Muhammad Seman
Muhammad Seman محمد سمن | |||||
---|---|---|---|---|---|
Susuhunan Pagustian | |||||
![]() Muhammad Seman, ca 1880-an. | |||||
Sultan Banjar | |||||
Berkuasa | 8 November 1862 – 24 Januari 1905 | ||||
Pendahulu | Pangeran Antasari | ||||
Penerus | al-Mu'tashim Billah (sejak restorasi tahun 2010) | ||||
Kelahiran | Gusti Mat Seman 1836[1] Martapura, Kesultanan Banjar | ||||
Kematian | 24 Januari 1905 Baras Kuning, Dusun Ulu, Hindia Belanda | (umur 68–69)||||
Pasangan |
| ||||
Keturunan | |||||
| |||||
Wangsa | Dinasti Banjarmasin | ||||
Ayah | Panembahan Amiruddin | ||||
Ibu | Nyai Fatimah | ||||
Agama | Islam Sunni |
Muhammad Seman (1836 – 24 Januari 1905) adalah Sultan Banjar yang memimpin pemerintahan Pagustian sementara Kesultanan Banjar di Murung Raya, sejak kematian ayahnya Pangeran Antasari pada 1862 hingga terbunuh pada tahun 1905.[2]
Kehidupan awal
[sunting | sunting sumber]Nama lahirnya adalah Gusti Matseman, ia dilahirkan pada tahun 1836.[3] Ia adalah putra dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak dari pihak ibunya.
Berkuasa
[sunting | sunting sumber]Aksesi
[sunting | sunting sumber]Pada 3 Maret 1862 Sultan Hidayatullah II diasingkan ke pulau Jawa, maka sebelas hari setelah itu pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari yang berpindah menuju perhuluan Sungai Barito, dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar, di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati atau Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[4] Namun, tujuh bulan setelah penobatannya, Pangeran Antasari meninggal dunia secara mendadak pada tanggal 11 Oktober 1862, karena sakit cacar air.
Surat nasihat tanggal 11 Oktober 1903 dari Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal Willem Rooseboom menyebut bahwa Muhammad Seman hanya dinobatkan sebagai Calon Raja.[5][6][7][8][9][10]
Kurang lebih sebulan setelah kematian Pangeran Antasari, pada tanggal 8 November 1862, Muhammad Seman membentuk kerajaan dengan ibu kota Muara Teweh. Belanda juga pernah menjadikan Muara Teweh sebagai benteng pertahanan.[11]
Perlawanan terhadap Belanda
[sunting | sunting sumber]Gusti Matseman pada akhir bulan Agustus 1883 melakukan operasi di daerah Dusun Hulu. Ia dengan pasukannya kemudian bergerak ke Telok Mayang dan berkali-kali mengadakan serangan terhadap pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran Perbatasari, keponakan dan menantu Gusti Matseman, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahan yang dideritanya menyebabkan ia tertangkap pada tahun 1885.[12]
Pada tahun 1888, Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang awalnya akan menjadi tempat gerakan Zikir.[13]
Sultan Muhammad Seman menjalin kekerabatan yang dekat dengan Suku Dayak Murung. Ini karena ibu dia, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya upacara Tiwah, yaitu upacara kematian secara agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak.
Gusti Matseman berusaha untuk mendirikan benteng di daerah hilir Sungai Taweh. Usaha ini membuat Belanda kemudian memperkuat posnya di Khayalan dengan menambah pasukan baru, dan mendirikan lagi pos darurat di Tuyun. Dalam bulan Desember 1886, pasukan Gusti Matseman berusaha memutuskan hubungan antara kedua pos Belanda tersebut. Sementara itu, benteng pejuang di Taweh makin diperkuat dengan datangnya pasukan bantuan dan tambahan makanan yang diangkut melalui hutan. Namun di lain pihak, pos Matseman ini terancam bahaya. Di sebelah utara dan selatan benteng muncul kubu-kubu baru Belanda yang berusaha menghalang-halangi masuknya bahan makanan ke dalam benteng. Keadaan di sekitar benteng Matseman semakin kritis.[14][15]
Hubungan dengan suku-suku Dayak
[sunting | sunting sumber]Muhammad Seman menjalin kekerabatan yang dekat dengan Suku Dayak Murung. Ini karena ibu dia, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya upacara Tiwah, yaitu upacara kematian secara agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak.
Pertempuran Benteng Baras Kuning (1905) dan kematian
[sunting | sunting sumber]![](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e6/Makam_MatSeman.jpg/200px-Makam_MatSeman.jpg)
Muhammad Seman beserta pejuang lainnya seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito. Sebagai bentuk balas dendam, pada 24 Januari 1905, Belanda menyerang Benteng Baras Kuning, basis utama operasi Muhammad Seman, dan menggempur benteng tersebut dengan pasukan besar. Dalam pertempuran ini, Muhammad Seman terbunuh, ketika berusaha mengamankan posisi strategis pasukan Banjar sembari mengambil alih kendali benteng.
Kematian Muhammad Seman dengan cepat meruntuhkan semangat pasukan kesultanan. Para bangsawan pendukung Muhammad Seman seperti Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durrakhman kemudian menyerah pada pemerintah Belanda beberapa hari kemudian. Meskipun sisa-sisa pemberontak kesultanan seperti Tumenggung Gamar mencoba melakukan pemberontakan di Lok Tunggul, namun ia gagal sehingga ia dengan pasukannya terpaksa mengundurkan diri ke Tanah Bambu, tempat pertempuran terakhir terjadi dan berujung kepada kekalahan total pasukan kesultanan.
Warisan
[sunting | sunting sumber]![](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/da/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_monument_in_Bandjermasin_dat_is_opgericht_ter_herdenking_van_de_tijdens_de_Bandjermasinse_Krijg_%281859-1863%29_gesneuvelde_militairen_TMnr_60042550.jpg/235px-thumbnail.jpg)
Dengan kematian Muhammad Seman, pengaruh kesultanan dalam Perang Banjar semakin berkurang dan melemah, hal ini secara tidak langsung mempercepat berakhirnya perang dan keruntuhan kesultanan. Sepeninggal Muhammad Seman, oleh putri dan menantunya, yaitu Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad, beserta sisa-sisa pasukan yang masih setia dengan perjuangan rakyat Banjar, berulangkali melakukan percobaan pemberontakan, namun berujung kegagalan.
Makam Muhammad Seman berada di sebuah perbukitan yang dinamakan Gunung Sultan di tengah kota Puruk Cahu ibu kota Kabupaten Murung Raya, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.
Sebagai antisipasi kemungkinan pemberontakan lanjutan, pemerintah kolonial Hindia Belanda merilis daftar kelompok orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda: Antasari dengan anak-anaknya, Demang Lehman, Amin Oellah, Soero Patty dengan anak-anaknya, Kiai Djaya Lalana, dan Goseti Kassan dengan anak-anaknya. Hak ini memaksa banyak anggota keluarga kesultanan berpencar ke seluruh wilayah Kalimantan untuk menyelamatkan diri dan menjaga kelangsungan garis keturunan wangsa.[16]
Silsilah
[sunting | sunting sumber]Pangeran Amir | |||||||||||||||
Pangeran Mas'ud | |||||||||||||||
Ratu Amir | |||||||||||||||
Pangeran Antasari | |||||||||||||||
Sulaiman dari Banjar | |||||||||||||||
Ratu Mas'ud (Gusti Khadijah) Ratu Mas Teruda | |||||||||||||||
Nyai Siti Gading | |||||||||||||||
Muhammad Seman | |||||||||||||||
Ngabehi Tuha bin Patih Darta Suta | |||||||||||||||
Ngabehi Lada | |||||||||||||||
Nyai Tuha | |||||||||||||||
Nyai Fatimah | |||||||||||||||
Nyai Lada | |||||||||||||||
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde, Volume 9
- ^ "Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2009-12-22.
- ^ Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde, Volume 9
- ^ https://kaltengonline.com/2023/04/11/44-tahun-berjuang-gugur-terhormat-di-medan-perang/
- ^ E. Gobée dan C. Andriaanse (1995). Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936 (Bab 7. Pemerintah Sultan Banjarmasin, Surat tanggal 11 Oktober 1903, halaman 2293) (PDF). Diterjemahkan oleh Sukarsi. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS). hlm. 2293.
- ^ Doel, Wim Van Den (13 Mei 2023). SNOUCK: Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 249. ISBN 6233212189. ISBN 9786233212182
- ^ Sjamsuddin, Helius (2001). Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka. hlm. 502. ISBN 979666626X. ISBN 9789796666263
- ^ Surosarojo, Subardjo (1980). Kalimantan Selatan (Indonesia). Gubernur, ed. Memori pelaksanaan tugas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, Subardjo dari tahun 1970 s/d 1980. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan. hlm. 292.
- ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, ed. (1984). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 229.
- ^ Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, ed. (1975). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 118.
- ^ https://kaltengonline.com/2023/04/11/44-tahun-berjuang-gugur-terhormat-di-medan-perang/
- ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 282. ISBN 9794074101. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-22. Diakses tanggal 2014-05-22.ISBN 9789794074107
- ^ (Inggris) Merle Calvin Ricklefs, Islam in the Indonesian social context, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991, ISBN 0-7326-0252-1, 9780732602529
- ^ (Indonesia) Basuni, Ahmad (1986). Pangeran Antasari: pahlawan kemerdekaan nasional dari Kalimantan. Bina Ilmu.
- ^ MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 9780945971733. ISBN 0-945971-73-7
- ^ (Belanda) de Heere, G. A. N. Scheltema (1863). Staatsblad van Nederlandisch Indië. Ter Drukkerij van A. D. Schinkel. hlm. 118.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- http://en.rodovid.org/wk/Person:157412 Silsilah Sultan Muhammad Seman
- http://kalteng.tribunnews.com/2011/11/02/penonton-drama-kalang-barah-tegang
- http://baritobasin.wordpress.com/2008/01/14/gusti-muhammad-seman-pahlawan-daerah-yang-terlupakan/
- http://www.disbudpar.baritoselatankab.go.id/tag/resensi-buku-gigir-gampar-barito-raya-amuk-1860-1905/ Diarsipkan 2014-05-17 di Wayback Machine.
- http://460033.blogspot.com/2009/03/gusti-buasan.html
- Video di YouTube SEJARAH SULTAN MUHAMMAD SEMAN ( 1862 -1905 )
Muhammad Seman Lahir: 1836 Meninggal: 1905
| ||
Didahului oleh: Pangeran Antasari |
Sultan Banjar 1862 – 1905 |
Diteruskan oleh: Khairul Saleh |