Lompat ke isi

Mpu Daksa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mpu Daksa
Sri Maharaja Daksottama Bahubarka Pratipaksaksaya Uttunggawijaya[butuh rujukan]
Raja Medang Ke-14
Berkuasa( 21 Desember 910 - 12 Juli 919 M )
PendahuluDyah Balitung
PenerusDyah Tulodhong
WangsaSanjaya
AyahRakai Watuhumalang[butuh rujukan]
AgamaHindu

Mpu Daksa adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno yang memerintah sekitar tahun 913919, dengan bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya.[butuh rujukan]

Asal-Usul

[sunting | sunting sumber]

Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Tiongkok dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”.[butuh rujukan]

Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih.

Menurut Prasasti Telahap Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan.[butuh rujukan] Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.

Merebut Takhta

[sunting | sunting sumber]

Rakai Gurunwangi adalah salah satu anak Rakai Pikatan yang tertulis dalam prasasti Plaosan. Pada akhir pemerintahan adiknya, yaitu Rakai Kayuwangi, Rakai Gurunwangi memisahkan diri dan mengaku sebagai maharaja, dengan bukti ditemukannya prasasti Munggu Antan (887).

Sepeninggal Rakai Kayuwangi, takhta Kerajaan Medang jatuh ke tangan Rakai Watuhumalang. Kemungkinan besar menantu raja baru tersebut yang bernama Dyah Balitung berhasil menaklukkan Rakai Gurunwangi. Atas jasa kepahlawanannya itu, Balitung pun menjadi raja Medang selanjutnya, sedangkan Mpu Daksa (yang kemungkinan putra Rakai Watuhumalang) dijadikan sebagai Rakryan Mapatih i Hino. Dalam Prasasti Palepangan, gelar lengkapnya ialah Rakryān Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya.[1]

Pengangkatan Balitung sebagai raja mungkin membuat Daksa sakit hati. Ia pun bersekutu dengan Rakai Gurunwangi membagi daerah Taji Gunung pada tanggal 21 Desember 910. Dalam prasastinya, Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya” yang berselisih 717 tahun sesudah kalender Masehi. Rupanya Daksa ingin menunjukkan kalau dirinya adalah keturunan asli Sanjaya, yaitu pendiri Kerajaan Medang.

Sejarawan Boechari berpendapat bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh pemberontakan Mpu Daksa dan Rakai Gurunwangi.

Riwayat Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Mpu Daksa memperkenalakan penggunaan Kalender Sanjaya (Sanjayawarsa) dalam prasasti yang dikeluarkannya. Prasasti tertua atas nama Daksa sebagai maharaja yang sudah ditemukan adalah prasasti Timbangan Wungkal yang mencantumkan tahun 196 Sanjayawarsa atau 913 Masehi.[2] Isinya tentang pengaduan Dyah Dewa, Dyah Babru, dan Dyah Wijaya yang dulu mendapatkan hak istimewa dari Rakai Pikatan, tetapi kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang menjabat sebagai Sang Pamgat Mangulihi.

Selain itu ditemukan pula Prasasti Ritihang tanggal 13 September 914 tentang persembahan hadiah dari Mpu Daksa untuk permaisurinya, dan Prasasti Er Kuwing (915 M) membebaskan desa di Poh Galuh dan Er Kuwing untuk bhaţāra di Barāhāśrama di Serayu dari pajak-pajak yang membebani desa tersebut dan Prasasti Kiringan (917 M) anugerah sima kepada warga desa di Kiringan.

Akhir Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Mpu Daksa berakhir. Prasasti selanjutnya yang ditemukan adalah Prasasti Lintakan tahun 919 atas nama Rakai Layang Dyah Tulodhong sebagai raja baru.

Prasasti Ritihang yang dikeluarkan Mpu Daksa juga menyebut adanya tokoh bernama Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang perempuan yang berkedudukan tinggi sehingga tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.

Kemungkinan besar, Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan menggantikan mertuanya sebagai raja Kerajaan Medang selanjutnya.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Purnamasari, Dewi (2012). "Sambandha Pada Prasasti-Prasasti Masa Balitung (820-832 Śaka)". anzdoc.com. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. hlm. 32-33. Diakses tanggal 2018-08-06. 
  2. ^ Muljana, Prof Dr Slamet (2005). Menuju Puncak Kemegahan ; Sejarah Kerajaan Majapahit. Lkis Pelangi Aksara. hlm. 82. ISBN 9789798451355. 

Kepustakaan

[sunting | sunting sumber]
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh:
Dyah Balitung
Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah)
913?–919?
Diteruskan oleh:
Dyah Tulodhong