Lompat ke isi

Pemberontakan PETA Blitar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemberontakan PETA Blitar

Pembacaan vonis oleh pengadilan militer Jepang terhadap anggota PETA yang ikut serta dalam pemberontakan Daidan Blitar.
Tanggal14 Februari 1945
LokasiBlitar, Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda
Hasil Kemenangan Jepang
Pihak terlibat
PETA  Jepang
Tokoh dan pemimpin
Soeprijadi (Hilang dalam tugas) Kekaisaran Jepang Miyamoto Shizuo[1]
Korban
78 ditangkap[2]

Pemberontakan PETA di Blitar adalah pemberontakan antipendudukan di Indonesia, yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 oleh daidan (batalion) PETA di Blitar. Pemberontakan ini dikenal luas sebagai pemberontakan besar pertama tentara lokal Indonesia selama pendudukan Jepang.[3] Pemberontakan berakhir dengan kegagalan; sebagian besar pemberontak menghentikan serangan, atau ditangkap atau dibunuh oleh Jepang. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia mengakui pemberontakan tersebut sebagai revolusi yang berarti.

Pemberontak dipimpin oleh Soeprijadi, yang menghilang setelah pemberontakan. Pada tahun 1975, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 63 tahun 1975 yang secara resmi mengakui Soeprijadi sebagai pahlawan nasional Indonesia.[4]

Sebab dan akibat

[sunting | sunting sumber]

Shodancho Soeprijadi merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara dibawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi dikarenakan Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial seperti halnya kekuasaan fasisme di Eropa, perlakuan rasis tersebut juga dialami oleh tentara PETA yang notabene adalah bentukan Jepang. Berdasarkan hal-hal itulah, Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang.[5]

Pemberontakan itu sendiri berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan pasukan PETA pimpinan Soeprijadi berhasil melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang, seperti senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99. Namun, struktur komando Jepang yang tidak mebuatkan PETA memiliki komando terpusat sendiri, melainkan tetap terpusat pada komando Tentara Jepang berhasil mencegah pemberontakan itu menyebar ke ''daidan'' lainnya. Kemudian Jepang akhirnya memutuskan untuk mengirim tentara PETA yang masih setia pada Jepang untuk memburu Soeprijadi dan pengikutnya.[6]

Tentara PETA yang tertangkap kemudian diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia. Sebanyak 68 orang anggota PETA yang memberontak berhasil ditangkap - 8 orang dihukum mati, 2 orang dibebaskan - sementara Soeprijadi sendiri tidak ditemukan sampai hari ini. Banyak spekulasi beredar tentang keberadaan Soeprijadi, ada yang mengatakan ia ditangkap dan dibunuh di tempat, melarikan diri ke Trenggalek, kota kelahirannya yang letaknya cukup dekat dengan Blitar dan kondisi geografisnya yang memungkinkan Soeprijadi untuk mengasingkan diri dan bersembunyi, atau sebenarnya Soeprijadi telah tewas dalam pertempuran 14 Februari 1945 itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Jenkins, David (2009). "Soeharto and the Japanese occupation". Indonesia. 88: 91. 
  2. ^ Ramadhan, Ramadhan (14 June 2022). "14 Februari 1945: Peristiwa Pemberontakan Tentara PETA". asumsi.co. Asumsi. Diakses tanggal 18 July 2023. 
  3. ^ Lebra, Joyce (2010). Japanese-trained Armies in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 153. 
  4. ^ Said, Julinar; Wulandari, Triana (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Direktorat Jendral Kebudayaan. hlm. 52. 
  5. ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 14
  6. ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 14 dan 15
  7. ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 15