Perjuangan kebebasan berbicara
Perjuangan kebebasan berbicara adalah suatu upaya untuk mengemukakan ide dan gagasan di muka umum baik secara lisan maupun tertulis dengan cara yang bebas namun tetap bertanggungjawab sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kebebasan berpendapat tetap memiliki batasan, ada beberapa alasan yang mendasarinya, Pertama, kita tidak bisa sembarangan berpendapat untuk menjaga nama baik orang lain serta menghormati hak mereka. Kedua, kita tidak bisa bebas berpendapat dalam konteks keamanan negara, ketertiban umum.[1]
Regulasi
[sunting | sunting sumber]Kebebasan berbicara adalah hak asasi manusia dasar yang diatur dan dijamin dalam hukum negara sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik,[1] dan juga diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, pasal 23 ayat 2 dan Pasal 25. Kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum pun tertuang dalam regulasi khusus dalam Undang-Undang No 9 Tahun 1998.[2] Jaminan atas kebebasan berpendapat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[2]
Sejarah kebebasan berpendapat
[sunting | sunting sumber]Mayoritas negara-negara maju menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Di Amerika Serikat, kebebasan berekspresi dan berpendapat tercantum dalam dokumen Virginia Bill of Rights (12 Juni 1776), Declaration of Independence (4 Juli 1776). Dalam sidang PBB pertama yang terselenggara pada tahun 1946, Majelis Umu PBB menegaskan bahwa hak atas infomasi adalah hak asasi dasar manusia, dan itu tercantum dalam resolusi nomor 59(I). Setelah itu, Universal Declaration on Human Right disahkan.[3]
Semenjak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, Indonesia memasuki babak awal demokrasi di mana masyarakat berhak untuk menyuarakan pendapatnya.[4] Jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia semakin menguat setelah era reformasi dengan adanya Amandemen kedua pada tahun 2002 atas Undang-Undang Dasar 1945 dengan dicantumkannya Bab XA tentang hak asasi manusia.[5]
Namun hingga saat ini, setidaknya ada tiga pola pembatasan kebebasan berpendapat di Indonesia hingga saat ini. Pertama, tidak boleh berunjuk rasa di lapangan. Kedua, peretasan yang dilakukan oleh para pendengung. Ketiga, pemanfaatan instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berekspresi. Kebebasan berpendapat di Indonesia masih menjadi agenda karena dalam konteks demokrasi, pemerintah masih bersikap anti kritik, enggan untuk menerima masukan dari masyarakat terkait kebijakan publik meskipun kritik tersebut ditujukan untuk kemajuan bangsa.[4]
Kebebasan berpendapat di media sosial
[sunting | sunting sumber]Kebebasan berpendapat di media sosial juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),[6] sekalipun kebebasan berpendapat di media sosial masih belum sepenuhnya terjamin.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b "Komnas HAM: Negara Wajib Lindungi Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Warga Negara". Komisi Nasional Hak Asasi Manusia - KOMNAS HAM. 2024-04-26. Diakses tanggal 2024-12-11.
- ^ a b Media, Kompas Cyber (2022-10-03). "UU yang Mengatur Kebebasan Berpendapat". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ "Kebebasan Berpendapat Dilindungi UUD 1945, ini Landasan Hukumnya". Tempo. 2022-04-11. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ a b "25 Tahun pasca Reformasi, Kebebasan Berpendapat di Indonesia Belum Terjamin". VOA Indonesia. 2023-05-09. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ SH.,LL.M.,MCL, Cekli Setya Pratiwi; Ramadhan, Febriansyah (2023-08-17). Hukum Hak Asasi Manusia Teori dan Studi Kasus. UMMPress. ISBN 978-979-796-823-6.
- ^ M.H, Dr Hendri, S. Kom , S. H. , M. S. I.; S.H, Marlina (2022-12-19). Pembaharuan Hukum Terkait Kebebasan Berpendapat dalam Bermedia Sosial di Indonesia. Deepublish. ISBN 978-623-124-610-3.
- ^ Fakhar, Setiawan Jodi. "Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2024-12-12.