Paradoks Downs–Thomson
Paradoks Downs–Thomson (namanya diambil dari Anthony Downs dan J. M. Thomson), juga disebut paradoks Pigou–Knight–Downs (namanya diambil dari Arthur Cecil Pigou dan Frank Knight), menyatakan bahwa kesetimbangan kecepatan lalu lintas mobil di jalanan ditentukan oleh kecepatan rata-rata perjalanan yang sama menggunakan transportasi publik.
Menurut teori ini, peningkatan kapasitas jalan akan memperburuk kemacetan lalu lintas. Hal ini terjadi ketika peralihan dari transportasi publik mengakibatkan disinvestasi dari mode transportasi tersebut sampai-sampai operatornya mengurangi frekuensi layanan atau menaikkan tarif untuk menutup biaya operasionalnya. Peristiwa ini membuat penumpang transportasi umum beralih ke mobil. Ujung-ujungnya, sistem transportasi umum akan dihapus dan kemacetan di jalan yang sudah diperlebar menjadi lebih buruk daripada sebelumnya.
Kesimpulan umumnya adalah perluasan sistem jalanan sebagai solusi kemacetan bukan saja tidak efektif, tapi juga kontraproduktif. Fenomena ini juga dikenal dengan nama posisi Lewis–Mogridge dan dibahas secara mendalam oleh Martin Mogridge sambil mencontoh kota London dalam bukunya, Travel in towns: jam yesterday, jam today and jam tomorrow?
Sebuah artikel karya Dietrich Braess tahun 1968 sudah duluan menunjukkan keberadaan jaringan jalan yang kontra-intuitif ini. Paradoks Braess menyatakan bahwa menambah kapasitas jalanan ketika objek yang bergerak (dengan egoisnya) memilih rute perjalanan mereka dapat mengurangi kinerja jalan secara keseluruhan.
Muncul beberapa penelitian baru mengenai fenomena ini karena berpotensi terjadi pada jaringan komputer, bukan jaringan lalu lintas saja. Peningkatan ukuran jaringan dapat dilihat dari perilaku pengguna yang mirip seperti pemakai transportasi umum, yang bertindak secara bebas dan memisah saat memilih rute perjalanan yang optimal antara tempat asal dan tujuan.
Ini adalah kelanjutan teori permintaan laten dan konsisten dengan teori "tiga konvergensi" yang dicetuskan Downs (1992). Downs merumuskan teori ini untuk menjelaskan rumitnya menghapus kemacetan jam sibuk dari jalan bebas hambatan. Karena kapasitas jalan ditambah, muncul tiga dampak berikut: Pengendara yang biasanya memakai rute alternatif mulai memakai jalan bebas hambatan yang diperlebar; pengendara yang biasanya bepergian pada waktu non-sibuk (baik sebelum atau sesudah jam sibuk) mulai beralih ke jam sibuk (perilaku 'mengatur ulang jadwal'); dan pengguna transportasi umum beralih ke kendaraan pribadi.
Batas kebenaran teori
[sunting | sunting sumber]Menurut Downs, hubungan antara kecepatan rata-rata transportasi umum dan transportasi pribadi "hanya berlaku di daerah-daerah yang mayoritas komuter jam sibuknya menggunakan sistem angkutan cepat dengan hak jalan terpisah. Sejak 2001 di Central London, sekitar 85 persen komuter jam sibuk yang masuk ke daerah tersebut memakai angkutan umum (termasuk 77 persen di lajur terpisah) dan hanya 11 persen yang memakai mobil pribadi. Ketika tercapai kesetimbangan perjalanan jam sibuk antara sistem kereta bawah tanah dan jalan raya, waktu tempuh yang diperlukan untuk bepergian ke manapun menggunakan kedua mode tersebut cenderung sama."[butuh rujukan]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- On a Paradox of Traffic Planning, translated from the (1968) original D. Braess paper from German to English by D. Braess, A. Nagurney, and T. Wakolbinger (2005), Transportation Science 39/4, 446–450.
- Mogridge, Martin J.H. Travel in towns: jam yesterday, jam today and jam tomorrow? Macmillan Press, London, 1990. ISBN 0-333-53204-X
- Downs, Anthony, Stuck in Traffic: Coping with Peak-Hour Traffic Congestion, The Brookings Institution: Washington, DC. 1992. ISBN 0-8157-1923-X
- Thomson, J. M. (1972), Methods of traffic limitation in urban areas. Working Paper 3, Paris, OECD.