Lompat ke isi

Kawasan kumuh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pemukiman kumuh)
Kawasan kumuh di kota-kota besar dunia
Populasi perkotaan yang hidup di kawasan kumuh pada tahun 2001.
  0-10%
  10-20%
  20-30%
  30-40%
  40-50%
  50-60%
  60-70%
  70-80%
  80-90%
  90-100%
  No data
Seorang anak di tempat pembuangan sampah Cipinang Timur
Kawasan kumuh di Jakarta

Kawasan kumuh atau tepatnya Permukiman Kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai negara miskin, kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis.

Di berbagai kawasan kumuh, khususnya di negara-negara miskin, penduduk tinggal di kawasan yang sangat berdekatan sehingga sangat sulit untuk dilewati kendaraan seperti ambulans dan pemadam kebakaran. Kurangnya pelayanan pembuangan sampah juga mengakibatkan sampah yang bertumpuk-tumpuk.

Kawasan kumuh di New Delhi (1973)

Peningkatan kawasan kumuh juga berkembang seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, khususnya di dunia ketiga.

Pemerintah-pemerintah di dunia sekarang ini mencoba menangani masalah kawasan kumuh ini dengan memindahkan kawasan perumahan tersebut dengan perumahan modern yang memiliki sanitasi yang baik (umumnya berupa rumah bertingkat).

Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat: Tingkat kepadatan kawasan, Kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan tersebut.

Sesuai dengan pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.[1]

Aspek dan Kriteria Kumuh

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, Kriteria Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh merupakan kriteria kekumuhan ditinjau dari:

Bangunan Gedung

[sunting | sunting sumber]

Aspek bangunan gedung termasuk bangunan hunian mempertimbangkan ketidakteraturan bangunan, pemenuhan ketentuan dalam aturan tata ruang dan tata bangunan lingkungan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tdak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang dan Ketidaksesuaian dengan Persyaratan Teknis Bangunan. Kepadatan bangunan dianggap tinggi pada lokasi untuk kota metropolitan dan kota besar >250 unit/ha, sedangkan untuk kota sedang dan kota kecil >200 unit/ha.

Jalan Lingkungan

[sunting | sunting sumber]

Aspek jaringan jalan lingkungan meninjau konektivitas (cakupan layanan) pelayanan seluruh lingkungan perumahan atau permukiman (cakupan pelayanan) dan kualitas jalan baik kualitas perkerasan maupun dimensi jalan sesuai fungsi jalan. Sangat banyak kasus yang meresahkan di lingkungan hunian dimana banyak terdapat rumah-rumah yang tidak mendapatkan akses jalan.[2]

Penyediaan Air Minum

[sunting | sunting sumber]

Indikator yang ditinjau adalah tingkat akses air minum yang memiliki kualitas tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa bagi masyarakat pada lokasi perumahan dan permukiman. Selain itu, kebutuhan air minum masyarakat pada lokasi perumahan atau permukiman minimal sebanyak 60 liter/orang/hari.

Drainase Lingkungan

[sunting | sunting sumber]

Drainase lingkungan tidak tersedia: Saluran tersier dan/atau saluran lokal tidak tersedia, dan/atau tidak terhubung dengan saluran pada hierarki atasnya sehingga menyebabkan air tidak dapat mengalir dan menimbulkan genangan.

Drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga menimbulkan genangan: Jaringan drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air sehingga menimbulkan genangan dengan tinggi lebih dari 30 cm selama lebih dari 2 jam dan terjadi lebih dari 2 kali setahun.

Kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk: Kualitas konstruksi drainase buruk karena berupa galian tanah tanpa material pelapis atau penutup maupun karena telah terjadi kerusakan.

Aspek Pengelolaan Air Limbah/Sanitasi

[sunting | sunting sumber]

Sistem pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis: Pengelolaan air limbah pada lokasi perumahan atau permukiman tidak memiliki sistem yang memadai, yaitu, kakus/kloset yang tidak terhubung dengan tangki septik baik secara individual/domestik, komunal maupun terpusat.

Prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis: Kondisi prasarana dan sarana pengelolaan air limbah pada lokasi perumahan atau permukiman dimana: a. Kakus/kloset tidak terhubung dengan tangki septik; b. tidak tersedianya pengelolaan limbah setempat atau terpusat.

Aspek Pengelolaan Persampahan

[sunting | sunting sumber]

Prasarana dan sarana persampahan tidak memenuhi dengan persyaratan teknis: Prasarana dan sarana persampahan pada lokasi perumahan atau permukiman tidak sesuai dengan persyaratan teknis, yaitu: (a). tempat sampah dengan pemilahan sampah pada skala domestik tau rumah tangga; (b). tempat pengumpulan sampah (TPS) atau TPS 3R (reduce, reuse, recycle) pada skala lingkungan; (c). sarana pengangkutan sampah pada skala lingkungan; dan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) pada skala lingkungan.

Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis: Pengelolaan persampahan pada lingkungan perumahan atau permukiman tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut; (a). pewadahan dan pemilahan domestik; (b). pengumpulan lingkungan; c. pengangkutan lingkungan; d. pengelolaan lingkungan.

Aspek Proteksi Kebakaran

[sunting | sunting sumber]

Prasarana proteksi kebakaran tidak tersedia: Tidak tersedianya prasarana proteksi kebakaran pada lokasi, yaitu: 1. pasokan air; 2. jalan lingkungan; 3. sarana komunikasi; dan/atau; 4. data sistem proteksi kebakaran lingkungan;

Sarana proteksi kebakaran tidak tersedia: Tidak tersedianya sarana proteksi kebakaran pada lokasi, yaitu: 1. Alat Pemadam Api Ringan (APAR); 2. kendaraan pemadam kebakaran; dan/atau mobil tangga sesuai kebutuhan. Jika terdapat pemadam kebakaran dengan radius 5 km dari kawasan permukiman kumuh maka dinyatakan sudah terpenuhi dari Aspek Proteksi Kebakaran dan tidak ada penanganan terkait aspek tersebut.

Luas Kumuh di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Salah satu permasalahan perumahan di Indonesia adalah semakin meluasnya permukiman kumuh. Dalam jangka waktu tiga tahun ternyata luas permukiman kumuh di Indonesia bertambah hingga 18%. Pada tahun 1996, luas permukiman kumuh di Indonesia mencapai 40.053 hektar. Sedangkan pada tahun 2000, luas permukiman kumuh telah berkembang men- jadi 47.393 hektar. Namun demikian, data terakhir tahun 2003 menunjukkan bahwa luas permukiman kumuh berhasil ditu- runkan menjadi 45.565 hektar.[3]

Luas kumuh yang terdata saat ini per tahun 2020 (data tahun 2019) adalah berkisar 86.562 ha tersebar di seluruh Indonesia.[1] Rincian dapat dilihat pada tabel berikut:

Luas Kawasan Kumuh
Provinsi Luas (ha)
Aceh 5786,88
Sumatera Utara 6206,39
Sumatera Barat 1896,12
Riau 1152,61
Jambi 1373,44
Sumatera Selatan 3607,36
Bengkulu 786,36
Lampung 2023,51
Kepulauan Bangka Belitung 648,07
Kepulauan Riau 823,71
DKI Jakarta 0
Jawa Barat 4572,35
Jawa Tengah 8912,33
DI Yogyakarta 406,04
Jawa Timur 1797,76
Banten 1371,38
Bali 484,72
Nusa Tenggara Barat 1927,55
Nusa Tenggara Timur 756,4
Kalimantan Barat 3426,5
Kalimantan Tengah 1751,45
Kalimantan Selatan 3271,44
Kalimantan Timur 1154,12
Kalimantan Utara 317,13
Sulawesi Utara 561,02
Sulawesi Tengah 25155,2
Sulawesi Selatan 2190,65
Sulawesi Tenggara 1445,12
Gorontalo 258,88
Sulawesi Barat 224,77
Maluku 301,39
Maluku Utara 707,67
Papua 556,51
Papua Barat 707,86

Laju pertumbuhan kawasan kumuh (di pusat kota maupun di tepi kota) juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan dan ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah (home improvement). Hal lain yang juga men-jadi pemicu adalah ketidakharmonisan antara struktur infra- struktur kota, khususnya jaringan jalan dengan kawasan per- mukiman yang terbangun. Di pinggir kota hal tersebut yang menimbulkan urban sprawl yang membawa dampak kepada kemacetan (congestion), ketidakteraturan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakefisienan serta pemborosan energi dan waktu.

Pengentasan Kumuh

[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1960-an, kota-kota di negara-negara berkembang menghadapi tingkat urbanisasi dan kemiskinan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan permukiman kumuh yang tidak terkendali adalah akibatnya. Secara umum, lingkungan yang tidak terencana dan kurang terlayani ini ditempati oleh penghuni liar tanpa pengakuan hukum atau hak. Penduduk daerah kumuh tidak memiliki layanan kota yang paling dasar, seperti pasokan air, sanitasi, pengumpulan sampah atau infrastruktur, dan dengan demikian terpapar penyakit, kejahatan dan bencana alam.

Pemerintah telah mencoba mengatasi masalah ini dengan berbagai cara. Namun, kebijakan perkotaan mereka sering kali gagal karena tata kelola pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang tidak tepat, pasar tanah yang tidak berfungsi, dan yang terpenting, tidak adanya kemauan politik. Salah satu upaya untuk mencegah bertambahnya kemiskinan di perkotaan adalah dengan merelokasi penduduk ke tempat pemukiman baru yang biasanya berada di luar kota. Namun, permukiman kumuh justru muncul di pusat-pusat kota karena di sinilah masyarakat miskin lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, memindahkan penduduk atau mengganti fasilitas fisik mereka tidak berjalan dengan baik. Pemerintah tidak hanya harus mengeluarkan sumber daya untuk membersihkan daerah kumuh dan memukimkan kembali penduduknya, namun juga harus membiayai transportasi umum untuk memfasilitasi akses ke lapangan kerja di pusat kota.

Pendekatan kedua adalah penggusuran dan pembangunan kembali yang di Indonesia dikenal dengan metode peremajaan. Salah satu contohnya adalah di Taman Sari, Kota Bandung.[4] Pendekatan ini berarti memindahkan sementara para penghuni permukiman kumuh, membersihkan lahan dan membangun perumahan baru bagi mereka di lokasi yang sama. Bangunan bertingkat tinggi sering kali diusulkan untuk menampung lebih banyak orang. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa kepadatan hunian dari pembangunan gedung bertingkat tidak jauh lebih besar daripada kepadatan hunian di pusat kota. Selain itu, pembangunan gedung bertingkat tidak menyediakan banyak ruang di lantai dasar bagi keluarga berpenghasilan rendah untuk menjalankan usaha kecil yang dibutuhkan untuk menambah penghasilan mereka.

Alternatif lain selain memindahkan orang atau mengganti rumah mereka adalah dengan melakukan slum upgrading atau di Indonesia di kenal dengan Peningkatan Kualitas Kumuh. Upgrading terdiri dari perbaikan infrastruktur yang ada, misalnya retikulasi air, sanitasi, drainase, dan listrik, hingga mencapai standar yang memuaskan. Biasanya upgrading tidak melibatkan pembangunan rumah, karena penghuni dapat melakukannya sendiri, tetapi menawarkan pinjaman opsional untuk perbaikan rumah. Tindakan lebih lanjut termasuk menghilangkan bahaya lingkungan, memberikan insentif untuk pengelolaan dan pemeliharaan masyarakat, serta pembangunan klinik dan sekolah. Bagian penting dari perbaikan adalah mengalihkan hak kepemilikan rumah kepada para penghuni dengan harga yang terjangkau. Jaminan yang diberikan dengan mengalihkan hak kepemilikan ini telah terbukti dapat memotivasi penghuni untuk menginvestasikan dua hingga empat kali lipat jumlah dana yang diinvestasikan pemerintah untuk perbaikan infrastruktur di kawasan kumuh.

Upgrading memiliki keuntungan yang signifikan; tidak hanya merupakan alternatif yang terjangkau dibandingkan dengan pembongkaran dan relokasi (yang biayanya mencapai 10 kali lipat lebih mahal daripada upgrading), namun juga meminimalisir gangguan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Hasil dari pemugaran sangat terlihat, langsung terlihat dan membuat perbedaan yang signifikan terhadap kualitas hidup masyarakat miskin kota.[5]

Ada pendekatan lain yang sekarang digalakkan yaitu dengan Konsolidasi Tanah baik horizontal maupun vertikal. Konsolidasi Tanah adalah kebijakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang, serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan umum, dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Secara umum konsolidasi tanah bertujuan untuk menata kembali penguasaan tanah oleh masyarakat, agar tercipta suatu pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah. Konsolidasi tanah dapat berupa penambahan atau penataan fasilitas umum jalan, penataan ruang terbuka hijau, penataan kaveling tanah milik masyarakat sehingga tercipta pengembangan lingkungan hunian yang lebih berkualitas. Setiap pemilik tanah akan menyumbangkan sebagian dari tanahnya untuk dijadikan fasilitas umum seperti penataan atau pelebaran jalan, penambahan ruang terbuka hijau, dan lain-lain. Dengan demikian, pemilik tanah akan menerima kembali konstribusi sumbangan tanahnya berupa kenaikan harga jual tanah tersebut, sehingga memberikan manfaat atau keuntungan yang lebih baik. Pengaturan bidang tanah dalam konsolidasi tanah ini dapat berupa pergeseran letak, penggabungan, pemecahan, pertukaran, penghapusan ataupun pengubahan.[6]

Program Pengentasan Kumuh

[sunting | sunting sumber]

Beberapa program khusus pengentasan permukiman kumuh baik Indonesia dan di luar negeri antara lain adalah:

Kampung Improvement Program (KIP) – Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Program Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya dilakukan secara top-down tapi dalam perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal. Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang melibatkan masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik lingkungan) dan mengupayakan ijin bangunan dan sertifikasi tanah. Pemerintah Daerah Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan koperasi untuk kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil mendapat penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain, seperti Pekalongan, Solo dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besardan berhasil. Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya.

Di tingkat nasional program semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung, NUSSP, P2KP dsb yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Belum ada kebijakan-strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama secara nasional.Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh menjadi semakin besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008.[7]

Program Baan Mankong, Thailand

[sunting | sunting sumber]

Community Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik independen yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan Sosial) pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF).Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI justru belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti ‘secure housing’ atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM, akademisi dan institusi pendidikan. Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong: 1) peningkatan permukiman kumuh yang disebut in-situ, 2) reblocking atau land readjustment, 3) land sharing di mana ada perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik tanah dengan masyarakat, 4) rekonstruksi atau pembangunan kembali dan 5) relokasi. Untuk scaling-up proyek ini digunakan 6 pendekatan yaitu:

  • Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut.
  • Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil melakukan peningkatan kualitas permuiman kumuh
  • Peresmian proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang
  • Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh

Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

[sunting | sunting sumber]

National Slum Upgrading Project (NSUP) atau Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), sejak tahun 2016 hingga 30 Juni 2023, untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan di Indonesia serta merekonstruksi dan memperkuat fasilitas publik serta permukiman di daerah yang terkena dampak bencana. Salah satu sumber pendanaan NSUP/KOTAKU didukung oleh pinjaman dari Bank Dunia, AIIB dan IsDB. Nilai kegiatan ini berkisar USD 1.743 juta melalui Bank Dunia/AIIB, USD 329,76 juta melalui IsDB dan USD 1.310 juta dari sektor kolaborasi (pemerintah pusat sebesar USD 652 juta, Pemda dan swasta sebesar USD 658 juta).

Adapun sub-program dari kegiatan ini adalah:

  1. Kegiatan Skala Lingkungan, untuk pembangunan infrastruktur tersier di kawasan permukiman atau skala lingkungan untuk mendukung upaya pengurangan kawasan kumuh yang dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat (BKM dan KSM).
  2. Kegiatan Skala Kawasan, untuk perbaikan/ peningkatan kualitas infrastruktur penghubung skala kawasan (primer dan sekunder) dilaksanakan secara kontraktual oleh pihak ketiga melalui mekanisme lelang di BP2JK.
  3. Padat Karya Tunai (CFW), dilaksanakan dalam rangka pemeliharaan aset-aset infrastruktur yang dibangun oleh NSUP/PNPM/P2KP maupun aset infrastruktur lainnya dalam kawasan permukiman (bukan pembangunan baru). Selain dalam rangka pemeliharaan, kegiatan CFW juga dimaksudkan sebagai solusi jangka pendek dalam mengatasi dampak sosial ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan hilangnya pekerjaan dan atau berkurangnya pendapatan masyarakat.
  4. NSUP-CERC, dalam penanggulangan bencana alam (gempa, tsunami dan likuifaksi) di Provinsi Sulawesi Tengah dengan turut serta merekontruksi dan merehabilitasi fasilitas publik dan lingkungan permukiman melalui penyediaan tempat tinggal permanen (huntap), perbaikan jalan/drainase, fasilitas kesehatan dan gedung pendidikan. NSUP-CERC terbagi menjadi 2 kegiatan infrastruktur yaitu skala kontraktual (Palu, Sigli dan Donggala) dan skala lingkungan (Palu, Mataram, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Sumbawa).
  5. KOTAKU-DFAT, kegiatan yang secara khusus mendukung target peningkatan akses air bersih dan sanitasi di lokasi prioritas bersumber dari dana KOTAKU-DFAT. Program KOTAKU- DFAT juga secara khusus mendukung pembangunan sarana infrastruktur yang dapat digunakan oleh semua (universal access).

Hingga 15 Juni 2023, kegiatan ini berhasil berkontribusi dalam pengurangan kawasan kumuh sekitar 14.650 hektar. Sebanyak 8.660.311 orang telah merasakan manfaat dari program dan 4.418.378 jiwa di antaranya adalah perempuan.[8]

Penyebab-penyebab yang menciptakan dan memperluas permukiman kumuh

[sunting | sunting sumber]

Permukiman kumuh tumbuh dan berlanjut karena kombinasi dari alasan demografis, sosial, ekonomi, dan politik. Penyebab umum termasuk migrasi dari desa ke kota yang cepat, perencanaan yang buruk, stagnasi dan depresi ekonomi, kemiskinan, pengangguran yang tinggi, ekonomi informal, kolonialisme dan segregasi, politik, bencana alam, dan konflik sosial.

Migrasi Desa ke Kota

[sunting | sunting sumber]
Pmukiman kumuh Kibera di Nairobi, Kenya, permukiman kumuh terbesar kedua di Afrika[9][10][11] dan terbesar ketiga di dunia.[9]]

Migrasi desa-kota adalah salah satu penyebab yang dikaitkan dengan pembentukan dan perluasan permukiman kumuh.[12] Sejak tahun 1950, populasi dunia telah meningkat dengan laju yang jauh lebih besar daripada jumlah total lahan yang dapat ditanami, meskipun pertanian menyumbangkan persentase yang jauh lebih kecil dari total ekonomi. Sebagai contoh, di India, pertanian menyumbang 52% dari PDB pada tahun 1954 dan hanya 19% pada tahun 2004;[13] di Brasil, kontribusi PDB pertanian tahun 2050 adalah seperlima dari kontribusinya pada tahun 1951.[14] Sementara itu, pertanian juga menjadi lebih produktif, tidak mudah terserang penyakit, tidak terlalu keras secara fisik, dan lebih efisien dengan traktor dan peralatan lainnya. Proporsi orang yang bekerja di bidang pertanian telah menurun 30% selama 50 tahun terakhir, sementara populasi global telah meningkat 250%.[12]

Banyak orang pindah ke daerah perkotaan terutama karena kota menjanjikan lebih banyak pekerjaan, sekolah yang lebih baik untuk anak-anak miskin, dan peluang pendapatan yang lebih beragam daripada pertanian subsisten di daerah pedesaan.[15] Sebagai contoh, pada tahun 1995, 95,8% migran ke Surabaya, Indonesia melaporkan bahwa pekerjaan adalah motivasi utama mereka untuk pindah ke kota.[16] Namun, beberapa migran pedesaan mungkin tidak langsung mendapatkan pekerjaan karena kurangnya keterampilan dan pasar kerja yang semakin kompetitif, yang menyebabkan mereka kekurangan uang.[17] Di lain pihak, banyak kota yang tidak menyediakan perumahan murah yang memadai bagi sejumlah besar pekerja migran pedesaan-perkotaan. Beberapa pekerja migran pedesaan-perkotaan tidak mampu membeli rumah di perkotaan dan akhirnya menetap di daerah kumuh yang terjangkau.[18] Lebih jauh lagi, para migran dari pedesaan, terutama yang terpikat oleh pendapatan yang lebih tinggi, terus membanjiri kota. Dengan demikian, mereka memperluas daerah kumuh perkotaan yang sudah ada.[17]

Menurut Ali dan Toran, jaringan sosial juga dapat menjelaskan migrasi desa-kota dan pemukiman akhir masyarakat di daerah kumuh. Selain migrasi untuk mencari pekerjaan, sebagian orang bermigrasi ke kota karena hubungan mereka dengan kerabat atau keluarga. Ketika keluarga mereka yang tinggal di daerah kumuh di kota, para migran dari desa berniat untuk tinggal bersama mereka di daerah kumuh[19]

Urbanisasi

[sunting | sunting sumber]
Sebuah kawasan kumuh di Rio de Janeiro, Brasil. Rocinha favela bersebelahan dengan gedung-gedung pencakar langit dan daerah-daerah yang lebih kaya di kota ini, sebuah lokasi yang menyediakan lapangan pekerjaan dan kemudahan transportasi bagi mereka yang tinggal di daerah kumuh.

Pembentukan kawasan kumuh terkait erat dengan urbanisasi.[20] Pada tahun 2008, lebih dari 50% populasi dunia tinggal di daerah perkotaan. Di Cina, misalnya, diperkirakan bahwa populasi yang tinggal di daerah perkotaan akan meningkat 10% dalam satu dekade sesuai dengan tingkat urbanisasi saat ini.[21] UN-Habitat melaporkan bahwa 43% penduduk perkotaan di negara berkembang dan 78% penduduk di negara paling tidak berkembang adalah penghuni daerah kumuh.[22]

Beberapa ahli berpendapat bahwa urbanisasi menciptakan permukiman kumuh karena pemerintah daerah tidak mampu mengelola urbanisasi, dan pekerja migran yang tidak memiliki tempat tinggal yang terjangkau tinggal di permukiman kumuh.[23] Urbanisasi yang cepat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan orang mencari peluang kerja dan investasi di daerah perkotaan.[24][25] Namun, seperti yang dibuktikan oleh infrastruktur perkotaan yang buruk dan perumahan yang tidak mencukupi, pemerintah setempat terkadang tidak mampu mengelola transisi ini.[26][27] Ketidakmampuan ini disebabkan oleh kurangnya dana dan kurangnya pengalaman dalam menangani dan mengatur masalah yang ditimbulkan oleh migrasi dan urbanisasi.[25] Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah mengabaikan arus imigran yang masuk selama proses urbanisasi.[24] Contoh-contoh seperti itu dapat ditemukan di banyak negara Afrika. Pada awal tahun 1950-an, banyak pemerintah Afrika yang percaya bahwa permukiman kumuh akhirnya akan hilang seiring dengan pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan. Mereka mengabaikan penyebaran permukiman kumuh yang semakin cepat akibat meningkatnya migrasi desa-kota yang disebabkan oleh urbanisasi.[28] Beberapa pemerintah, bahkan, memetakan lahan yang ditempati permukiman kumuh sebagai lahan yang tidak terbangun.[29]</ref

Jenis urbanisasi lain tidak melibatkan pertumbuhan ekonomi tetapi stagnasi ekonomi atau pertumbuhan yang rendah, terutama berkontribusi pada pertumbuhan permukiman kumuh di Afrika Sub-Sahara dan beberapa bagian dari Asia. Jenis urbanisasi ini melibatkan tingkat pengangguran yang tinggi, sumber daya keuangan yang tidak mencukupi, dan kebijakan perencanaan kota yang tidak konsisten.[30] Di daerah-daerah tersebut, peningkatan 1% populasi perkotaan akan mengakibatkan peningkatan 1,84% prevalensi permukiman kumuh.[31]

Urbanisasi juga dapat memaksa beberapa orang untuk tinggal di daerah kumuh ketika hal tersebut mempengaruhi penggunaan lahan dengan mengubah lahan pertanian menjadi daerah perkotaan dan meningkatkan nilai tanah. Selama proses urbanisasi, beberapa lahan pertanian digunakan untuk kegiatan perkotaan tambahan. Lebih banyak investasi akan masuk ke daerah-daerah ini, yang akan meningkatkan nilai tanah.[32] Sebelum suatu lahan benar-benar di-urbanisasi, terdapat periode ketika lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan perkotaan maupun pertanian. Pendapatan dari lahan tersebut akan menurun, yang akan menurunkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Kesenjangan antara pendapatan masyarakat yang rendah dan harga tanah yang tinggi memaksa sebagian masyarakat untuk mencari dan membangun permukiman informal yang murah, yang dikenal sebagai permukiman kumuh di daerah perkotaan.[27] Transformasi lahan pertanian juga menyediakan surplus tenaga kerja, karena para petani harus mencari pekerjaan di daerah perkotaan sebagai buruh migran pedesaan-perkotaan.[23]

Banyak permukiman kumuh yang merupakan bagian dari ekonomi aglomerasi di mana terdapat kemunculan skala ekonomi di tingkat perusahaan, biaya transportasi dan mobilitas tenaga kerja industri.[33] Peningkatan skala ekonomi berarti bahwa produksi setiap barang akan dilakukan di satu lokasi.[33] Meskipun ekonomi aglomerasi menguntungkan kota-kota ini dengan membawa spesialisasi dan beberapa pemasok yang bersaing, kondisi daerah kumuh tetap tertinggal dalam hal kualitas dan perumahan yang layak. Alonso-Villar berpendapat bahwa adanya biaya transportasi mengimplikasikan bahwa lokasi terbaik bagi perusahaan adalah lokasi yang memiliki akses mudah ke pasar, dan lokasi terbaik bagi pekerja adalah lokasi yang memiliki akses mudah ke barang. Konsentrasi adalah hasil dari proses aglomerasi yang memperkuat diri sendiri.[33] Konsentrasi adalah tren umum dari distribusi populasi. Pertumbuhan kota secara dramatis intens di negara-negara kurang berkembang, di mana sejumlah besar kota besar mulai bermunculan; yang berarti tingginya tingkat kemiskinan, kejahatan, polusi, dan kemacetan.[33]

Perencanaan rumah yang buruk

[sunting | sunting sumber]

Beberapa permukiman kumuh di dunia saat ini merupakan produk dari urbanisasi yang dibawa oleh kolonialisme. Sebagai contoh, bangsa Eropa tiba di Kenya pada abad ke-19 dan menciptakan pusat-pusat kota seperti Nairobi terutama untuk melayani kepentingan finansial mereka. Mereka menganggap orang Afrika sebagai migran sementara dan membutuhkan mereka hanya untuk pasokan tenaga kerja. Kebijakan perumahan yang bertujuan untuk mengakomodasi para pekerja ini tidak ditegakkan dengan baik dan pemerintah membangun pemukiman dalam bentuk tempat tidur untuk satu orang. Karena biaya waktu dan uang untuk bolak-balik antara daerah pedesaan dan perkotaan, keluarga mereka secara bertahap bermigrasi ke pusat kota. Karena mereka tidak mampu membeli rumah, permukiman kumuh pun terbentuk.[34]

Yang lainnya tercipta karena Segregasi tempat tinggal yang dipaksakan oleh penjajah. Sebagai contoh, Kawasan kumuh Dharavi di Mumbai - sekarang merupakan salah satu kawasan kumuh terbesar di India, dulunya merupakan sebuah desa yang disebut sebagai Koliwadas, dan Mumbai dulunya disebut sebagai Bombay. Pada tahun 1887, pemerintah kolonial Inggris mengusir semua penyamak kulit, industri berbahaya lainnya, dan penduduk asli miskin yang bekerja di bagian semenanjung kota dan area perumahan kolonial, ke tempat yang saat itu merupakan pinggiran utara kota - sebuah pemukiman yang sekarang disebut Dharavi. Pemukiman ini tidak menarik pengawasan atau investasi kolonial dalam hal infrastruktur jalan, sanitasi, layanan publik, atau perumahan. Orang miskin pindah ke Dharavi, mencari pekerjaan sebagai pelayan di kantor-kantor dan rumah-rumah kolonial dan di tempat penyamakan kulit milik orang asing serta industri pencemar lainnya di dekat Dharavi. Untuk tinggal, kaum miskin membangun kota-kota kumuh yang mudah dijangkau dari tempat kerja. Pada tahun 1947, tahun ketika India menjadi negara persemakmuran yang merdeka, Dharavi telah berkembang menjadi daerah kumuh terbesar di Bombay.[35]Demikian pula, beberapa permukiman kumuh di Lagos, Nigeria tumbuh karena pengabaian dan kebijakan pada masa kolonial.[36]Pada masa apartheid di Afrika Selatan, dengan dalih sanitasi dan pencegahan wabah penyakit, segregasi ras dan etnis diupayakan, orang-orang kulit berwarna dipindahkan ke pinggiran kota, kebijakan yang menciptakan Soweto dan daerah-daerah kumuh lainnya - yang secara resmi disebut township.[37] Permukiman kumuh yang luas dimulai di pinggiran pusat kota kolonial yang sadar akan pemisahan di Amerika Latin.[38] Marcuse berpendapat bahwa ghetto di Amerika Serikat, dan di tempat lain, telah diciptakan dan dipertahankan oleh kebijakan segregasionis negara dan kelompok dominan secara regional.[39][40]

Makoko - Salah satu daerah kumuh tertua di Nigeria, pada awalnya merupakan pemukiman nelayan, dibangun di atas panggung di atas laguna. Tempat ini berkembang menjadi permukiman kumuh dan menjadi rumah bagi sekitar seratus ribu orang di Lagos. Pada tahun 2012, sebagian dihancurkan oleh pemerintah kota, di tengah kontroversi, untuk mengakomodasi infrastruktur bagi populasi kota yang terus bertambah.[41]

Infrastruktur yang buruk, pengucilan sosial, dan stagnasi ekonomi

[sunting | sunting sumber]

Pengucilan sosial dan infrastruktur yang buruk memaksa masyarakat miskin untuk beradaptasi dengan kondisi di luar kendalinya. Keluarga miskin yang tidak mampu membayar transportasi, atau mereka yang tidak memiliki transportasi umum yang terjangkau, umumnya tinggal di permukiman jongkok yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau cukup dekat dengan tempat kerja formal atau informal mereka.[42] Ben Arimah menyebutkan bahwa pengucilan sosial dan infrastruktur yang buruk ini menjadi penyebab banyaknya permukiman kumuh di kota-kota di Afrika.[31] Jalan-jalan yang tidak beraspal dan berkualitas buruk mendorong timbulnya permukiman kumuh; peningkatan 1% jalan beraspal sepanjang tahun, menurut Arimah, dapat menurunkan tingkat permukiman kumuh sekitar 0,35%. Transportasi umum dan infrastruktur ekonomi yang terjangkau memberdayakan masyarakat miskin untuk pindah dan mempertimbangkan pilihan tempat tinggal selain di kawasan kumuh saat ini.[43][44]

Pertumbuhan ekonomi yang menciptakan lapangan kerja dengan laju yang lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, menawarkan kesempatan dan insentif bagi masyarakat untuk pindah dari daerah kumuh yang miskin ke lingkungan yang lebih maju. Sebaliknya, stagnasi ekonomi menciptakan ketidakpastian dan risiko bagi masyarakat miskin, sehingga mendorong mereka untuk tetap tinggal di daerah kumuh. Stagnasi ekonomi di negara dengan populasi yang terus bertambah akan mengurangi pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, sehingga meningkatkan kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan. Meningkatnya kemiskinan di pedesaan juga mendorong migrasi ke daerah perkotaan. Dengan kata lain, ekonomi yang berkinerja buruk akan meningkatkan kemiskinan dan migrasi dari desa ke kota, yang pada akhirnya akan meningkatkan permukiman kumuh.[45][46]

Ekonomi informal

[sunting | sunting sumber]

Banyak permukiman kumuh tumbuh karena tumbuhnya ekonomi informal yang menciptakan permintaan akan pekerja. Ekonomi informal adalah bagian dari ekonomi yang tidak terdaftar sebagai bisnis atau berlisensi, yang tidak membayar pajak dan tidak diawasi oleh pemerintah daerah, negara bagian, atau federal.[47] Ekonomi informal tumbuh lebih cepat daripada ekonomi formal ketika hukum dan peraturan pemerintah tidak jelas dan berlebihan, birokrasi pemerintah korup dan melecehkan para pengusaha, hukum ketenagakerjaan yang tidak fleksibel, atau ketika penegakan hukum yang buruk.[48] Sektor informal perkotaan menyumbang antara 20 hingga 60% dari PDB sebagian besar negara berkembang; di Kenya, 78% lapangan kerja nonpertanian ada di sektor informal yang menyumbang 42% PDB.[12] Di banyak kota, sektor informal menyumbang hingga 60% lapangan kerja bagi penduduk perkotaan. Sebagai contoh, di Benin, penghuni kawasan kumuh terdiri dari 75 persen pekerja sektor informal, sementara di Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Chad, dan Ethiopia, mereka merupakan 90 persen dari angkatan kerja informal.[49] Permukiman kumuh dengan demikian menciptakan ekosistem ekonomi alternatif informal, yang menuntut pekerja fleksibel berupah rendah, sesuatu yang disediakan oleh penduduk miskin di permukiman kumuh. Dengan kata lain, negara yang sulit untuk memulai, mendaftarkan, dan menjalankan bisnis formal, cenderung mendorong bisnis informal dan permukiman kumuh.[50][51][52] Tanpa ekonomi formal yang berkelanjutan yang dapat meningkatkan pendapatan dan menciptakan peluang, permukiman kumuh yang kumuh akan terus berlanjut.[53]

Permukiman kumuh di dekat Ramos Arizpe di Meksiko.

Bank Dunia dan UN Habitat memperkirakan, dengan asumsi tidak ada reformasi ekonomi besar yang dilakukan, lebih dari 80% pekerjaan tambahan di daerah perkotaan di negara berkembang mungkin merupakan pekerjaan bergaji rendah di sektor informal. Hal-hal lain tetap sama, ledakan pertumbuhan sektor informal ini kemungkinan besar akan disertai dengan pertumbuhan permukiman kumuh yang cepat.[12]


Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
  2. ^ Amiruddin, Faizal (3 April 2021). "Akses Menuju Rumah Diblokir Tetangga, Warga Pangandaran Ini Kebingungan". Detiknews. Diakses tanggal 25 Desember 2023. 
  3. ^ Irawan, Willy; Mulyanto, Darajat; Ratna Dewi, Kurnia; Listalatu, Alis; Farahdiba, Anna; Falah, Dendra (2008). Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Jakarta: Direktorat Permukiman dan Perumahan Kementerian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. hlm. 45.  line feed character di |publisher= pada posisi 36 (bantuan);
  4. ^ Kurniawan, Roni (13 Desember 2019). "Penggusuran Tamansari untuk Penataan Kawasan Kumuh". Medcom.id. Diakses tanggal 25 Desember 2015. 
  5. ^ "What is Urban Upgrading? History". What is Urban Upgrading? Reference for administrator, policy maker, and decision makers. 2021. Diakses tanggal 25 Desember 2023. 
  6. ^ Sindhu Pribadi, I G Oka. Modul Kebijakan Tanah, Diseminasi Penataan Kawasan Permukiman Kumuh di Perkotaan Dalam Konsolidasi Tanah/ Konsolidasi Tanah Vertikal. Direktorat Konsolidasi Tanah dan Pengembangan Pertanahan Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 2021
  7. ^ Muta’ali, Luthfi; Nugroho, Arif Rahman (2019). Permukiman Kumuh di Indonesia dari Masa ke Masa: Perkembangan Program Penanganan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 73. ISBN 978-602-386-128-6. 
  8. ^ [kotaku.pu.go.id Project Completion Report] Periksa nilai |url= (bantuan). Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, World Bank dan AIIB. hlm. 4–5. 
  9. ^ a b "Korps Medis Internasional - Korps Medis Internasional". Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 July 2011. Diakses tanggal 23 Juli 2015. 
  10. ^ "Participating countries". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-14. Diakses tanggal 2009-01-21. 
  11. ^ Machetes, Ethnic Conflict and Reductionism Diarsipkan 2008-05-19 di Wayback Machine. The Dominion
  12. ^ a b c d What are slums and why do they exist? Diarsipkan 2011-02-06 di Wayback Machine. UN-Habitat, Kenya (April 2007)
  13. ^ in/data/datatable/2504/databook_%2029.pdf "Salinan yang diarsipkan" Periksa nilai |archive-url= (bantuan) (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-24. Diakses tanggal 2013-09-16. 
  14. ^ Brazil: Tantangan untuk Menjadi Negara Adidaya Pertanian Diarsipkan 2013-10-23 di Wayback Machine. Geraldo Barros, Brookings Institution (2008)
  15. ^ Kemiskinan di Perkotaan - Gambaran Umum Judy Baker, The World Bank (2008)
  16. ^ Tjiptoherijanto, Prinjono, and Eddy Hasmi. "Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota di Indonesia". Urbanisasi Asia di Milenium Baru. Ed. Gayl D. Ness dan Prem P. Talwar. Singapore: Marshall Cavendish Academic, 2005. hlm. 162
  17. ^ a b Todaro, Michael P. (1969). "A Model of Labour Migration and Urban Unemployment in Less Developed Countries". The American Economic Review. 59 (1). 
  18. ^ Craster, Charles V (1944). "Slum Clearance. The Newark Plan". American Journal of Public Health and the Nation's Health. 34 (9): 935–940. doi:10.2105/ajph.34.9.935. PMC 1625197alt=Dapat diakses gratis. PMID 18016046. 
  19. ^ Ali, Mohammed Akhter; Kavita Toran (2004). "Migration, Slums and Urban Squalor - A case study of Gandhinagar Slum". Proceedings of the Third International Conference on Environment and Health. 
  20. ^ Davis, Mike (2006). Planet of Slums. Verso. 
  21. ^ State of the world population 2007: unleashing the potential of urban growth. New York: United Nations Population Fund. 2007. 
  22. ^ The challenge of slums – Global report on Human Settlements, United Nations Habitat (2003)
  23. ^ a b Hammel, Eugene A. "Some characteristics of rural village and urban slum populations on the coast of Peru". Southwestern Journal of Anthropology. 20 (4). doi:10.1086/soutjanth.20 .4.3629175 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  24. ^ a b Patel, Ronak B.; Thomas F. Burke (2009). "Urbanization-an emerging humanitarian disaster". New England Journal of Medicine. 361 (8). doi:10. 1056/nejmp0810878alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |doi= (bantuan). PMID 19692687. 
  25. ^ a b Bolay, Jean-Claude (2006). "Slums and urban development: questions on society and globalisation". The European Journal of Development Research. 18 (2). CiteSeerX 10.1.1.464.2718alt=Dapat diakses gratis. doi:10. 1080/09578810600709492 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  26. ^ Firdaus, Ghuncha (2012). "Urbanization, emerging slums and increasing health problems: a challenge before the nation: an empirical study with reference to state of uttar pradesh in India". Journal of Environmental Research and Management. 3 (9): 146–152. 
  27. ^ a b Clonts, Howard A. "Influence of urbanization on land values at the urban periphery". Land Economics. 46 (4). doi:10. 2307/3145522 Periksa nilai |doi= (bantuan). JSTOR 3145522. 
  28. ^ UN-HABITAT (2003b) The Challenge of Slums: Global Report on Human Settlements. Earthscan, London: UN-Habitat. 2003. 
  29. ^ Wekwete, K. H (2001). "Manajemen perkotaan: The recent experience, in Rakodi, C". The Urban Challenge in Africa. 
  30. ^ Cheru, F (2005). Globalisasi dan pembangunan yang tidak merata di Afrika: The limits to effective urban governance in the provision of basic services. UCLA Globalization Research Center-Africa. 
  31. ^ a b Slums as Expressions of Social Exclusion: Explaining the Prevalence of Slums in African Countries Diarsipkan 2013-10-15 di Wayback Machine. Ben Arimah, United Nations Human Settlements Programme, Nairobi, Kenya
  32. ^ Rancich, Michael T. "Land value changes in an area undergoing urbanization". Land Economics. 46 (1). doi:10. 2307/3145421 Periksa nilai |doi= (bantuan). JSTOR 3145421. 
  33. ^ a b c d Alonso-Villar, Olga (2001). "Large Metropolises in the Third World: An Explanation". Urban Studies. 38 (8): 1368. doi:10.1080/00420980120061070. 
  34. ^ Obudho, R. A.; G. O. Aduwo (1989). "Slum and squatter settlements in urban centres of Kenya: Towards a planning strategy". Journal of Housing and the Built Environment. 4 (1). doi:10.1007/bf02498028. 
  35. ^ Jan Nijman, A STUDY OF SPACE IN MUMBAI'S SLUMS, Tijdschrift voor economische en sociale geografie Volume 101, Edisi 1, halaman 4-17, Februari 2010
  36. ^ Liora Bigon, Between Local and Colonial Perceptions: The History of Slum Clearances in Lagos (Nigeria), 1924–1960, African and Asian Studies, Volume 7, Number 1, 2008, pages 49–76 (28)
  37. ^ Beinart, W., & Dubow, S. (Eds.), (2013), Segregation and apartheid in twentieth century South Africa, Routledge, hal. 25-35
  38. ^ Griffin, E., and Ford, L. (1980), A model of Latin American city structure, Geographical Review, halaman 397-422
  39. ^ Marcuse, Peter (2001), pdf Enclaves yes, ghettoes, no: Segregation and the state Diarsipkan 2013-09-21 di Wayback Machine., Lincoln Institute of Land Policy Conference Paper, Columbia University
  40. ^ Bauman, John F (1987), Public Housing, Race, and Renewal: Urban Planning in Philadelphia, 1920-1974, Philadelphia, Temple University Press
  41. ^ Destroying Makoko Diarsipkan 2013-09-04 di Wayback Machine. The Economist (18 Agustus 2012)
  42. ^ Istanbul's Gecekondus Diarsipkan 2013-10-22 di Wayback Machine. Orhan Esen, London School of Economics and Political Science (2009)
  43. ^ Africa: Improved infrastructure key to slum upgrading - UN Official Diarsipkan 2013-10-21 di Wayback Machine. IRIN, United Nations News Service (11 Juni 2009)
  44. ^ LATIN AMERICAN SLUM UPGRADING EFFORTS Diarsipkan 2013-10-21 di Wayback Machine. Elisa Silva, Arthur Wheelwright Traveling Fellowship 2011, Universitas Harvard
  45. ^ The Challenge of Slums: Global Report on Human Settlements] Diarsipkan 2014-01-11 di Wayback Machine., United Nations Human Settlements Programme; ISBN 1-84407-037-9
  46. ^ Growing out of poverty: Urban job Creation and the Millennium Development Goals] Diarsipkan 2019-10-31 di Wayback Machine. Marja Kuiper dan Kees van der Ree, Global Urban Development Magazine, Vol 2, Issue 1, Maret 2006
  47. ^ "The Informal Economy: Fact Finding Study" (PDF). Department for Infrastructure and Economic Cooperation. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 October 2011. Diakses tanggal 20 November 2011. 
  48. ^ Towards a better understanding of informal economy Diarsipkan 2015-01-09 di Wayback Machine. Dan Andrews, Aida Caldera Sánchez, and Åsa Johansson, OECD France (30 May 2011)
  49. ^ The state of world's cities Diarsipkan 2009-07-04 di Wayback Machine. UN Habitat (2007)
  50. ^ The Urban Informal Sector in Nigeria Diarsipkan 2013-09-13 di Wayback Machine. Geoffrey Nwaka, Global Urban Development Magazine, Vol 1, No 1 (May 2005)
  51. ^ In nairobi's slums, problems and potential as big as Africa itself Diarsipkan 2015-01-09 di Wayback Machine. Sam Sturgis, Rockefeller Foundation, (3 Januari 2013)
  52. ^ Dalam satu kawasan kumuh, kesengsaraan, pekerjaan, politik, dan harapan Diarsipkan 2015-01-08 di Wayback Machine. Jim Yardley, New York Times (28 Desember 2011)
  53. ^ Minnery dkk., Slum upgrading and urban governance: Case studies in three South East Asian cities, Habitat International, Volume 39, Juli 2013, Halaman 162-169