Peristiwa Tiga Daerah
Berkas:Peristiwa Tiga Daerah.jpg | |
Pengarang | Anton E Lucas |
---|---|
Bahasa | Indonesia |
Penerbit | Pustaka Utama Grafiti, |
Tanggal terbit | 1989 |
Halaman | 376 halaman |
ISBN | ISBN 9794440674 Invalid ISBN |
Peristiwa Tiga Daerah adalah judul buku karya Anton E Lucas, seorang indonesianis berkebangsaan Australia. Buku ini diterbitkan pada tahun 1989 dalam bahasa Indonesia dengan nomor ISBN 9794440674. Peristiwa Tiga Daerah menceritakan sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara bulan Oktober sampai Desember, 1945 di wilayah Kabupaten Brebes, Kabupaten/Kota Tegal, dan Kabupaten Pemalang. Subjudul dari buku ini adalah Revolusi dalam revolusi.[1]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Peristiwa Tiga Daerah berlatar belakang sosio-ekonomis. Akar-akar sejarahnya sudah ditanamkan sejak lama oleh penguasa-penguasa kolonial. Pengalaman sejarah yang diwarnai dengan tekanan, penindasan, kesengsaraan dan kemelaratan telah membangkitkan rasa benci dan dendam terhadap sistem dan struktur yang telah menyebabkan kesengsaraan itu. Perasaan itu tidak hanya ditujukan terhadap pemerintahan jajahan, akan tetapi juga terhadap penguasa-penguasa tradisional, terutama penguasa-penguasa yang memperlihatkan tanda-tanda kerjasama dengan pemerintahan jajahan itu. Penindasan dan tekanan yang dijalankan oleh kedua elit kekuasaan ini telah menyebabkan terjadinya eksploitasi ganda terhadap rakyat (cf. Onghokham,1985;19), terutama dalam lapangan perekonomian. Keadaan yang demikianlah yang dianggap cukup untuk meledakkan sebuah pergolakan sosial. Peristiwa ini terjadi dalam sebuah keresidenan yaitu Pekalongan. Tiga daerah yang menjadi objek penelitian Lucas di keresidenan ini adalah Brebes, Tegal dan Pemalang dalam kurun waktu yang sangat pendek, antara bulan Oktober sampai Desember 1945. Kondisi perekonomian rakyat di tiga daerah itu sangat buruk pada masa kolonial, terutama pada saat dijalankannya Tanam Paksa. Eksploitasi dalam lapangan ekonomi dijalankan tidak saja oleh pemerintahan jajahan akan tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional dan pedagang-pedagang kaya, sehingga rakyat jelata, petani kecil serta pekerja dan buruh menjadi sangat menderita. Pengalaman ini kemudian berlanjut pula pada masa pendudukan Jepang.
Rakyat menemui kenyataan ekonomi lebih buruk pada masa ini; adanya wajib setor padi, penjatahan bahan pangan, di samping banyak terdapat korupsi dan penindasan oleh pihak penguasa tradisional dari pemungutan setoran oleh masyarakat. Berita kekalahan Jepang telah diketahui oleh rakyat di tiga daerah, terutama oleh golongan bawah tanah yang pernah melakukan perlawanan aktif selama pendudukan Jepang, seperti golongan komunis terselubung, Negen Broeder, KRI dan Barisan Pelopor yang berideologi Marxis. Setelah kemerdekaan di proklamirkan disambut dengan sangat antusias oleh rakyat. Namun tidak demikian halnya dengan kalangan elit birokratis. Berita ini bagi mereka pada umumnya disambut dengan sikap ragu-ragu. Sikap ini diiringi dengan kekhawatiran akan reaksi Jepang terhadap perjuangan rakyat. Bahkan di antara elit birokratis ini ada yang melarang untuk menaikkan bendera merah putih, karena menganggap bahwa meskipun Jepang sudah kalah, maka penguasa lama (Belanda) akan segera datang kembali. Sikap yang ditunjukkan oleh elit birokratis ini telah melebarkan jurang antara mereka dengan rakyat pejuang. Kenyataan inilah yang telah memancing munculnya gejolak sosial di tiga daerah. Dimulai dengan aksi protes yang dilakukan oleh rakyat terhadap seorang Lurah di wilayah Tegal selatan, kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya seperti desa Pekalongan, rakyat menuntut penggantian penguasa. Aksi-aksi daulat serupa berlangsung mendobrak sistem birokrasi serta aksi kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan para pejabat desa dan pihak-pihak elit ekonomi lainnya yang dianggap menyengsarakan rakyat. Aksi ini tidak saja meluas akan tetapi juga lebih buas dan liar seperti yang terjadi di Pemalang dan Tegal. Lebih dari itu, peristiwa-peristiwa ini makin meluas menjadi makar politik, ditandai dengan berdirinya Front Rakyat (November 1945) yang berideologi komunis. Kenyataan ini akhirnya mengharuskan pemerintahan pusat turun tangan, sehingga gerakan ini dapat dipadamkan.[2]
Tinjauan
[sunting | sunting sumber]Dalam menyajikan karyanya ini, Anton E. Lucas telah mengkombinasikan antara pendekatan strukturalis dan pendekatan individualis, meskipun yang disebutkan pertama lebih dominan terlihat dalam karya ini. Pendekatan struktural memperhatikan masalah kontinuitas dalam sejarah (cf.: Sartono,1986;108-19). Karena itu Anton E. Lucas menjelaskan revolusi yang terjadi di tiga daerah ini, melihat akar-akar kausalitasnya historisnya pada beberapa fenomena kesejarahan yang terjadi pada waktu-waktu yang jauh ke belakang seperti Tanam Paksa, terutama menyangkut dengan faktor perekonomian. Kondisi-kondisi struktur sosio ekonomis masyarakat dideskripsikan sebagai fenomena yang cukup untuk meledakkan suatu gejolak sosial. Dalam melihat gejolak sosial, Lucas menggunakan teori Marxis dari Karl Marx. Ia melihat adanya dua kelompok sosial yang saling bertentangan, yaitu pihak elit birokratis serta para tuan tanah dan orang-orang kaya sebagai kelompok atas dengan rakyat kecil sebagai kelompok bawah. Gaya hidup kedua kelompok ini berbeda sangat tajam. Perbedaan ini pada akhirnya membawa ‘dendam’ dan kebencian yang mendalam, terutama dari golongan bawah di wilayah ini. Keadaan ini memudahkan pihak-pihak tertentu (baca: komunis) untuk memobilisasi massa untuk melakukan gerakan protes. Koalisi pihak komunis dengan rakyat tertindas ini membentuk sebuah wadah perjuangan yang disebut dengan Front Rakyat atau Gabungan Badan Perjuangan Rakyat Tiga Daerah (GBP3D). Dalam mengemukakan pola kelakuan kolektif dalam situasi revolusi, Lucas menggunakan teori psikologi. Ia menggambarkan gejolak sosial yang penuh kekerasa dan anarkis dengan penjelasan berdasarkan motivasi, sikap dan tindakan kolektif yang dianalisis melalui berbagai faktor prilaku kolektif, seperti kepemimpinan.organisasi, mobilisasi, ideologi dan kondisi sosial. Dalam studinya ini Lucas menggunakan kombinasi sumber tertulis dan sumber lisan. Khusus untuk sumber lisan, ia telah menempuh prosedur sejarah lisan secara mengagumkan. Jumlah informan yang diwawancarai sangat luar biasa yaitu 324 orang yang berasal dari berbagai kelompok sosial, baik yang terlibat dan mengalami langsung peristiwa yang diteliti, maupun yang mengetahui jalannya peristiwa. Klassifikasi informan terdiri dari bekas elit birokrasi, anggota Front Rakyat, kelompok agama, kaum nasionalis, kelompok pemuda, guru serta TKR. Ia telah menyelami lebih jauh bagaimana individu atau kelompok dari berbagai lapisan mengalami sendiri kehidupan mereka dengan pendekatan verstehen seperti yang disarankan oleh Weber (cf. Rex Martin,1977;14-15).[3]
Kesimpulan
[sunting | sunting sumber]Revolusi sosial yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pasca kemerdekaan pada umumnya dapat diakarkan kepada penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat semenjak masa kolonial yang berlanjut hingga masa kemerdekaan. Pada bahagian lain sikap dan prilaku ekonomis dari elit birokrasi dan tuan-tuan tanah tidak kurang pula telah ikut mematangkan situasi bagi munculnya sebuah revolusi. Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi di Keresidenan Pekalongan selama bulan Oktober sampai Desember 1945, benar-benar luar biasa, bila dilihat dari bentuk dan karakteristik aksi yang dilakukan. Apa yang disebut dengan “kegaduhan sibernetik” (cybernetic noise)[1] juga terlihat dari aksi rakyat di tiga daerah ini. Dibanding dengan revolusi-revolusi sosial yang terjadi di Indonesia dalam waktu yang bersamaan, maka peristiwa tiga daerah ini terdapat perbedaan mendasar. Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah ini lebih bernuansa kiri (didalangi komunisme). Hal ini dapat dilihat dari pola kepemimpinan serta ideologi yang dianut serta peranan penting yang dimainkan oleh Front Rakyat (komunis) dalam memobilisasi rakyat dalam revolusi sosial ini.[4]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Irhas: Peristiwa Tiga Daerah, diakses 25 Februari 2015
- ^ Amazon.com, diakses 25 Februari 2015
- ^ Toko Buku Buruh Membaca, diakses 25 Februari 2015
- ^ Devi Ciptyasari: Tentang peristwia tiga daerah, diakses 25 Februari 2015