Lompat ke isi

Perang pandan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tradisi perang pandan di desa Tenganan, Bali

Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali.[1] Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere.[1] Upacara perang pandan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing.[2] Peran pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang.[1] Perang pandan merupakan bagian dari ritual Sasihh Sembah.[1] Sasih sembah ialah ritual terbesar yang ada di Desa Tenganan.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Desa Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dari umumnya masyarakat Bali.[1] Masyarakat di Desa Tenganan menganut agama Hindu Indra.[1] Pemeluk agama Hindu Indra tidak membedakan umatnya dalam kasta.[1] Mereka juga menempatkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi.[1] Masyarakat Tenganan percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadian dari Dewa Indra.[1]

Jaman dahulu daerah Tenganan di pimpin oleh seorang raja yang kejam bernama Maya Denawa.[1] Maya Denawa menganggap dirinya sebagai seorang Dewa.[1] Selain menganggap dirinya Dewa, Maya Denata juga melarang masyarakat Tenganan untuk melakukan ritual keagamaan.[1] Pengakuan Maya Denata sebagai dewa membuat murka para Dewa, kemudian Dewa Indra diutus untuk melawan Maya Denata.[1] Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra dimenangkan oleh Dewa Indra.[3] Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra tersebut kini di peringati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan, karena Dewa Indra adalah dewa perang.[3]

Tempat[sunting | sunting sumber]

Upacara perang pandan dilaksanakan di Desa Tenganan.[3] Tenganan adalah salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali.[1] Desa ini dikelilingi oleh bukit seperti benteng.[3] Ritual perang pandan dilakukan di depan balai pertemuan desa Tenganan.[1]

Waktu pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan.[1] Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut.[1] Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali.[4] Perang pandan dilaksanakan mulai dari jam 2 sore hingga selesai selama tiga jam.[4]

Alat[sunting | sunting sumber]

Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri sebagai alat atau senjata untuk berperang.[5] Pandan berduri yang digunakan adalah pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada.[6] Peserta perang pandan juga menggunakan sebuah tameng.[6] Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan.[6] Tameng yang digunakan pada perang pandan terbuat dari rotan yang dianyam.[6]

Perang pandan diiringi musik gamelan seloding.[6] Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan.[6] Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja.[6] Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah.[6]

Peserta[sunting | sunting sumber]

Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan.[6] Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung.[6] Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini.[6] Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.[6]

Urutan acara[sunting | sunting sumber]

Upacara perang pandan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada Dewa.[1] Setelah mengelilingi desa, kemudian dilanjutkan ritual minum tuak bersama.[6] Tuak kemudian di kumpulkan bersama dan dibuang di sebelah panggung.[6] Pemangku adat akan memberikan aba-aba tanda perang dimulai.[6] Perang dilakukan berpasangan yaitu sejumlah dua orang.[6] Peserta perang pandan akan menari-nari dan sesekali menyabetkan pandan berduri pada peserta lainnya sealam datu menit lalu bergantian dengan pasangan lain.[6] Meskipun tubuhnya berdarah, pada peserta tetap terlihat senang karena hal itu adalah salah satu ungkapan syukur mereka dan cara menghormati Dewa Indra.[6] Setelah perang selesai peserta yang terluka diolesi ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit.[6] Acara selanjutnya setelah perang usai adalah melakukan sembahyang di pure.[6] Meskipun peserta terluka tetapi tidak ada dendam di antara peserta.[6] Hal tersebut disimbolkan dengan makan bersama yang menunjukkan kebersamaan.[6] Acara tersebut dinamakan megibung.[6]

Pakaian[sunting | sunting sumber]

Peserta perang pandan memakai pakaian adat Tenganan yang bernama kain tenun Pegringsingan.[1] Masyarakat pria hanya menggunakan sarung atau disebut kamen, selendang atau disebut saput, dan ikat kepala atau udeng.[1] Pria tersebut tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v "Upacara Perang Pandan". Wisata Dewata. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-28. Diakses tanggal 28 April 2014. 
  2. ^ Asdhiana, I Made (ed.). "Warga Tenganan Lestarikan Tradisi Perang Pandan". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 30 April 2014. 
  3. ^ a b c d "Sejarah Tenganan Pegringsingan,dan Perang pandan Berduri". KPF Bali. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-02. Diakses tanggal 30 April 2014. 
  4. ^ a b "Perang Pandan is War Dance in Tenganan Village". Bali Golden Tour. Diakses tanggal 1 Mei 2014. 
  5. ^ "Tradisi Perang Pandan di Desa Tenganan Bali Village". Plesir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-02. Diakses tanggal 1 Mei 2014. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w [hhttp://www.diwira-tourandtravel.com/2013/10/perang-pandan-di-desa-tenganan.html "Mengenal Tradisi Perang Pandan di Desa Adat Tenganan Bali"]. Diwira Tour and Travel. Diakses tanggal 1 Mei 2014.