Lompat ke isi

Perdagangan satwa liar yang dilindungi di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.[1] Satwa liar yang dilindungi merupakan sumber daya alam hayati yang harus dilindungi agar dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara lestari.[2] Perdagangan satwa liar merupakan ancaman serius bagi konservasi satwa liar di Indonesia [3] karena sekitar 95% satwa yang diperdagangkan berasal dari tangkapan liar dan sisanya hasil penangkaran.[4] Perdagangan satwa liar adalah kejahatan yang sudah terorganisir dengan rapi yang mempunyai jaringan yang luas dan bertenaga dan menggunakan modus kepemilikan yang kuat serta pemeliharaan juga penyelundupan hewan yang dilindungi terus berkembang, dalam beberapa kasus perdagangan satwa liar illegal dilakukan oleh eksportir satwa liar yang memiliki izin resmi.[5] Perdagangan satwa liar ini adalah penyebab dari kepunahan satwa liar, [6] disebutkan juga bahwa perdagangan satwa secara liar merupakan perdagangan satwa yang dilindungi tanpa memperhatikan aturan yang telah ada, baik dengan cara memperjualbelikannya dalam keadaan hidup untuk dipelihara maupun dalam bentuk hewan yang sudah diawetkan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan organ tubuh satwa sebagai bahan obat tradisional, contoh jenis satwa yang diperdagangkan adalah bayi orangutan, beruang madu yang diambil empedu, cakar, taring, juga telapak tangannya,[7] kura-kura leher panjang, penyu sisik, burung cendrawasih kecil, kakatua koki, kasturi kepala hitam, [8] dan bagian tubuh Harimau Sumatera yang diselundupkan berupa kulit, gigi,cakar, taring dan tulangnya.[9]

Sejarah perdagangan satwa liar yang dilindungi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Sebuah pepatah Jawa menyatakan bahwa setiap laki-laki harus memiliki rumah, kuda (saat ini sering diartikan sebagai mobil, atau setidaknya sepeda motor), istri, keris (belati tradisional), dan burung. Karena tradisi yang dipegang teguh ini, setidaknya sepertiga rumah tangga Jawa memelihara burung.[10] Memelihara burung dan mengkonsumsi produk dari hewan liar memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Masyarakat Dayak di Kalimantan, misalnya, sudah berabad-abad berburu rangkong untuk diambil bulunya.[11] Di Sulawesi bagian utara, komunitas Kristen sangat menyukai daging hewan liar, dengan apa pun yang dapat diburu seringkali sangat diinginkan untuk makan malam (dan sangat mahal di pasar daging hewan liar Langowan dan Tomohon. Salah satu kelezatan terbesar—konsumsinya sebagai simbol status dan kemakmuran—adalah kera jambul hitam, primata endemik Sulawesi.[12] Selama tiga hingga empat dekade terakhir, populasi spesies ini telah mengalami penurunan 80%. Meskipun penggundulan hutan di Sulawesi telah menghilangkan sebagian besar habitat kera, perburuan akhir-akhir ini sebenarnya merupakan ancaman yang jauh lebih besar bagi spesies tersebut. Selain dagingnya yang sangat berharga, bulunya digunakan dalam tarian tradisional untuk menandakan keberanian; dan tengkoraknya menghiasi topeng dan kostum.[10] Di komunitas Sunda di selatan Jawa Barat terdapat keyakinan yang telah turun menurun mengenai kukang yang mempengaruhi tingkat toleransi masyarakat terhadap konservasi primata dimana menyebabkan terjadinya perburuan terhadap kukang.[13]

Peraturan perdagangan satwa liar yang dilindungi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Indonesia menjadi salah satu pemasok terbesar perdagangan satwa di dunia, hal ini meningkatkan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Spesies baru yang ditemukan di Indonesia akan terus bertambah seiring juga dengan intensifnya penelitian dan eksplorasi alam.[14] Namun, sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan, pengangkutan, kandang sempit, dan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan satwa.[15]

Hingga saat ini masih banyak kasus yang berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi.[16] Memburu satwa liar dilindungi bagi sebagian orang dilakukan karena kesenangan semata. Kegiatan ini biasanya menggunakan senapan angin dan juga jerat. Hal ini sudah merusak lingkungan hidup karena kegiatan perburuan ini akan menghilangkan keseimbangan ekosistem hutan. Untuk menekan angka perburuan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai perburuan satwa liar yang salah satunya termuat pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada pasal 21 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang dilarang untuk: a) menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e) mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Hal ini juga dibahas melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. P106 tahun 2018 tentang Tumbuhan dan Satwa Liar. Untuk pemanfaatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang mengatur tata cara pemanfaatan jenis yang dilindungi untuk kegiatan tertentu dengan kondisi dan syarat yang diizinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saat ini perlindungan hidupan liar atau satwa dalam instrumen hukum secara internasional dibahas melalui Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1973. CITES, atau Konvensi mengenai Pengendalian Perdagangan mengkategorikan spesies dalam 3 kelas yaitu spesies yang termasuk di dalam Appendix I, II dan III (Non-Appendix) (United nation General Assembly 1973). Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mengatur secara jelas mengenai tindak pidana tersebut. Hukum nasional yang melindungi satwa liar belum memiliki kelengkapan dan ketentuan yang mengacu pada CITES sepenuhnya. Ancaman sanksi yang ada pun juga tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Peraturan perdagangan satwa liar yang dilindungi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Indonesia menjadi salah satu pemasok terbesar perdagangan satwa di dunia, hal ini meningkatkan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Spesies baru yang ditemukan di Indonesia akan terus bertambah seiring juga dengan intensifnya penelitian dan eksplorasi alam.[14] Namun, sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan, pengangkutan, kandang sempit, dan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan satwa.[15]

Hingga saat ini masih banyak kasus yang berkaitan dengan perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi.[16] Memburu satwa liar dilindungi bagi sebagian orang dilakukan karena kesenangan semata. Kegiatan ini biasanya menggunakan senapan angin dan juga jerat. Hal ini sudah merusak lingkungan hidup karena kegiatan perburuan ini akan menghilangkan keseimbangan ekosistem hutan. Untuk menekan angka perburuan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai perburuan satwa liar yang salah satunya termuat pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada pasal 21 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang dilarang untuk: a) menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e) mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Hal ini juga dibahas melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. P106 tahun 2018 tentang Tumbuhan dan Satwa Liar. Untuk pemanfaatan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang mengatur tata cara pemanfaatan jenis yang dilindungi untuk kegiatan tertentu dengan kondisi dan syarat yang diizinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saat ini perlindungan hidupan liar atau satwa dalam instrumen hukum secara internasional dibahas melalui Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1973. CITES, atau Konvensi mengenai Pengendalian Perdagangan mengkategorikan spesies dalam 3 kelas yaitu spesies yang termasuk di dalam Appendix I, II dan III (Non-Appendix) (United nation General Assembly 1973). Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mengatur secara jelas mengenai tindak pidana tersebut. Hukum nasional yang melindungi satwa liar belum memiliki kelengkapan dan ketentuan yang mengacu pada CITES sepenuhnya. Ancaman sanksi yang ada pun juga tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Taksa Jumlah Jenis Persentse (%)
Burung 116 38.03
Reptil 85 27.87
Mamalia 65 21.31
Satwa Lain 39 12.79

Sumber : Ditjen Gakkum KLHK Tahun 2010 – 2018

Berdasarkan data SIPP pada tahun 2011 hingga 2018, diketahui bahwa provinsi dengan penanganan kasus terbanyak adalah Jawa Timur sebanyak 52 kasus, diikuti Bali sebanyak 38 kasus, dan Jambi sebanyak 35 kasus seperti yang tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah kasus pada tiap provinsi berdasarkan SIPP tahun 2011 – 2018

Provinsi Jumlah Kasus Persentase (%)
Jawa Timur 52 11.79
Bali 38 8.62
Jambi 35 7.94
Jawa Barat 30 6.8
Lampung 29 6.58
DKI Jakarta 26 5.9
Sumatera Barat 24 5.44
Riau 22 5
Kalimantan Barat 18 4.08
Sumatera Selatan 18 4.08

Sumber: SIPP tahun 2011 – 2018 yang dianalisis YIARI

Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus perdagangan satwa liar masih marak terjadi di Indonesia, dengan kemajuan teknologi diharapkan pemberantasan perdagangan satwa liar di Indonesia dapat diatasi sedikit demi sedikit sehingga hewan yang diperdagangkan bahkan hewan yang dilindungi dapat dikembangiakan dan terjaga dari kepunahan.

Fakta dan kondisi 2021

[sunting | sunting sumber]

Indonesia adalah negara kepulauan yang terkenal dengan keberagaman satwa langka dilindungi oleh pemerintah dan juga menjadi habitat bagi satwa endemik yang berarti mempunyai ciri khas di setiap daerah dan tidak ditemukan di daerah lain.[17] Dalam perlindungan dan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati, sangat penting untuk melakukan perlindungan terhadap jenis satwa liar. Satwa jenis endemik dalam suatu kawasan konservasi dapat menjadi indikator bahwa perlindungan dan pengelolaan pada kawasan tersebut berjalan secara baik dan berkelanjutan.

Banyaknya akses yang dapat digunakan oleh pelaku untuk memperniagakan satwa serta rendahnya kesadaran dari masyarakat akan peraturan yang melindungi satwa ditambah kurang maksimalnya kontrol dari pihak pemerintah dalam melindungi satwa langka yang menyebabkan banyak terjadinya kasus tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi.[18] Terlebih saat kondisi pandemi saat ini, banyak pemburu yang melihat penutupan taman nasionl, juga pengalihan penegakan hukum dan patroli penjagaan, sebagai peluang ideal untuk melakukan eksploitasi.

Menurut Lembaga Protection of Forest and Fauna (PROFAUNA) Indonesia menyatakan angka perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi di wilayah Indonesia masih tinggi, terlebih saat pandemi yakni mencapai 35 kasus. Sejumlah satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal tersebut, diantaranya adalah jenis orangutan, kukang, lutung jawa, ungkolar, siamang, trenggiling, penyu hijau, cendrawasih, kakatua raja, opsetan kulit harimau sumatera dan gading gajah. Jika satwa langka dilindungi sampai punah maka tidak akan ada lagi yang bisa melihatnya secara langsung. Oleh karena itu, keberadaan satwa dilindungi tersebut harus senantiasa dijaga. Meskipun memiliki banyak satwa langka endemik yang dilindungi oleh pemerintah, namun hal ini berbanding lurus dengan jumlah tindak pidana memperniagakan satwa dilindungi sangat banyak terjadi di Indonesia. Seperti halnya yang disebutkan oleh[19] dalam penelitiannya, menemukan bahwa perburuan dan perdagangan satwa liar telah mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem suatu kawasan yang berdampak pada ancaman kepunahan.

Walaupun telah ada payung hukum untuk mengatur hal tersebut tetapi tindak pidana tersebut tetap terjadi. Tingginya keuntungan yang dapat diperoleh dan kecilnya resiko hukum yang harus dihadapi oleh pelaku perdagangan ilegal satwa langka yang dilindungi menjadi daya tarik yang besar bagi para pelaku untuk melakukan tindak kejahatan tersebut, meskipun sudah cukup banyak pelaku yang dihukum, namun hukuman yang diberikan pada umumnya masih terlalu rendah sehingga belum bisa memberikan efek jera.[20]

Kerugian yang diakibatkan perdagangan satwa liar yang dilindungi

[sunting | sunting sumber]

Perdagangan satwa liar secara ilegal dapat memberikan kerugian dalam aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam aspek ekonomi, negara terus mengalami kerugian akibat perdagangan satwa liar yang mencapai 9 triliun per tahunnya (Perkumpulan SKALA 2016). Tahun 2019 bahkan kerugian negara yang diakibatkan perdagangan satwa liar mencapai 13 triliun.[21] Jika perdagangan satwa liar ilegal tidak segera dihentikan, perekonomian negara akan terus menerus mengalami kerugian karena tidak ada pajak yang masuk dari perdagangan satwa liar.

Ditinjau dari aspek ekologi, Indonesia memiliki daftar satwa yang terancam punah dan terus mengalami penambahan 10 tahun terakhir ini karena 95% satwa yang diperjualbelikan ditangkap dari alam dan 20% satwa mati akibat pengangkutan yang tidak layak.[22] Permintaan satwa liar yang dengan intensitas yang tinggi menyebabkan terjadinya perburuan dan perdagangan satwa liar secara besar-besaran sehingga jumlah populasi satwa terus mengalami penurunan.

Dilihat dari aspek sosial, maraknya perdagangan satwa liar yang terjadi di banyak daerah membuat tradisi ini semakin diketahui banyak masyarakat. Masyarakat yang tidak peduli dengan keberadaan satwa liar tentunya mendukung perdagangan satwa liar demi mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sangat tertarik untuk memperjualbelikan satwa langka. Menurut [23] satwa yang semakin langka memiliki harga yang semakin mahal. Perdagangan ilegal satwa liar mengakibatkan kerugian yang sangat banyak, tidak hanya menyebabkan penurunan populasi satwa yang dapat mengakibatkan kepunahan, tetapi juga merugikan pendapatan negara.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Wahono, R (2016). Peran balai konservasi sumber daya alam dalam pengendalian perdagangan satwa liar yang dilindungi di Daerah Istimewa Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 
  2. ^ Sutra, FL (2020). Tindak pidana perdagangan satwa liar dilindungi yang berimplikasi tindak pidana pencucian uang [disertasi]. Surabaya: Universitas Airlangga. 
  3. ^ Nuraeni, E; Supartono, T; Deni, D (2018). "Perdagangan satwa liar jenis kukang (nycticebus sp) di pasar hewan plered Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon". Wanaraksa. 12 (1). 
  4. ^ Profauna (2009). "ProFauna 's Report: Wildlife Trade Survey on the Bird Market in Java. ProFauna Indonesia". Diakses tanggal 2021 Sept 2. 
  5. ^ Herliyanto, AF (2019). "Sanksi pidana terkait perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi". Jurist-Diction. 2 (3): 835–852. 
  6. ^ Artati, Y (2002). Perdagangan satwa liar yang dilindungi di pasar burung ngasem Yogyakarta [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 
  7. ^ Haq, AK (2021). "Peran lembaga pelestarian satwa borneo orangutan survival samboja lestari terkait perlindungan hukum terhadap satwa yang dilindungi dari perdagangan liar di Kalimantan Timur". Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum). 1 (3): 623–635. 
  8. ^ Fatem, SM; Marwa, J; Boseren, MB; Msen, YM (2021). "Nilai ekonomi dan analisis kebijakan perburuan dan perdagangan satwa liar di Kabupaten Manokwari". Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 10 (1): 63–79. 
  9. ^ Yoserizal, Y; Irawan, RE (2014). Motif Perburuan terhadap Harimau Sumatera pada Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Kabupaten Indragiri Hulu [tesis]. Riau: Universitas Riau. 
  10. ^ a b Felbab-Brown, V (2013). "Indonesia Field Report IV: The Last Twitch? Wildlife Trafficking, Illegal Fishing, and Lessons from Anti-Piracy Efforts". Diakses tanggal 1 Sep 2021. 
  11. ^ Beastall, C; Shepherd, CR; Hadiprakarsa, Y; Martyr, D (2016). "Trade in the helmeted hornbill Rhinoplax vigil: the "ivory hornbill."". Bird Conservation International. 26 (2): 137–146. doi:10.1017/s0959270916000010. 
  12. ^ Melfi, V (2010). "Selamatkan yaki! conservation of Sulawesi crested black macaques Macaca nigra". Indonesian Primates: 343–356. doi:10.1007/978-1-4419-1560-3_19. 
  13. ^ Nijman, V; Nekaris, KAI (2014). "Traditions, taboos and trade in slow lorises in Sundanese communities in southern Java, Indonesia". Endanger Species Research. 25: 79–88. 
  14. ^ a b Supriadi (2010). Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinargrafika. 
  15. ^ a b Pro Fauna (2010). Islam Peduli Terhadap Satwa. Malang: Pro Fauna. 
  16. ^ a b Hanif, F (2015). "Upaya perlindungan satwa liar di Indonesia melalui instrumen hukum dan perundang-undangan". Jurnal Hukum Lingkungan. 2 (2): 29–48. 
  17. ^ Hardjasoemantri, K (2014). Hukum Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
  18. ^ Winaningsih, W (2020). Legal protection the criminal action of pretected wild lide trafficking (decision Study Number 1260/Pid.B/LH/2019/PN Sby) [Tesis]. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. 
  19. ^ Saputra, T (2016). "Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi berdasarkan undang – undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah hukum ditreskrimsus polda Riau". JOM Fakultas Hukum Uniersitas Riau. 3 (2): 1–11. 
  20. ^ Oktavianus, Y (2015). "Tinjauan yuridis terhadap putusan hakim dalam perkara nomor 1.513/pid.b/2014/pn.mdn tentang tindak pidana perdagangan illegal satwa liar yang dilindungi dikaitkan dengan prinsip keadilan". JOM Fakultas Hukum. 2 (1): 1–14. 
  21. ^ Darmawan, L (5 Nov 2019). "Perdagangan satwa liar ilegal capai Rp13 triliun, apa yang bisa diupayakan". Mongabay. Diakses tanggal 2 Sept 2021. 
  22. ^ Profauna (2015). "Wildlife Crime in Indonesia 2015: 5,000 Trade and 370 Poaching Cases. Profauna". Diakses tanggal 2 Sept 2021. 
  23. ^ Aristides, Y; Purnomo, A; Samekto, A (2016). "Perlindungan satwa langka di Indonesia dari perspektif Convention on International Trade in Endangered Species of flora and fauna (CITES)". Diponegoro Law Journal. 5 (4): 1–17.