonesia diperkirakan mencapai 14.300.000 hektare.[80]
Oekan Abdullah dkk. berpendapat bahwa Jawa Tengah dianggap sebagai pusat kelahiran pekarangan. Kemudian, pekarangan menyebar ke Jawa Timur pada abad kedua belas.[6][81] Soemarwoto dan Conway berpendapat bahwa bentuk awal pekarangan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, tetapi catatan pertama yang diketahui tentang pekarangan ini berasal dari sebuah babad Jawa tahun 860.[82] Pada era penjajahan Belanda, pekarangan disebut sebagai erfcultuur.[83] Pada abad kedelapan belas, pekarangan suku Jawa telah sangat memengaruhi Jawa Barat, sehingga sebagian masyarakat Jawa Barat (yang sebagian besarnya bersuku Sunda) telah beralih dari membudidayakan talun (bentuk kebun campuran lokal).[84] Karena pekarangan mengandung banyak spesies yang waktu matangnya berbeda-beda, pihak-pihak yang memerintah Pulau Jawa sepanjang sejarahnya kesulitan untuk mengenakan pajak secara sistematis bagi pekarangan. Pihak-pihak pemerintah ini termasuk kerajaan-kerajaan, pihak kolonial, hingga pemerintah Indonesia. Pada tahun 1990, kesulitan ini menyebabkan pemerintah Indonesia melarang pengurangan sawah untuk dijadikan pekarangan. Kesulitan semacam ini berpotensi ikut membentuk pekarangan menjadi lebih kompleks seiring waktu. Meskipun demikian, pemerintahan-pemerintahan tersebut tetap berusaha untuk mengenakan pajak pada pekarangan.[85]
Dampak pertumbuhan ekonomi dan penduduk pada akhir abad ke-20
[sunting | sunting sumber]Sejak tahun 1970-an, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi berkat dorongan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang diluncurkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1969. Pertumbuhan ekonomi ini membantu meningkatkan jumlah keluarga kelas menengah dan atas, sehingga meningkatkan permintaan akan produk berkualitas. Buah-buahan dan sayuran menjadi salah satu produk berkualitas yang permintaannya meningkat. Pekarangan di perkotaan, pinggiran kota, serta sentra produksi buah berupaya meningkatkan kualitas produknya. Namun, upaya tersebut mengurangi keanekaragaman hayati di pekarangan-pekarangan tersebut, sehingga membuat pekarangan lebih rentan terhadap hama dan penyakit tanaman. Beberapa wabah penyakit di pekarangan komersial terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an, seperti penyakit CVPD yang merusak banyak pohon jeruk mandalika dan penyebaran jamur patogen Phyllosticta yang menyerang hampir 20% pohon cengkih di Jawa Barat. Kerentanan ini juga mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Pemilik pekarangan lebih rentan mengutang, budaya berbagi dalam pekarangan komersial-tradisional menghilang, dan masyarakat berstatus ekonomi ke bawah menikmati hak yang lebih sedikit dari pekarangan.[43]
Program pemerintah
[sunting | sunting sumber]
Pemerintah Indonesia meluncurkan kampanye Karang Kitri pada Oktober 1951, yang bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan rumah dan jenis lahan lainnya. Tidak ada insentif yang diberikan dalam kampanye ini. Kampanye tersebut berakhir pada tahun 1960.[86] Penggunaan pekarangan dimasukkan dalam program Diversifikasi Pangan dan Gizi yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1991.[87]
Sejak awal 2010-an, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian, menjalankan program pengembangan pekarangan yang bernama Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), yang berfokus di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan. Program ini menerapkan agendanya melalui konsep yang disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).[88][89] P2KP dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Indonesia No. 22 Tahun 2009. Terdapat juga program yang berfokus pada perempuan perkotaan, yang bernama Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP).[89]
Selain program-program nasional, beberapa daerah di Indonesia telah melaksanakan program penggunaan pekarangan tersendiri. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur meluncurkan program yang disebut Rumah Hijau pada tahun 2010. Pemprov Jawa Timur kemudian bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk mengembangkan program Rumah Hijau berdasarkan prototipe KRPL di Pacitan, serta membuat program baru bernama Rumah Hijau Plus-Plus.[89]
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- ^ KBBI.
- ^ Kaswanto & Nakagoshi 2014, hlm. 290.
- ^ a b Ashari, Saptana & Purwantini 2016, hlm. 15.
- ^ a b Rahu et al. 2013, hlm. 5.
- ^ Arifin, Sakamoto & Chiba 1998, hlm. 99.
- ^ a b Abdoellah et al. 2001, hlm. 140.
- ^ a b c d e Soemarwoto et al. 1985, hlm. 3.
- ^ Christanty et al. 1986, hlm. 143.
- ^ a b c Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 101.
- ^ a b c d e Christanty et al. 1986, hlm. 145.
- ^ a b c Torquebiau 1992, hlm. 193.
- ^ Rahu et al. 2013, hlm. 8-9.
- ^ a b Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 105.
- ^ a b Soemarwoto et al. 1985, hlm. 2.
- ^ Widyastuti 2011, hlm. 1.
- ^ Widyastuti 2011, hlm. 5.
- ^ a b c Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 102.
- ^ Prabowo et al. 2016, hlm. 13.
- ^ Christanty et al. 1986, hlm. 154.
- ^ a b Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 300.
- ^ a b Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 103.
- ^ Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 300–302.
- ^ Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 300, 303.
- ^ a b c Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 299.
- ^ Arifin 2013, hlm. 18.
- ^ a b Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 108.
- ^ Torquebiau 1992, hlm. 195.
- ^ Roshetko et al. 2002, hlm. 146.
- ^ a b Arifin, Sakamoto & Chiba 1996, hlm. 492–493.
- ^ Kehlenbeck & Maass 2006, hlm. 351.
- ^ a b c Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 313.
- ^ Mitchell & Hanstad 2004, hlm. 3.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 102–103.
- ^ a b c Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 107.
- ^ Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 300–301.
- ^ Soemarwoto et al. 1985, hlm. 195.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 108–109.
- ^ Gliessman 1990, hlm. 163.
- ^ Christanty et al. 1986, hlm. 152.
- ^ Wiersum 2006, hlm. 21.
- ^ Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 304.
- ^ Abdoellah et al. 2001, hlm. 142.
- ^ a b Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 110–111.
- ^ Kehlenbeck, Arifin & Maass 2007, hlm. 312.
- ^ Kehlenbeck & Maass 2006, hlm. 349.
- ^ a b c d Wiersum 2006, hlm. 19.
- ^ a b c d Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 106.
- ^ Torquebiau 1992, hlm. 199.
- ^ a b Abdoellah et al. 2001, hlm. 141.
- ^ Yamamoto et al. 1991, hlm. 110.
- ^ Dove 1990, hlm. 157.
- ^ Stoler 1978, hlm. 95.
- ^ a b Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 109.
- ^ a b Arifin 2013, hlm. 15–16.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 100–101.
- ^ Febrianto, Wulandari & Santosa 2017, hlm. 60.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 109–110.
- ^ Mitchell & Hanstad 2004, hlm. 11.
- ^ Mitchell & Hanstad 2004, hlm. 29.
- ^ Torquebiau 1992, hlm. 197.
- ^ Stoler 1978, hlm. 99.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 110.
- ^ Christanty et al. 1986, hlm. 138.
- ^ a b Pranoto et al. 2024, hlm. 62.
- ^ Arifin 2013, hlm. 13–14.
- ^ Rostiyati 2013, hlm. 464.
- ^ Depdikbud 1993, hlm. 79.
- ^ Pratiwi & Gunawan 2017, hlm. 5.
- ^ Pratiwi & Gunawan 2017, hlm. 7.
- ^ Arifin 2013, hlm. 17.
- ^ Bali Express 2018.
- ^ Saraswati 2009, hlm. 35.
- ^ a b Maningtyas & Gunawan 2017, hlm. 3.
- ^ Febrianto, Wulandari & Santosa 2017, hlm. 59.
- ^ Raffles 1817, hlm. 81–82.
- ^ Stoler 1978, hlm. 85.
- ^ Arifin, Kaswanto & Nakagoshi 2014, hlm. 131.
- ^ a b Arifin, Kaswanto & Nakagoshi 2014, hlm. 130.
- ^ Arifin 2013, hlm. 2.
- ^ Aditiameri, Susilastuti & Darmansyah 2021, hlm. 58.
- ^ Arifin, Sakamoto & Chiba 1998, hlm. 94.
- ^ Soemarwoto & Conway 1992, hlm. 100.
- ^ Soemarwoto et al. 1985, hlm. 44.
- ^ Wiersum 2006, hlm. 17.
- ^ Dove 1990, hlm. 159–160.
- ^ Nawir, Murniati & Rumboko 2007, hlm. 87.
- ^ Ashari, Saptana & Purwantini 2016, hlm. 16.
- ^ Saptana, Sunarsih & Friyatno 2013, hlm. 67.
- ^ a b c Ashari, Saptana & Purwantini 2016, hlm. 17.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Abdoellah, Oekan Soekotjo; Parikesit; Gunawan, Budhi; Hadikusumah, Herri (2001). "Home gardens in the Upper Citarum Watershed, West Java: a challenge for in situ conservation of plant genetic resources" (doc). Dalam Watson, Jessica W.; Eyzaguirre, Pablo A. Home Gardens and in Situ Conservation of Plant Genetic Resources in Farming Systems. Witzenhausen: International Plant Genetic Resources Institute. hlm. 140–147.
- Aditiameri; Susilastuti, Darwati; Darmansyah, Erwin (2021). "Analisis Pemanfaatan Pekarangan Berdasarkan Strata Luas di Kelurahan Kalisari Jakarta Timur". Agrisia : Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian (dalam bahasa Inggris). 14 (1). ISSN 2621-3443.
- Arifin, Hadi Susilo (2013). Orasi Ilmiah Guru Besar: Pekarangan Kampung untuk Konservasi Agro-Biodiversitas dalam Mendukung Penganekargaman dan Ketahanan Pangan di Indonesia]. Bogor: IPB Press.
- Arifin, Hadi Susilo; Kaswanto, Regan Leonardus; Nakagoshi, Nobukazu (2014). "Low Carbon Society Through Pekarangan, Traditional Agroforestry Practices in Java, Indonesia". Dalam Nakagoshi, Nobukazu; Mabuhay, Jhonamie A. Designing Low Carbon Societies in Landscapes. Ecological Research Monographs. Tokyo: Springer Japan. hlm. 129–143. doi:10.1007/978-4-431-54819-5_8. ISBN 978-4-431-54818-8. ISSN 2191-0707.
- Arifin, Hadi Susilo; Sakamoto, Keiji; Chiba, Kyozo (1996). "Effects of the Fragmentation and the Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure in the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia". Journal of the Japanese Institute of Landscape Architecture. 60 (5): 489–494. doi:10.5632/jila.60.489
. ISSN 1348-4559.
- Arifin, Hadi Susilo; Sakamoto, Keiji; Chiba, Kyozo (1998). "Effects of Urbanization on the Vegetation Structure of Home Gardens in West Java, Indonesia". Japanese Journal of Tropical Agriculture. 42 (2): 94–102. doi:10.11248/jsta1957.42.94. ISSN 2185-0259.
- Ashari; Saptana; Purwantini, Tri Bastuti (2016). "Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Mendukung Ketahanan Pangan". Forum Penelitian Agro Ekonomi. 30 (1): 13. doi:10.21082/fae.v30n1.2012.13-30 (tidak aktif 1 November 2024). ISSN 2580-2674.
- Christanty, Linda; Abdoellah, Oekan Soekotjo; Marten, Gerald G.; Iskandar, Johan (1986). "Traditional Agroforestry in West Java: The Pekarangan (Homegarden) and Kebun-Talun (Annual-Perennial Rotation) Cropping Systems" (PDF). Dalam Marten, Gerry G. Traditional Agriculture in Southeast Asia: a Human Ecology Perspective. Boulder, CO: Westview Press. hlm. 132–158. ISBN 0813370264.
- [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993). Sirat, Muhidin; Miraya Zulaiha B; Budiono; Budhiono SK, ed. Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Lampung. Jakarta: Indonesian Department of Education and Culture. Diakses tanggal 2019-08-02.
- Dove, Michael R. (1990). "Socio-Political Aspects of Home Gardens in Java". Journal of Southeast Asian Studies. 21 (1): 155–163. doi:10.1017/s0022463400002009. ISSN 0022-4634.
- Febrianto, Redi Sigit; Wulandari, Lisa Dwi; Santosa, Herry (2017). "Domain Ruang Perempuan Pada Hunian Masyarakat Peladang Desa Juruan Laok Madura Timur". Tesa Arsitektur. 15 (1): 54–63. doi:10.24167/tesa.v15i1.1014
. ISSN 2460-6367. Diakses tanggal 2019-08-04.
- Gliessman, Stephen R. (1990). "Integrating Trees into Agriculture: The Home Garden Agroecosystem as an Example of Agroforestry in the Tropics". Dalam Gliessman, Stephen R. Agroecology. Ecological Studies: Analysis and Synthesis. Ecological Studies. 78. New York: Springer New York. hlm. 160–168. doi:10.1007/978-1-4612-3252-0_11. ISBN 978-1-4612-7934-1. ISSN 0070-8356.
- "Ini Aura yang Muncul dari Tanaman Pekarangan Berdasarkan Penempatannya". Bali Express. 2018. Diakses tanggal 2019-08-04.
- Kaswanto, Regan Leonardus; Nakagoshi, Nobukazu (2014). "Landscape Ecology-Based Approach for Assessing Pekarangan Condition to Preserve Protected Area in West Java". Dalam Nakagoshi, Nobukazu; Mabuhay, Jhonamie A. Designing Low Carbon Societies in Landscapes. Ecological Research Monographs. Tokyo: Springer Japan. hlm. 289–311. doi:10.1007/978-4-431-54819-5_17. ISBN 978-4-431-54818-8. ISSN 2191-0707.
- Kehlenbeck, Katja; Arifin, Hadi Susilo; Maass, Brigitte L. (2007). "Plant diversity in homegardens in a socio-economic and agro-ecological context". Dalam Tscharntke, Teja; Leuschner, Christoph; Zeller, Manfred; Guhardja, Edi; Bidin, Arifuddin. Stability of Tropical Rainforest Margins. Environmental Science and Engineering. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. hlm. 295–317. doi:10.1007/978-3-540-30290-2_15. ISBN 978-3-540-30289-6.
- Kehlenbeck, Katja; Maass, Brigitte L. (2006). "Are tropical homegardens sustainable? Some evidence from Central Sulawesi, Indonesia". Dalam Kumar, B. Mohan; Nair, P. K. Ramachandran. Tropical Homegardens
. Advances in Agroforestry. 3. Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 339–354. doi:10.1007/978-1-4020-4948-4_19. ISBN 978-1-4020-4947-7. ISSN 1875-1199.
- Maningtyas, Rosyidamayanti Twinsari; Gunawan, Andi (2017). "Taneyan Lanjhang, Study of Home Garden Design Based Local Culture of Madura". IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 91 (12022): 012022. Bibcode:2017E&ES...91a2022M. doi:10.1088/1755-1315/91/1/012022
.
- Mitchell, Robert; Hanstad, Tim (2004). Small Homegarden Plots and Sustainable Livelihoods for the Poor (PDF) (Laporan). FAO.
- Nawir, Ani Adiwinata; Murniati; Rumboko, Lukas (2007). Forest rehabilitation in Indonesia: Where to after more than three decades? (PDF). Jakarta, Indonesia: Center for International Forestry Research. ISBN 978-979-1412-05-6. OCLC 226211357.
- "pekarangan". Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. Diakses tanggal 2020-01-11.
- Prabowo, Walesa Edho; Darras, Kevin; Clough, Yann; Toledo-Hernandez, Manuel; Arlettaz, Raphael; Mulyani, Yeni A.; Tscharntke, Teja (2016). Bersier, Louis-Felix, ed. "Bird Responses to Lowland Rainforest Conversion in Sumatran Smallholder Landscapes, Indonesia". PLOS ONE. Public Library of Science (PLoS). 11 (5): e0154876. Bibcode:2016PLoSO..1154876P. doi:10.1371/journal.pone.0154876
. ISSN 1932-6203. PMC 4880215
. PMID 27224063.
- Pranoto, Hadi; Pujowati, Penny; Ramayana, Syamad; Turnip, Guido Narodo (2024). "Identification of Homegarden Patterns on Several Etnic in Berau Regency" (PDF). Jurnal Agroekoteknologi Tropika Lembab. 6 (2): 61–67.
- Pratiwi, Rian Adetiya; Gunawan, Andi (2017). "Study Of Lampungnese Traditional Home Garden Design". IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 91 (12024): 012024. Bibcode:2017E&ES...91a2024P. doi:10.1088/1755-1315/91/1/012024
.
- Raffles, Thomas Stamford (1817). The History of Java: In Two Volumes. London: Black, Parbury, and Allen. Diakses tanggal 2019-08-24.
- Rahu, Anggie Abban; Hidayat, Kliwon; Ariyadi, Mahrus; Hakim, Luchman (2013). "Ethnoecology of Kaleka: Dayak's Agroforestry in Kapuas, Central Kalimantan Indonesia" (PDF). Research Journal of Agriculture and Forestry Sciences. 1 (8): 5–12.
- Roshetko, James M.; Delaney, Matt; Hairiah, Kurniatun; Purnomosidhi, Pratiknyo (2002). "Carbon stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be targeted for increased carbon storage? – American Journal of Alternative Agriculture". American Journal of Alternative Agriculture. 17 (3): 138–148. doi:10.1079/AJAA200116. ISSN 1478-5498. Diakses tanggal 2019-08-23.
- Rostiyati, Ani (2013). "Tipologi Rumah Tradisional Kampung Wana di Lampung Timur". Patanjala. 5 (3): 459–474. doi:10.30959/patanjala.v5i3.101
. ISSN 2598-1242.
- Saraswati, A.A. Oka (2009). "Transformasi Arsitektur Bale Daja". DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment). 36 (1): 35–42. ISSN 2338-7858. Diakses tanggal 2019-08-04.
- Saptana; Sunarsih; Friyatno, Supena (2013). "Prospek Model-Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Dan Replikasi Pengembangan KRPL". Forum Penelitian Agro Ekonomi. 31 (1): 67. doi:10.21082/fae.v31n1.2013.67-87 (tidak aktif 1 November 2024). ISSN 2580-2674.
- Soemarwoto, Otto; Soemarwato, Idjah; Karyono; Soekartadiredja, E. Momo; Ramlan, Aseng (1985). "The Javanese Home-Garden as an Integrated Agro-Ecosystem". Food and Nutrition Bulletin. 7 (3): 1–4. doi:10.1177/156482658500700313
. ISSN 1564-8265.
- Soemarwoto, Otto; Conway, Gordon R. (1992). "The Javanese homegarden". Journal of Farming Systems Research-Extension. 2 (3): 95–118.
- Stoler, Ann (1978). "Garden Use and Household Economy in Rural Java". Bulletin of Indonesian Economic Studies. Informa UK Limited. 14 (2): 85–101. doi:10.1080/00074917812331333331. ISSN 0007-4918.
- Torquebiau, Emmanuel (1992). "Are tropical agroforestry home gardens sustainable?". Agriculture, Ecosystems & Environment. 41 (2): 189–207. Bibcode:1992AgEE...41..189T. doi:10.1016/0167-8809(92)90109-o. ISSN 0167-8809.
- Widyastuti, Rahayu (2011). "Abundance, Biomass and Diversity of Soil Fauna at Different Ecosystems in Jakenan, Pati, Central Java". Jurnal Ilmu Tanah Dan Lingkungan. 6 (1): 1–6. doi:10.29244/jitl.6.1.1-6
. ISSN 2549-2853.
- Wiersum, K.F. (2006). "Diversity and change in homegarden cultivation in Indonesia". Dalam Kumar, B. Mohan; Nair, P. K. Ramachandran. Tropical Homegardens. Advances in Agroforestry. 3. Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 13–24. doi:10.1007/978-1-4020-4948-4_2. ISBN 978-1-4020-4947-7. ISSN 1875-1199.
- Yamamoto, Yoshinori; Kubota, Naohiro; Ogo, Tatsuo; Priyono (1991). "Changes in the Structure of Homegardens under Different Climatic Conditions in Java Island". Japanese Journal of Tropical Agriculture. 35 (2): 104–117. doi:10.11248/jsta1957.35.104. ISSN 2185-0259.