Lompat ke isi

Mattirowalie, Maniang Pajo, Wajo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mattirowalie
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenWajo
KecamatanManiang Pajo
Kode Kemendagri73.13.09.2004 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Mattirowalie adalah desa di kecamatan Maniang Pajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Desa Mattirowalie merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Menurut sejarah desa bahwa sebelum masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wilayah Desa Mattirowalie masuk dalam wilayah Kerajaan Kalola yang dipimpin oleh Datu Kalola.

Adapun wilayah Kerajaan Kalola saat itu antara lain Mattirowalie, Sogi, Abbanuange, Kalola, Minangatellue, dan Tangkoli. Kondisi masyarakat pada kala itu masih mengenal hukum adat dan memiliki prinsip “Tana Rigella” yakni tanah yang memiliki sistem sendiri (otonomi) yang berarti bahwa masyarakatnya tidak tunduk pada Kerajaan Wajo dan Kerajaan Luwu tapi dilindungi oleh kedua Kerajaan tersebut.

Kata “Rigella” berarti pohon kayu yang dikupas kulitnya atau semacam di cangkok. Salah satu wujud dari otonomi tersebut dapat dilihat dalam pengelolaan lahan pertanian yakni masyarakat mengikuti aturan-aturan yang ada dalam buku “Tunrung Datu Kalola” yang telah tentukan oleh pihak Kerajaan Kalola.

Pada zaman penjajahan sekitar tahun 1920-1930-an wilayah Kerajaan Kalola menjadi Distrik Bawahan Kalola kemudian perkembangan berikutnya Distrik Bawahan Kalola tersebut menjadi wanua Kalola. Pada masa ini, sebagai daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas maka masyarakat mengelola wilayah pertanian secara bersama-sama (komunal) dan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan secara bersama.

Hingga pada tahun 1930-1940-an, saat perang bergejolak melawan Belanda, masyarakat mulai melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan cara bergerilya yang dipimpin oleh Putra Datu Kalola yakni Datu Sulung dan Andi Bau Werang atau lebih dikenal dengan sebutan Petta Opu.

Memasuki periode pasca kemerdekaan tepatnya antara tahun 1947-1949 terjadi kekosongan pemerintahan. Hal ini dipicu oleh karena Datu Kalola pindah ke Sengkang seiring dengan masa peralihan sistem kelembagaan pemerintahan di Indonesia dari kerajaan menjadi sebuah daerah yang otonom dalam sistem kelembagaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah bergabung maka secara otomatis daerah kekuasaan Kerajaan yang berbentuk wanua-wanua berubah menjadi desa atau kecamatan seperti sekarang ini.

Pada tahun 1950 – 1966 situasi keamanan semakin tidak stabil, ternak-ternak warga dirampas oleh pemberontak. Hingga sebahagian besar masyarakat memilih untuk keluar merantau. Penduduk Desa semakin tidak ramai hingga rumah-rumah penduduk dapat dihitung dengan jari.

Situasi sulit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1970-1973 saat kondisi desa mengalami kemarau panjang dan menyebabkan masyarakat desa banyak yang kelaparan. Nanti pada tahun 1976 kondisi desa mulai cukup stabil, masyarakat mulai kembali berkumpul dan membentuk perkampungan.

Masyarakat bergotong royong memindahkan (mengangkat) rumah warga yang berada di wilayah gunung untuk disatukan menjadi bentuk perkampungan. Selain itu, para perantau pun mulai berdatangan, fasilitas-fasilitas umum mulai didirikan seperti Sekolah Rakyat (SR), sarana ibadah, dan jalan raya.

Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk desa, pada tahun 1982-1985 Desa Kalola dimekarkan menjadi dua desa yakni Desa Kalola dan Desa Mattirowalie. Kemudian Desa Mattirowalie dimekarkan lagi menjadi dua desa yakni Desa Abbanuangnge dan Desa Mattirowalie.

Pemekaran tersebut atas inisiasi dan peran tokoh-tokoh masyarakat beserta warga desa yang mengadakan persiapan dan pembentukan Desa Mattirowalie hingga akhirnya Desa Mattirowalie terbagi menjadi dua dusun yakni Dusun Callaccu dan Dusun Salo Dua seperti saat ini.

Pada periode ini pembangunan dan pelayanan Pemerintah semakin baik, bahkan teknologi pertanian sudah mulai marak digunakan masyarakat. Adapun beberapa pembangunan yang membawa dampak yang cukup luas seperti masuknya BP (Brithis Petrelium) membangun gudang peledak untuk pencarian minyak di Kecamatan Gilireng dan pembangunan Pasar Impres Anabanua (1984) di Desa Mattirowalie yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian warga desa.

Pada bidang pertanian, sawah-sawah di Desa Mattirowalie yang penggarapannya masih tradisional yakni menggunakan tenaga hewan (sapi/kerbau) mulai beralih menggunakan teknologi dengan menggunakan ke tenaga mesin (traktor).

Pada tahun 1995 perkembangan di bidang pertanian semakin baik dengan terbangunnya irigasi Bendungan Kalola yang melintasi di Desa Mattirowalie. Saluran-saluran tersier dan sekunder mereka bangun dengan cara bergotong royong. Dengan melihat kondisi tersebut masyarakat yang merantau kembali mulai berdatangan dan tinggal menetap bahkan tak sedikit masyarakat yang kembali bertani saat irigasi mulai dioperasikan pada tahun 1996.

Saat peralihan kekuasaan dari era orde baru ke era reformasi tahun 1998-2002 boleh dikatakan petani di Desa Mattirowalie mendapatkan angin segar. Hal ini disebabkan karena KUT (Kredit Usaha Tani) banyak memberi bantuan dalam bentuk pendanaan. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Wajo membangun Rice Procesing Complex (RPC) di Anabanua yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan pertanian di Desa Mattirowalie.

Memasuki tahun 2005, masyarakat mendapat masalah baru seperti kurangnya akses pendidikan, sulitnya mendapatkan air bersih sampai pada monopoli perdagangan. Menurut warga masalah tersebut muncul disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah, kerjasama antara petani dan pengusaha sehingga mengakibatkan tumbuh suburnya para tengkulak yang beroperasi di sektor pertanian.

Hal tersebut berlangsung hingga masuknya PT. Sang Hyang Seri pada tahun 2006 untuk melakukan kerjasama dengan memberikan bantuan bibit dan modal untuk biaya pupuk dan pestisida. Selain itu, masyarakat diperkenalkan cara mengelola pertanian dan membentuk kelompok tani.

Pada tahun 2007, pertanian di Desa Mattirowalie seakan mendapat prioritas dan menjadi target bagi perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi di bidang pertanian. PT. GALUNG LOANGNA BOSOWA misalnya membangun pusat teknologi pembibitan di Dusun Callaccu dengan mengenalkan teknologi tanam pindah dan tanam menggunakan mesin seperti yang ada di Taiwan.

Adapula PT. Agricon yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kab. Wajo dalam hal ilmu tentang pengelolaan pertanian. Perusahaan ini membina masyarakat dengan membentuk sekitar 15 kelompok tani dan sekolah-sekolah lapang (SL) pertanian untuk mempelajari teknik penanaman padi, pengolahan benih dan penanganan masalah hama. Dengan melakukan adaptasi terhadap penggunaan teknologi pertanian tersebut hasil pertanian masyarakat meningkat dari 40 karung/ha menjadi 70 karung/ha.

Tahun 2008 Desa mengalami pergantian kepemimpinan, Kepala Desa H. Bennu Andarias yang telah memimpin selama 30 tahun digantikan oleh Muhammad Siarah, B.Sc yang menang dalam pemilihan langsung Kepala Desa.

Sebagai Kepala Desa yang baru berbagai upaya pembenahan dilakukan seperti perintisan pembangunan Program Pamsimas (Pengelolaan Air Minum berbasis Masyarakat) dan mempertegas kerjasama dengan perusahaan pertanian yang beroperasi di desa seperti PT. Sang Hyang Seri dan PT. Galung Loangna Bosowa dengan melakukan panen raya.

Memasuki tahun kedua kepemimpinannya (2009-2010) pembangunan fasilitas air bersih (Pamsimas) berhasil diwujudkan di Dusun Salodua dan di Dusun Callaccu bahkan pengembangan dari program Pamsimas yakni HID. Pembangunan pamsimas tersebut dibangun dengan cara bergotong royong membangun istalasi pipa bahkan masyarakat ikut memberikan bantuan modal kepada pengelola.

Tahun 2012, masuknya mesin perontok padi yang mengakibatkan buruh tani kehilangan pekerjaan. Tahun 2013, Pemerintah Desa melakukan kerjasama dengan PT. SUS (Sumber Utama Sejahtera) dan mulai melakukan perintisan usaha Perkebunan Kelapa Sawit di wilayah desa.

Perkebunan Kelapa Sawit PT. SUS beroperasi dengan jumlah lahan sekitar 400 Ha. Hal ini membawa pengaruh terhadap beralihnya pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor perkebunan sawit dengan menjadi buruh harian di perkebunan sawit.

Selain itu, pemerintah Pusat memberikan bantuan pendanaan kepada tiap GAPOKTAN sebesar Rp. 100.000.000 dan mendorong masyarakat melakukan sistem tanam pindah dengan menggunakan bibit unggul.

Tahun 2015, telah dibangun Pesantren Abu Bakar As Sidiq yang merupakan pesantren terbesar Wahda Islamiyah di Indonesia bagian timur. Keberadaan pesantren tersebut membawa pengaruh tidak hanya pada masyarakat sekitar desa untuk mengikuti pengajian di pesantren bahkan diluar Kabupaten Wajo. Pesantren ini dikenal mampu membina dan mencetak santrinya untuk menjadi hafidz quran.