Paludikultur di Indonesia
Paludikultur di Indonesia merupakan upaya budi daya lahan gambut di Indonesia yang segala kegiatannya dilakukan dengan batasan-batasan tertentu dengan maksud menghindari kerusakan ekosistem gambut. Paludikultur di Indonesia mampu meningkatkan inovasi dan improvisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam paludikultur.[1] Kegiatan palidukultur di Indonesia merupakan upaya mengembalikan ekosistem rawa gambut yang telah rusak menjadi seperti keadaan semula.[2]
Budi daya
[sunting | sunting sumber]Paludikultur di Indonesia merupakan upaya budi daya lahan gambut di Indonesia yang segala kegiatannya dilakukan dengan batasan-batasan tertentu dengan maksud menghindari kerusakan ekosistem gambut. Sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah mengenal dan melakukan praktik-praktik paludikultur secara tradisional. Masyarakat Indonesia memanfaatkan lahan gambut untuk keperluan pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan yang dilakukan berupa penanaman tanaman khas rawa gambut atau tanaman lokal yang dapat hidup di kondisi lahan basah.[3]
Pemilihan jenis tanaman paludikultur yang akan dibudidayakan disesuaikan dengan manfaat yang diperoleh dari tanaman tersebut. Di Indonesia, tanaman paludikultur harus mempunyai salah satu fungsi berikut: 1) penghasil pangan, 2) penghasil serat, 3) sumber bio-energi, 4) sumber obat-obatan, 5) penghasil getah, 6) hasil hutan, dan 7) tanaman konservasi. Tanaman penghasil pangan berupa sagu, asam kandis, kerantungan, pepaken, mangga kasturi, mangga kueni, rambutan, nipah, kelakai, dan tengkawang. Tanaman penghasil serat berupa geronggang, terentang, dan gelam. Sumber bio-energi diperoleh dari gelam, sagu, dan nipah. Jeletung, nyato, dan sundi menghasilkan getah. Sumber obat-obatan diperoleh dari akar kuning dan pulai. Gaharu, gemor, purun tikus, dan rotan irit menjadi komoditas hasil hutan, sedangkan ramin dan meranti merah menjadi kayu yang bernilai konservasi.[4]
Manfaat
[sunting | sunting sumber]Paludikultur di Indonesia mampu meningkatkan inovasi dan improvisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam paludikultur.[1] Produk-produk hasil paludikultur di Indonesia mampu menghasilkan berbagai komoditas penting. Produk paludikultur digunakan untuk memenuhi keperluan pangan dan pakan. Selain itu, produk paludikultur juga mampu digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku industri.[5] Kegiatan palidukultur di Indonesia juga merupakan upaya mengembalikan ekosistem rawa gambut yang telah rusak menjadi seperti keadaan semula.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Lisnawati dkk. (2019), hlm. 33."Definisi budidaya di lahan gambut secara teknis tidak dijelaskan namun memiliki batasan implementasi sebagai berikut: 1. Berada di area fungsi budidaya wilayah gambut, 2. Tidak berada di gambut yang ketebalannya lebih dari 3 meter, kecuali budidaya yang mendukung restorasi, reforestasi dan aforestasi atau mampu mengembalikan struktur tutupan lahan mirip hutan 3. Tidak mengubah kedalaman muka air tanah melebihi 40 cm 4. Tidak mengalihkan atau mengupas lapisan gambut 5. Tidak berada di kawasan fungsi lindung 6. Harus melindungi habitan dan atau spesies endemik atau dilindungi. Dengan adanya batasan implementatif tersebut maka pengertian budidaya di lahan gambut atau paludikultur di Indonesia dapat bermakna fleksibel namun memiliki batasan yang jelas, sehingga memberi kesempatan untuk inovasi dan improvisasi bagi sektor atau pemangku kepentingan yang ingin terlibat dalam budidaya paludikultur."
- ^ a b Tata, Hesti Lestari dan Adi Susmianto (2016), hlm. 29."Kegiatan paludikultur yang telah diterapkan selama ini merupakan upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem rawa gambut yang terdegradasi."
- ^ Badan Restorasi Gambut (2016), hlm. 1-10."Pemanfaatan gambut untuk pertanian dimulai dari keberhasilan penduduk asli bercocok tanam di lahan gambut untuk kebutuhan pangan, buahbuahan dan komoditas lain. Sejumlah praktik-praktik terbaik di masyarakat tentang bagaimana mengembangkan budidaya di lahan gambut secara lestari sudah lama dikenal. Sistem paludikulutur tradisional dimaksudkan agar lahan gambut tetap sesuai karakter aslinya dengan menanam vegetasi khas rawa gambut/endemik, atau vegetasi yang tetap produktif pada kondisi lahan basah."
- ^ Tata, Hesti Lestari dan Adi Susmianto (2016), hlm. 9-10."Pemilihan jenis-jenis paludikultur dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dari hasil yang dapat diperoleh, yaitu (1) penghasil pangan (termasuk karbohidrat, buah, bumbu, sayur, minyak nabati), (2) penghasil serat (sebagai alternatif substitusi bahan baku pulp dan kertas), (3) sumber bio-energi, (4) sumber obat-obatan, (5) penghasil getah, (6) hasil hutan ikutan lainnya (rotan, bahan penyamak kulit, bahan baku obat nyamuk, dll), dan (7) jenis bernilai konservasi. Penghasil pangan: sagu, asam kandis, kerantungan, pepaken, mangga kasturi, mangga kueni, rambutan, nipah, kelakai, tengkawang. Penghasil serat: geronggang, terentang, gelam. Sumber bio-energi: gelam, sagu, nipah. penghasil getah: jelutung, nyatoh, sundi. Sumber obat-obatan: akar kuning, pulai. Hasil hutan: gaharu, gemor, purun tikus, rotan irit. Kayu bernilai konservasi: ramin, meranti merah."
- ^ Badan Restorasi Gambut (2016), hlm. 1-11"Produk-produk paludikultur dapat menyediakan komoditas yang meliputi pangan, pakan, serat dan bahan bakar, serta bahan baku industri."
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Badan Restorasi Gambut (2016). Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut 2016-2020 (PDF). Jakarta: Badan Restorasi Gambut.
- Lisnawati dkk. (2019). Inisiasi Paludikultur di Indonesia: Pilihan Komoditi Restorasi Kesatuan Hidrologis Gambut. Jakarta: Kedeputian Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia. ISBN 978-623-92006-1-9.
- Tata, Hesti Lestari dan Adi Susmianto (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia. Bogor: Forda Press. ISBN 978-602-6961-05-1. Ringkasan.