Pangeran Tubagus Angke
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Tubagus Angke ( Pangeran Jayakarta II ) | |
---|---|
Adipati Jayakarta Ke - 2 | |
Berkuasa | 1550 - 1580 |
Pendahulu | Fatahillah |
Penerus | Pangeran Wijayakrama |
Kematian | Kesultanan Banten |
Pasangan |
|
Keturunan | Pernikahan dengan Fatimah :
|
Wangsa | Tubagus |
Ayah | Syarif Abdurrahman |
Ibu | Putri Banten |
Agama | Islam |
Pangeran Tubagus Angke yang kelak bergelar Pengeran Jayakarta II putra Pangeran Panjunan cucu syekh Datuk Kahfi menikah dengan Ratu Ayu Pembayun Fatimah putri Fatahillah atau Pangeran Jayakarta dan Ratu Winahon putri Sunan Gunung Djati, Tubagus Angke yang menggantikan Fatahillah sebagai Adipati Jayakarta/Jakarta dengan gelar Pengeran Jayakarta II
Perjuangan melawan Portugis
[sunting | sunting sumber]Pangeran Tubagus Angke panglima perang Kerajaan Banten (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.
Pangeran Tubagus Angke (1570-1600 ?), sebagai Adipati Jayakarta kedua dan bawahan (vasal) kesultanan Banten serta penerus Fatahillah. Pangeran Tubagus Angke ini adalah Pangeran Jayakarta II yang disebutkan oleh orang Inggris dan Belanda sebagai “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra”. (Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, A. Heuken SJ). Pada zaman Pangeran Jayakarta inilah orang-orang asing Eropa seperti Inggris dan Belanda (sebelumnya pada abad ke 16 orang Portugis juga sudah mengunjungi Jakarta) mulai berdatangan yang kemudian harinya pecah konflik dengannya. Penduduk Tionghoa sendiri juga sudah ada sebelumnya di kota ini, dan kemudian harinya bertambah lagi dengan orang-orang Tionghoa yang berdatangan dari Banten dan terutama sesudah Banten dibawah buyutnya Sultan Ageng Tirtayasa dikuasai oleh Belanda.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi. Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "anke", yang berarti kali yang dalam.
Hubungan Cirebon, Banten dan Demak
[sunting | sunting sumber]Fatahillah yang sudah merasa tua hendak pensiun. Dia kemudian pada perayaan kemerdekaan kota Jayakarta melihat sosok pemuda yang tegap dan pandai bernama Tubagus Angke, keturunan dari Pangeran Cirebon. Kepandaian beserta sifat jujur, berlaku adil, rendah hati Tubagus Angke membuat Fatahillah ingin mengangkatnya menjadi penerusnya sebagai Bupati Jayakarta.
Tubagus Angke pun di angkat menjadi Bupati Jayakarta ke-2. Fatahillah memenuhi panggilan Sunan Gunung Jati ke Cirebon. Di sana dia juga bermaksud ingin mendapatkan ketenangan baru, setelah melewati pengalaman panjangnya dengan peperangan, kesedihan, dan penuh dengan perjuangan berat membantu mendirikan kerajaan Banten Darussalam dan kota Jayakarta.
Sunan Gunung Jati memanggil Bupati Jayakarta, Fatahilah ke Cirebon. Pemanggilannya di maksud untuk membantu pertahanan Cirebon dari amukan Dipati Jipang, Arya Penangsang. Fatahilah sebelumnya datang menemui Syekh Bentong anak Syekh Quro kakek Raden Patah, dan mengungkapkan kekecewaannya atas peristiwa kekacauan yang terjadi di Demak. Sunan Gunung Jati telah berusia sangat tua. Dampingi Fatahillah ketika menghembuskan nafas terakhirnya di usianya ke-109 tahun. Tak lama kemudian Fatahillah juga menyusul mangkat. Fatahillah dimakamkan di dekat makam Sunan Gunung Djati di Gunung Sembung. Hal ini menandakan kedekatannya hubungan Fatahillah dengan Sunan Gunung Djati.
Setelah mangkat ayahandanya Ki Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin tidak segan-segan lagi meluaskan wilayah kasultanan Surosowan. Apalagi dengan di angkatnya menantunya Tubagus Angke menjadi Bupati Jayakarta II, membuat kasultanan Surosowan Banten menguasai pula kota Jayakarta (kini Jakarta).
Pada kenyataan sejarah sejak masa itu, kasultanan Surosowan Banten berkembang menjadi lebih besar dari saudaranya di kasultanan Cirebon. Sultan Maulana Hasanuddin melakukan pengepungan pada oposisi bebuyutannya sesama turunan wangsa kerajaan Pajajaran di Banten, yaitu pada kerajaan Banten Girang. Pada masa sejarah sebelumnya, wilayah Banten terdapat 2 kerajaan, yakni kerajaan Banten pasisir atau kerajaan Banten Surosowan purba dan kerajaan Banten Girang atau Banten Selatan, yang pada masa Prabu Siliwangi menjadi kerajaan kerabat bawahan keprabhon (sebutan kekaisaran di Jawa) Pajajaran.
Keluarga
[sunting | sunting sumber]- Pangeran Tubagus Angke putra Pangeran Panjunan memiliki Istri putri dari banten dikaruniai putra Pangeran Sungerasa / Pangeran Jayakarta III dan Ratu Mertakusuma menikah dengan Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (1647 - 1651) Kesultanan Banten yang berputra Sultan Ageng Tirtayasa / Abdul Fattah (1651-1682).
- Pangeran Tubagus Angke bersaudara beda ibu dengan Pangeran Pamelekaran ayah dari Pangeran Santri Raja Kerajaan Sumedang Larang
Refernsi
[sunting | sunting sumber]- Sejarah nasional Indonesia: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Diarsipkan 2014-10-11 di Wayback Machine. oleh Nugroho Notosusanto PT Balai Pustaka, 2008