Penyerangan Gresik
Penyerangan Gresik | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Peperangan era Napoleon | |||||||
Peta Jawa, dengan Gresik ditandai. | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Britania Raya | Kerajaan Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Laksamana Sir Edward Pellew | Kapten Cowell | ||||||
Kekuatan | |||||||
Dua kapal tiang, dua fregat dan empat kapal kecil | Dua kapal tiang dan pertahanan pantai | ||||||
Korban | |||||||
Tidak ada | Tidak diketahui, seluruh kapal dan militer hancur. |
Penyerangan Gresik adalah serangan Britania Raya terhadap pelabuhan Belanda di Griessie (kini Gresik) di Pulau Jawa, Hindia Belanda, pada bulan Desember 1807 selama Perang Napoleon. Serangan ini merupakan aksi terakhir dalam serangkaian pertempuran antara skuadron Britania di Samudra Hindia dengan angkatan laut Belanda di Pulau Jawa. Pertempuran ini berakhir dengan skuadron Britania menghancurkan dua kapal tiang Belanda, kapal perang terakhir yang dimiliki oleh Belanda di wilayah tersebut. Skuadron Britania di bawah komando Laksamana Sir Edward Pellew berusaha untuk melumpuhkan Belanda dalam upayanya untuk menguasai rute perdagangan dengan Tiongkok di Selat Malaka; kapal-kapal Britania sering kali dijarah oleh perompak Belanda yang beroperasi dari pelabuhan utama di Batavia (kini Jakarta). Pada musim panas 1806, fregat Britania melakukan pengintaian di Laut Jawa dan dicegat oleh dua fregat Belanda, yang mendorong Pellew untuk melancarkan serangan besar-besaran di Batavia yang mengakibatkan hancurnya fregat terakhir milik Belanda. Sebelum penyerangan Batavia, Laksamana Belanda, Hartsink, telah memerintahkan agar kapal-kapalnya berlayar ke arah timur dan berlindung di Gresik, dekat Surabaya.
Pada pagi 5 Desember 1807, skuadron kedua di bawah komando Pellew mendekati Gresik dan menuntut penyerahan diri skuadron Belanda yang merapat di pelabuhan. Komandan Belanda, Kapten Cowell, menolaknya, dan menyita perahu Britania yang ditugaskan untuk membawa pesan. Pellew merespon hal ini dengan memblokir muara dan melontarkan tembakan meriam ke arah kapal Belanda di Selat Madura. Gubernur Surabaya kemudian memerintahkan Kapten Cowell untuk membebaskan perahu Britania yang disita dan setuju untuk menyerahkan kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Gresik. Saat Pellew mencapai pelabuhan, Cowell telah menenggelamkan seluruh kapal di perairan dangkal, hanya menyisakan bangkai kapal yang terbakar. Pellew lalu melabuhkan pasukannya di pantai dan memusnahkan semua perlengkapan militer di kota. Dengan hancurnya armada Belanda di Gresik, kekuatan angkatan laut Belanda terakhir di Pasifik telah dimusnahkan. Pasukan Britania kembali ke wilayah ini pada tahun 1810 dengan membawa pasukan ekspedisi dalam jumlah besar yang berhasil menginvasi dan merebut Jawa pada tahun 1811, bersamaan dengan dikuasainya koloni terakhir Belanda di Afrika bagian timur.
Latar belakang
Pada tahun 1804, di awal Perang Napoleon, skuadron Prancis yang beroperasi dari pelabuhan Batavia di Jawa yang dikuasai oleh Belanda menyerang iringan-iringan kapal Britania yang hendak berlayar menuju Tiongkok. Peristiwa ini terjadi di Selat Malaka dan memicu pecahnya Pertempuran Pulo Aura.[1] Serangan Prancis ini gagal, namun ancaman dari Prancis dan Belanda terhadap kapal dagang Britania yang melewati Selat Malaka semakin jelas. Bertekad untuk mengatasi ancaman ini, komandan Royal Navy di Samudra Hindia, Laksamana Sir Edward Pellew, memerintahkan fregat untuk mengintai aktivitas angkatan laut Belanda di Hindia Timur pada musim panas 1806. Belanda menerjunkan skuadron kecil di wilayah ini, yang dikomandoi oleh Laksamana Hartsink, terutama bertujuan untuk membasmi para bajak laut. Skuadron ini terdiri dari beberapa kapal tiang tua 68-gun, tiga fregat, dan sejumlah kapal-kapal kecil. Meskipun kebanyakannya sudah usang, kapal-kapal tersebut tetap saja menjadi ancaman bagi kapal dagang Britania yang melintasi Selat Malaka dan fregat Pellew yang berpatroli di perairan tersebut.[2]
Dalam peristiwa Aksi 26 Juli 1806, iring-iringan kapal Belanda yang berlayar di sepanjang pantai selatan Sulawesi diserang dan dikalahkan oleh salah satu fregat pengintai milik Pellew, HMS Greyhound. Kapal-kapal Belanda disita, termasuk fregat Pallas dan dua kapal dagang besar.[3] Tiga bulan kemudian, fregat HMS Caroline memasuki pelabuhan Batavia dan berhasil merebut fregat Maria Riggersbergen milik Belanda dalam Aksi 18 Oktober 1806.[4] Keberhasilan ini mendorong Pellew untuk melakukan operasi dalam skala besar, dan skuadron Britania menyerang pelabuhan Batavia pada tanggal 27 November 1806. Karena besarnya jumlah pasukan Britania, kapal-kapal Belanda terpaksa merapat ke pantai untuk menghindari penangkapan. Pasukan Britania di bawah komando putra Pellew, Kapten Fleetwood Pellew, berhasil memusnahkan kapal-kapal Belanda dengan cara membakarnya.[5]
Sejumlah kapal Belanda, termasuk semua kapal tiang, berhasil lolos dari serangan tersebut. Hartsink berusaha untuk membagi pasukannya tak lama sebelum Pellew melancarkan serangan dengan cara mengirim sejumlah kapal ke arah timur di sepanjang pantai Jawa, yang dikomandoi oleh seorang perwira Belanda kelahiran Amerika bernama Kapten Cowell. Pasukan Cowell akhirnya ditampung di sebuah pelabuhan yang terlindung di kota Gresik, di dekat Surabaya, 570 mil (920 km) di sebelah barat Batavia.[6] Kondisi skuadron memburuk dengan cepat; salah satu kapal, yakni Kortenaar, tidak bisa beroperasi dan ditinggalkan di pelabuhan, sedangkan dua kapal lainnya—Pluto dan Revolutie—dikosongkan dan meriamnya dipindahkan ke kapal lain.[7]
Laksamana Pellew tidak bisa kembali ke Jawa pada awal 1807 karena kapal-kapalnya yang tersebar saat beroperasi telah tercerai-berai di Samudra Hindia, beberapa bahkan berlayar jauh sampai ke Laut Merah. Pada musim panas, tanggung jawab Pellew untuk memblokade kapal-kapal Prancis di Île Bonaparte dan Isle de France (kini Mauritius) diserahkan pada Laksamana Albemarle Bertie di Tanjung Harapan, dan Pellew sekali lagi bebas mengerahkan armadanya untuk melumpuhkan sisa-sisa skuadron Belanda.[6] Karena ketiadaan armada utama, Pellew mengirim dua fregat ke Laut Jawa: Caroline di bawah komando Kapten Peter Rainier dan HMS Psyche di bawah komando putranya, Kapten Fleetwood Pellew. Armada ini dengan cepat berhasil menemukan lokasi kapal-kapal Belanda dan kemudian berbagi tugas untuk menyerang; Psyche sukses melakukan penyerangan di Semarang pada 31 Agustus setelah pasukan Kapten Pellew berhasil menenggelamkan dua kapal Belanda, dan menyita tiga, termasuk korvet Scipio 24-gun, yang kemudian berganti nama menjadi Samarang.[8]
Pellew di Gresik
Saat berita mengenai penemuan lokasi kapal-kapal Belanda sampai di telinga Laksamana Pellew di Malaka, ia segera mengumpulkan armada kapal perang yang berada di dekatnya, termasuk kapal perang HMS Culloden yang dikomandoi oleh Komandan George Bell, kapal tiang HMS Powerful yang dikomandoi Fleetwood Pellew,[a] fregat Caroline yang dikomandoi Kapten Henry Hart, dan HMS Fox yang dikomandoi Kapten Archibald Cochrane, serta kapal-kapal kecil seperti HMS Victor yang dikomandoi Letnan Thomas Groube, HMS Samarang yang dikomandoi Letnan Richard Buck, HMS Seaflower yang dikomandoi Letnan William Fitzwilliam Owen, dan HMS Jaseur yang dikomandoi Letnan Thomas Langharne. Armada ini didampingi oleh kapal angkut Worcester, yang membawa 500 perwira dari Resimen 30 di bawah komando Letnan Kolonel Lockhart, untuk berjaga-jaga jika serangan tersebut membutuhkan operasi pendaratan.[11]
Berangkat dari Malaka pada tanggal 20 November, skuadron Pellew berlayar di sepanjang pantai utara Jawa selama 15 hari, dan tiba di Pangkah pada 5 Desember. Pellew kemudian mengutus perahu penyampai pesan berbendera gencatan senjata ke Gresik, memerintahkan komandan Belanda untuk menyerahkan kapal-kapalnya. Kapten Cowell menolak, dan menyita perahu pembawa pesan. Cowell juga mengirim kapal Culloden untuk memberitahu Pellew mengenai tindakannya tersebut.[11] Sebagai tanggapan, Pellew berencana untuk menyerang pelabuhan Belanda. Ia memerintahkan agar kapal Culloden dan Powerful dikosongkan agar kapal-kapal tersebut bisa berlayar di selat dangkal. Pada tanggal 6 Desember, skuadron Britania bergerak menuju Gresik melalui Selat Madura. Di perjalanan, kapal diserang oleh meriam-meriam Belanda yang dipasang di Sambelangan, Pulau Madura. Skuadron Pellew berhasil menangkis serangan tersebut tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada kapal. Setelah Pellew dan skuadronnya tiba di Gresik, Gubernur Surabaya mengirimkan pesan yang menyatakan bahwa pihak Belanda memenuhi tuntutan Pellew untuk menyerahkan kapal yang merapat di pelabuhan tanpa syarat.[12]
Pada tanggal 7 Desember, Pellew menyetujui persyaratan penyerahan Belanda atas kapal Revolutie, Pluto, Kortenaar, dan Rustloff, yang berlabuh di Gresik. Namun, saat pasukan Britania memasuki pelabuhan, mereka menemukan empat kapal sudah ditenggelamkan dengan sengaja dan hanya menyisakan bangkai kapal yang menyembul dari perairan dangkal. Karena tidak bisa menyingkirkan bangkai-bangkai kapal tersebut, Pellew memerintahkan pasukannya untuk membakarnya. Segera setelah itu, pasukan Britania diterjunkan ke seluruh penjuru kota, membakar semua perlengkapan militer dan menghancurkan meriam Belanda yang telah dipindahkan dari kapal.[12] Pasukan Britania juga merampas bahan bakar yang disembunyikan di Sambelangan. Aksi ini berakhir pada 11 Desember dan setelah itu, Pellew memerintahkan skuadronnya untuk menarik diri dan kembali ke India.[13]
Dampak
Operasi terakhir Pellew di Pulau Jawa ini berakhir dengan jatuhnya korban di kedua belah pihak dalam jumlah kecil, juga menyingkirkan keberadaan angkatan laut Belanda di Hindia Timur selama sisa peperangan.[11] Setelah kekalahan Belanda, perhatian Britania beralih ke pulau-pulau milik Prancis di Samudra Hindia, yang berhasil diblokade dan direbut dalam Kampanye Mauritius 1809–1811.[14] Setelah mengambil alih Mauritius, pasukan Britania kembali ke Hindia Timur dan berhasil merebut Jawa dari tangan Belanda.[15] Pada masa ini, Pellew bertugas di Laut Tengah dan kontrol atas Hindia Timur diserahkan pada Thomas Stamford Raffles. Setelah kekalahan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo dan disahkannya Traktat Inggris-Belanda dalam Konvensi London pada tahun 1815, Britania diperintahkan untuk mengembalikan Hindia Timur kepada Belanda sekaligus mengakhiri pendudukannya di wilayah tersebut.[16]
Catatan
- ^ Mantan komandan Powerfull, Kapten Robert Plampin, telah kembali ke Inggris pada tahun 1807 karena sakit.[9] Pellew kemudian mengangkat putranya sebagai komandan baru. Pengangkatan ini hanya sementara dan pada tahun berikutnya, setelah Pellew dipindahkan ke Laut Tengah, putranya ditugaskan untuk mengomandoi fregat HMS Phaeton.[10]
Referensi
- ^ Clowes, hlm. 336
- ^ Gardiner, hlm. 81
- ^ Clowes, hlm. 386
- ^ James, hlm. 267
- ^ James, hlm. 268
- ^ a b Gardiner, hlm. 82
- ^ James, hlm. 357
- ^ Henderson, hlm. 81.
- ^ Laughton, J. K. "Plampin, Robert". Oxford Dictionary of National Biography, (subscription required). Diakses tanggal 5 October 2009.
- ^ Laughton, J. K. "Pellew, Sir Fleetwood Broughton Reynolds". Oxford Dictionary of National Biography, (subscription required). Diakses tanggal 5 October 2009.
- ^ a b c Clowes, hlm. 240
- ^ a b James, hlm. 358
- ^ Gardiner, hlm. 83
- ^ Gardiner, hlm. 97
- ^ Gardiner, hlm. 107
- ^ Gardiner, hlm. 110
Daftar pustaka
- Clowes, William Laird (1997) [1900]. The Royal Navy, A History from the Earliest Times to 1900, Volume V. Chatham Publishing. ISBN 1-86176-014-0.
- Gardiner, Robert, ed (2001 [1998]). The Victory of Seapower. Caxton Editions. ISBN 1-84067-359-1.
- Henderson CBE, James (1994) [1970]. The Frigates. Leo Cooper. ISBN 0-85052-432-6.
- James, William (2002) [1827]. The Naval History of Great Britain, Volume 4, 1805–1807. Conway Maritime Press. ISBN 0-85177-908-5.