Lompat ke isi

Mojorejo, Jetis, Ponorogo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Mojorejo
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Timur
KabupatenPonorogo
KecamatanJetis
Kode pos
63473
Kode Kemendagri35.02.09.2007 Edit nilai pada Wikidata
Luas152.800 Ha
Jumlah penduduk2.114 jiwa
Kepadatan-
Peta
PetaKoordinat: 7°56′7″S 111°29′47″E / 7.93528°S 111.49639°E / -7.93528; 111.49639


Mojorejo adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Pada awal abad 19, perang Diponegoro masih berlangsung, kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro semakin lemah. Karena kelicikan penjajah Belanda akhirnya Pangeran Diponegoro tertangkap. Tiga ‘mantan’ prajurit Diponegoro meninggalkan daerah Jawa Tengah menuju sebelah selatan timur gunung Lawu dan hendak mencari suasana baru dengan membuka hutan (babat alas) yang masih belum ada penghuninya; dengan daerah lainnya masih gung lewang lewung jalmo moro jalmo mati. Ketiga satria itu bernama: Mbah Nurmadin, Mbah Nur Amat dan Mbah Mat Kasiman.

Ketiga satria itu sepakat membagi daerah wewengkon: Mbah Nurmadin wewengkonnya sebelah timur, Mbah Nur Amat wewengkonnya sebelah utara dan sebelah barat selatan merupakan wewengkon Mbah Mat Kasiman. Dengan demikian, tanah Malo Mojorejo termasuk dalam wewengkon Mbah Nurmadin. Hal ini tidak saja karena desa ini berada di sebelah timur gunung Lawu, tetapi juga didukung oleh adanya bukti, yaitu adanya sebagian anak turun dari Mbah Nurmadin yang masih ada di desa Mojorejo. Mbah Nurmadin mempunyai dua orang putri, sekalipun nama kedua putri itu tidak dikenal. Namun yang jelas putra menantu Mbah Nurmadin adalah Mbah Sonodipo dan Mbah H. Tanggul Angin. Hingga sekarang cungkup (pasarean) Mbah Nurmadin masih ada di makam keluarga “Malo etan” yang sekarang di sebelah selatan Mushalla “Malo etan” dekat rumah Bpk Imam Mubasyir (Kades sekarang). Sebagai cikal bakal kelahiran desa Mojorejo (Malo), Mbah Nurmadin tentu dihormati masyarakat, bahkan cenderung dimitoskan. Misalnya dikisahkan suatu kejadian aneh: suatu saat di atas cungkup Mbah Nurmadin ada pohon tumbang, tetapi pohon itu tidak menjatuhi cungkup tersebut, malah jatuh di luar pagar pasarean.

Sekalipun saat ini budaya agama masyarakat Malo sudah jauh lebih baik, tetapi budaya tradisional yang dipenuhi mitos tanda-tandanya masih cukup tampak masih atau paling tidak bisa dilacak akar-akar sejarahnya. Menurut cerita para sesepuh malo, di desa ini terdapat "danyang" yang dikeramatkan oleh penduduk, yaitu: 1) danyang sambi yang berupa pohon besar; 2) pohon nguni; 3) pohon adem ati dan 4) pohon serut. Dengan kepercayaan akan adanya danyang-danyang tersebut, maka setiap warga yang akan mempunyai hajat selalu nguri-nguri danyang-danyang itu. Kepercayaan dan budaya seperti itu lambat-laun berkurang dan mencapai klimaksnya sekitar tahun 1966, saat beberapa pemuda melakukan gerakan penghancuran terhadap berbagai bentuk khurafat dan kemusyrikan.

Desa Bantengan Menjadi Satu Desa dengan Desa Mojorejo

[sunting | sunting sumber]

Seperti diuraikan di atas bahwa Desa Mojorejo terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Mojorejo I, dusun Mojorejo II, dan dusun Mojorejo III. Dusun I dan II berada di sebelah timur, yang secara tradisional disebut desa Malo, sedang dusun III berada di sebelah barat, yang dikenal dengan nama desa Bantengan. Keberadaan dua desa ini dibatasi oleh daerah persawahan yang cukup luas. Menurut sejarahnya, antara desa Malo dan desa Bantengan merupakan dua desa yang berdiri sendiri, bahkan keduanya lain kecamatan. Desa Bantengan termasuk ke dalam wilayah kecamatan Jetis, sedang desa Malo masuk dalam wilayah kecamatan Mlarak.

Desa Bantengan adalah desa yang sangat sederhana. Mata pencaharian penduduknya adalah tani dan buruh tani serta keterampilan anyam-anyaman dari bambu, seperti membuat rinjing, copil, tomblok, tumbu, kukusan, dll. Tradisi seperti ini tampak masih berlangsung hingga sekarang. Dengan tidak adanya upaya pengembangan, maka disadari bahwa desa ini sedikit agak lamban perkembangannya.

Desa Bantengan (tempo doeloe) di bawah “palang” (lurah, pen.) Mbah Reso. Selama bertahun-tahun, Mbah Reso memimpin desa Bantengan, bahkan sampai dia meninggal dunia. Dalam kepemimpinannya, Mbah Reso dibantu oleh beberapa orang yaitu:

  1. Mbah Sudomo (Juru tulis)
  2. Mbah Sarijo (Kamituwo)
  3. Mbah Dawud (Bayan)

Setelah Mbah Reso meninggal dunia, posisi palang digantikan oleh Mbah Kasan Rejo, yang dalam kepemimpinannya dibantu oleh beberapa pamong. Pada masa ini, pamong desa terdiri dari:

  1. Mbah Kasan Rejo (Lurah desa Bantengan)
  2. Mbah bakri (Juru Tulis)
  3. Mbah Saridjo (Kamituwo)
  4. Mbah Teni (Kamituwo)
  5. Mbah Samakun (Bayan)
  6. Mbah Bajuri (Jogoboyo)
  7. Mbah Karimun (Jogoboyo)

Pada masa kepemimpinan Mbah Lurah Kasan Rejo terdapat kebijakan, seiring dengan adanya peraturan perundang-undangan, bahwa desa Bantengan tidak cukup memenuhi syarat untuk menjadi desa (satu desa), karena hanya terdiri dari dua dukuh, yaitu dukuh Bantengan dan dukuh Carukan. Sementara jumlah penduduknya juga masih sedikit. Maka kebijakan itu menyatakan bahwa desa bantengan digabungkan dengan desa Malo yang awalnya termasuk dalam wilayah kecamatan Mlarak. Penggabungan desa Malo ke wilayah kecamatan Jetis itu juga atas pertimbangan jaraknya yang dekat dan dibatasi oleh sungai: sebelah utara sungai desa Gontor kec. Mlarak, sedang sebelah selatan sungai adalah desa Malo kec. Jetis. Setelah dua desa itu digabungkan menjadi satu kemudian diberi nama desa Mojorejo.

Dalam prosesnya, kebijakan penggabungan dua desa tersebut membawa konsekuensi tertentu, yaitu ada semacam perjanjian bahwa siapapun yang menjadi lurah setelahnya, selama Mbah Kasan Rejo (kakung atau putri) masing sugeng (hidup), dia masih terus menerima bengkok desa. Dan, isi perjanjian itu dapat diterima dan dijunjung tinggi oleh seluruh pamong desa dan masyarakat. Hal ini terbukti setelah posisi lurah dipegang oleh Mbah Bandi (dari Malo), bengkok bagian untuk Mbah Kasan Rejo tetap diberikan.

Perkembangan Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Untuk posisi jabatan pemimpin desa dipakai sebutan “palang” sebelum sebutan “lurah” sebagaimana dikenal sekarang. Palang adalah seseorang yang memiliki kemampuan, cakap, berani dan digdaya. Pendek kata: dia itu nyampeni kabeh gawe ugo naliko ana reruwet lan beboyo ning wengkone (dengan tegas dan mudah menyelesaikan segala persoalan di desanya).

Terdapat sejumlah nama yang secara bergantian menjadi palang desa ini, tetapi demikian menurut beberapa nara sumber, hanya palang yang belakangan yang masih diketahuai namanya, sedang palang pada periode-periode awal tidak lagi diketahui namanya. Adapun nama palang yang masih diketahui adalah Ki Demang Sutar, Mbah Sukiman, Mbah Karyo, lalu Mbah Mustam.

Pada masa Mbah Mustam, sebutan palang kemudian diganti dengan sebutan lurah, karena ‘jabatan’ diperolehnya dari pemilihan langsung oleh rakyat.

Masa Lurah Bandi

[sunting | sunting sumber]

Babak baru sejarah desa Mojorejo dimulai sejak kepemimpinan Mbah Lurah Bandi. Mbah Lurah Bandi menjabat sebagai lurah setelah memenangkan pemilihan lurah pada tahun 1921 atas kandidat yang lain yaitu Mbah Kasan Rejo. Pada pemilihan itu Mbah Bandi merupakan wakil/calon dari desa Malo sedang Mbah Kasan Rejo adalah calon dari desa Bantengan. Dalam perhitungan suara pemilihan itu, diceritakan, hanya selisih satu suara.

Masa Lurah Mukayat

[sunting | sunting sumber]

Mbah Lurah Bandi menjabat sebagai lurah hinga tahun 1962. Pada tahun yang sama diadakan pemilihan lurah yang baru. Pada pemilihan itu, tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi. Ada 9 tokoh masyarakat yang mencalonkan diri sebagai lurah. Mereka itu adalah Mukayat, Sumilah, Rusdi, Slamet, Sumino, Pf. Kusnuddin, Moh Syukur, Supuyan, dan Bajuri. Pada pemilihan itu dimenangkan oleh Bpk. Mukayat.

Pada tahun 1978 Pak Lurah Mukayat tidak dapat menjalankan tugas, maka posisi lurah ditunjuk “karteker” Bpk Kaseni (yang sebelumnya sebagai Kamituwo Bantengan) yang menjabat selama ± 4 tahun. Pada masa kemimpinan “karteker” Kaseni ini dilaksanakan pembangunan balai desa dan kantor desa. Sehingga pada masa ini juga terjadi perubahan tempat kerja perangkat desa, yang semula di rumah Pak Lurah lalu dipindahkan ke kantor desa. Setelah pak lurah “karteker” Kaseni, dilanjutkan oleh lurah “karteker” Imam Efendi yang menjabat selama ± 2 tahun.

Masa Lurah Rachmad

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1982 dilakukan pemilihan kepala desa, yang pada waktu itu ada dua calon, yaitu Bapak Kaseni (Bantengan) dan Bapak Rachmad (Malo). Pada pemilihan itu dimenangkan oleh Bpk Rachmad. Dengan demikian jabatan kelapa desa dipegang oleh Bpk Rachmad.

Pada masa pemerintahan Pak Rachmad, keadaan masyarakat desa berangsur-angsur membaik; semakin kelihatan teratur. Demikian juga perkembangan agama, budaya dan pendidikan. Banyak putra-putri desa yang sekolah ke luar kota, ada juga yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi, bahkan ada juga yang menjadi kader Pondok Modern Gontor. Bpk Rachmad memimpin Mojorejo dengan masa bakti 10 tahun dan berakhir pada tahun 1991.

Masa Lurah Imam Mubasir Periode I

[sunting | sunting sumber]

Setelah habis masa jabatan Bpk Rachmad, pada tahun 1992 dilakukan pemilihan kepala desa. Ada dua orang yang mencalonkan diri sebagai kepala desa, yaitu Bpk Rachmad dan Bpk Imam Mubasyir. Pada pemilihan itu dimenangkan oleh Bpk Imam Mubasyir.dengan demikian, jabatan lurah selanjutnya berpindah ke Bpk Imam Mubasyir dengan masa jabatan 10 tahun (1992-2002)

Pada masa pemerintahan Imam Mubasyir, kondisi masyarakat desa Mojorejo jauh lebih baik. Kemampuannya sebagai muballigh juga berpengaruh dalam peningkatan kualitas keagamaan masyarakatnya, juga peningkatan di bidang-bidang yang lainnya.

Masa Lurah Imam Mubasir Periode II

[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Bpk Imam Mubsyir pada periode pertama dinilai berhasil oleh masyarakat. Keberhasilannya ini memungkinkannya untuk mencalonkan lagi pada pemilihan kepala desa masa berikutnya. Dan benar pada arena Pilkades 2002, Bpk Imam Mubasyir merupakan “calon tunggal” dan berhasil memenangkan pemilihan atas “bumbung kosong” dengan suara mutlak atau dengan perbandingan suara 1.472: 138. Maka dia terpilih kembali memimpin desa Mojorejo untuk masa jabatan 2002-2012. Pada masa Bpk Lurah Imam Mubasyir periode II ini struktur kelembagaan desa sudah sangat jelas, sehingga jalannya pemerintahan desa melibatkan koordinasi dari berbagai lembaga yang ada, yaitu perangkat desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Perangkat Desa Saat ini: Kepala Desa : Imam Mubasir, S.Pd.I Plt. Sekretaris Desa: Heri Pranoto Kasun I : Komari Kasun II : Solikudin Kasun III : Moh. Zaenuddin Kaur Pemerintahan: Heri Pranoto Kaur Pembangunan: Imam Hanafi Kaur Keuangan : Solikudin Kaur Kesra : Kateni Bisri Jogoboyo : Rustamaji Sambong I : Kadikun Sambong II : Ahwan Fatoni Modin : Moh Nur Hasyim