Pangeran Adiwijaya
Pangeran Adiwijaya atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Syamsuddin IV merupakan volmacht (wali) bagi Pangeran Raja Depati Satria ketika belum cukup umur.
Wali Kasepuhan Pangeran Adiwijaya | |
---|---|
Wali Sultan Sepuh | |
Masa jabatan 1853–1871 | |
Informasi pribadi | |
Meninggal | 1871 Cirebon, Hindia Belanda |
Kebangsaan | Cirebon - Kasepuhan |
Sunting kotak info • L • B |
Pangeran Adiwijaya dan Taman Sari Gua Sunyaragi
[sunting | sunting sumber]Setelah pertempuran dengan Sultan Sepuh V Sjafiudin yang telah menghancurkan taman sari, Belanda kemudian memperhatikan aktivitas-aktivitas yang ada pada bangunan tersebut. Pada tahun 1852, Pangeran Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria (putera tertua dari Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman), membangun kembali dan memperkuat taman sari Gua Sunyaragi, dia mempekerjakan seorang aristek beretnis tionghoa, tetapi kemudian arsitek tersebut ditangkap dan dipaksa mengatakan seluk-beluk taman sari Gua Sunyaragi kepada Belanda untuk kemudian dibunuh. Terbongkarnya aktivitas di taman sari Gua Sunyaragi membuat Belanda memerintahkan kepada Pangeran Adiwijaya untuk menghancurkan taman sari Gua Sunyaragi, tetapi perintah tersebut tidak pernah dilaksanakan.[1] Pangeran Adiwijaya kemudian memerintahkan kepada para bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk mengungsikan seluruh persenjataan dan para prajurit keluar dari Taman Sari Gua Sunyaragi, sehingga penyerangan Belanda yang terjadi kemudian tidak mendapatkan apa-apa.[2]
Pangeran Raja Satria menuntut tahta
[sunting | sunting sumber]Pada 28 Nopember 1867 Residen Cirebon ditugaskan menegaskan kepada Pangeran Raja Satria selaku putra sah yang tertua dari Sultan Sepuh terakhir pada waktu itu bahwa pengangkatannya selaku Sultan Sepuh setelah ada berita wafatnya Pangeran Adiwijaya (pangeran Syamsudin IV) yang melakukan perbaikan pada Gua Sunyaragi tahun 1852.[3] selaku volmacht atas beheer Kasepuhan.
Surat Ketetapan mengenai penerus tahta
[sunting | sunting sumber]Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda memberitahukan surat penetapan dari Raja Belanda mengenai aturan tentang penerus tahta atau kepemimpinan kesultanan harus putera kandung yang tertua selama yang bersangkutan tidak menyalahgunakan gelar tersebut.[4] Penetapan Raja Belanda pada surat rahasia dari Menteri Jajahan Jean Chrétien Baud tanggal 23 Maret 1844 tersebut mengenai gelar Sultan harus diwariskan kepada putera sulung yang sah, diperkuat dengan telegram dari Gubernur Jendral Pieter Mijer pada tahun 1871.
memberitahukan kepada Residen Cirebon untuk menegaskan kepada ketiga cabang keluarga Sultan - Sultan di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan, bahwa penerus gelar sultan harus sesuai asal keturunannya, sesuai bakat, tekad baik dan menunjukan bukti kecakapannya, rajin dan berkelakuan baik (ijver en goedgedrag)
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ KS. Tugiono dkk. 2004. Sejarah - SMA kelas 2. Jakarta: Grasindo
- ^ Sulendraningrat, Pangeran Sulaeman. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
- ^ Sulendranigrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
- ^ Keputusan Rahasia Tgl. 30 September 1844 la za hal "Verhandelde Missive" dari Menteri Jajahan 23 Maret 1844 No. 169/0 Rahasia, Berisi al. Pemberitahuan ketetapan Raja Belanda
- ^ Telegram Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tanggal 2 September 1871 no. 53
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |