Perhimpunan Fu Qing Yogyakarta
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Topik artikel ini mungkin tidak memenuhi kriteria kelayakan umum. (November 2017) |
Perhimpunan Fu Qing Yogyakarta (baca: Fu Jing) adalah komunitas atau kumpulan penduduk keturunan Tiongkok yang bermukim di Yogyakarta. Fokus dari perkumupulan ini lebih mengarah pada urusan sosial anggotanya. Kegiatannya pun pada umumnya sangat sederhana, yaitu melakukan kegiatan bersama dengan sesama anggota. Selain melakukan aktivitas sosial bersama, di dalam perhimpunan ini juga diadakan kursus khusus untuk anggotanya yang berisi tentang seni dan tari serta budaya daerah asalnya. Tujuannya adalah untuk melestarikan budaya leluhur, meskipun berada jauh dari tempat tinggal mereka saat itu. Mereka juga belajar untuk membaca dan menulis huruf Tionghoa. Hal itu mereka lakukan karena pada saat itu, anggota mereka jarang ada yang berkumpul dengan penduduk “pribumi”.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Perkumoulan Fu Qing di Yogyakarta sebenarnya terbentuk pada tahun 1940-an, meskipun bangunan resminya baru terbangun pada tahun 1950-an. Perhimpunan ini awalnya bernama Sin Sen Shek. Sin Sen berarti “Hidup Baru” sedangkan Shek berarti “Organisasi”. Sin Sen Shek secara terminologis memiliki arti sebagai Cahaya Sinar Surya. Visi utama dari dibangunnya perhimpunan ini adalah untuk meleburkan diri dalam arus utama, menurahkan segala tenaga dan pikiran demi Nusa dan Bangsa. Visi tersebut mencerminkan sebuah bukti keindonesiaan yang dimiliki oleh warga keturunan Tiongkok di Indonesia.[2]
Pada tahun-tahun awal pendiriannya, Perhumpunan Fu Qing di Yogyakarta banyak mendirikan sekolah-sekolah khusus Tionghoa. Perkembangan sekolah khusus Tionghoa tersebut diberikan untuk mengenalkan hal-hal mengenai budaya Tionghoa. Secara umum, warga Tionghoa di Yogyakarta tidak mengalami persoalan yang berarti terkait pendidikan, mengingat sekolah-sekolah khusus Tionghoa cukup memberikan akses pendidikan yang baik.
Meskipun menjadi penanda akan pluralitas Indonesia, perhimpunan Fu Qing harus diberhentikan aktivitasnya. Hal itu merupakan dampak dari rezim Soeharto yang terkesan anti dengan praktik atau kegiatan kebudayaan Tionghoa. Melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang mengatur segala kegiatan keagamaan, kepercayaa, dan adat istiadat berkaitan dengan warga keturunan Tionghoa, segala kegiatan yang berbau kebudayaan Tionghoa tidak boleh dilakukan di depan publik. Hal itu termasuk mengadakan perayaan hari besar maupun memiliki nama asli Tionghoa juga tidak diperbolehkan. Perhimpunan Fu Qing di Yogyakarta juga terkena imbas. Seluruh kegiatan yang mereka lakukan dianggap illegal. Bangunan yang mereka gunakan untuk pertemuan pun ditutup dan akhirnya beralih fungsi menjadi tempat parkir kendaraan bermotor.
Lebih jauh lagi, sekolah-sekolah khusus Tionghoa juga ditutup oleh pemerintah. Dampaknya cukup signifikan, banyak di antara warga keturunan Tionghoa yang tidak bisa sama sekali berbahasa daerahnya sendiri, baik membaca maupun menulis.
Seiring berjalannya waktu, ketika tongkat kepemimpinan beralih ke Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, eksistensi Perhimpunan Fu Qing di Yogyakarta ikut berubah. Melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai dicabutnya Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967, perkembangan budaya Tionghoa di Indonesia kini menjadi kian pesat. Bagi Perhimpunan Fu Qing, tepat pada bulan November 2003, perhimpunan ini kembali berdiri. Pada bulan Februari tahun 2004, bangunan Perhimpunan Fu Qiang dibuka dan beraktivitas kembali seperti sediakala.
Budaya dan Nilai
[sunting | sunting sumber]Perhimpunan Fu Qiang di Yogyakarta menjadikan budaya Tionghoa sebagai kiblat dalam setiap aktivitasnya. Menurut mereka, keluarga juga menjadi basis dari kehidupan mereka, beserta berbagai aspek di dalamnya. Sejak 500 tahun SM, Khonghucu berusaha mendidik pola pikir dan moral orang Tionghoa dari keluarga dengan cara mendirikan sekolah. Melalui etika-etika yang ada, mereka menginternalisasikan nilai-nilai tentang budi pekerti. Etika-etika tersebut mengandung aspek yang relevan dengan kehidupan orang Tionghoa hingga saat ini.
Lebih jauh lagi, secara umum, nilai-nilai yang menjadi dasar dari budaya organisasi ini dibagi menjadi tiga bagian, salah satunya adalah nilai-nilai dan keyakinan yang berpengaruh pada etika berperilaku. Nilai ini memiliki lima komponen kunci, berupa konsep atau kepercayaan, perilaku yang dikehendaki, keadaan yang amat penting, pedoman menyeleksi atau mengevaluasi kejadian dan perilaku, serta skala prioritas akan hal-hal yang pantas didahuluan dan tidak. Nilai dan budaya yang diajarkan oleh Khonghucu tersebut terus diajarkan dari generasi ke generasi. Masyarakat Tionghoa dalam Perhimpunan Fu Qiang terutama, amat menjaga nilai dan budaya tersebut sebagai sebuah pegangan hidup.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Tuasikal, Mahujali Arnesto. 2017. Budaya Organisasi Masyarakat Tionghoa, Studi Kasus Perhimpunan Fu Qing, Kota Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada
- ^ Dawis, Aimee. 2000. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. PT Gramedia Pustaka: Jakarta
- ^ Ndara, Taliziduhu. Teori Budaya Organisasi. Rineka Cipta: Jakarta. 2005.