Permainan video di Indonesia
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Daftar ini belum tentu lengkap. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. |
Permainan video di Indonesia adalah sektor yang sedang tumbuh, memegang pasar 16 terbesar di dunia dan sekitar separuh pasar Asia Tenggara pada tahun 2017. Lebih dari 40 juta orang di negara ini adalah pemain aktif, dengan permainan bergerak menjadi sektor dominan dalam hal pendapatan. Pengembangan permainan video permainan video pertama di tahun 1950-an dan 1960-an adalah ekstensi sederhana dari permainan elektronik menggunakan output seperti video dari komputer ukuran ruangan yang besar. Permainan video konsumen pertama adalah permainan video arcade Ruang Komputer pada tahun 1971. Pada tahun 1972 muncul game arcade hit ikonik Pong, dan yang pertama konsol rumah, Magnavox Odyssey. Industri yang berkembang pesat menderita crash dari pasar video game Amerika Utara pada tahun 1983 karena hilangnya kontrol penerbitan dan kejenuhan pasar. Setelah crash, industri menjadi matang, didominasi oleh perusahaan Jepang seperti Nintendo, Sega, dan Sony, dan praktik serta metode yang mapan seputar pengembangan dan distribusi video game untuk mencegah kecelakaan serupa di masa depan, banyak yang terus diikuti. Saat ini, pengembangan video game membutuhkan banyak keterampilan untuk membawa game ke pasar, termasuk pengembang, penerbit, distributor, pengecer, konsol, dan pihak ketiga lainnya produsen, dan peran lainnya.
Pada tahun 2000-an, industri inti berpusat pada game "AAA", menyisakan sedikit ruang untuk game eksperimental yang lebih berisiko. Ditambah dengan ketersediaan Internet dan distribusi digital, ini memberi ruang bagi pengembangan video game independen (atau indie games) untuk menjadi terkenal di tahun 2010-an. Sejak itu, kepentingan komersial industri video game telah meningkat. Pasar Asia yang sedang berkembang dan mobile game pada smartphone khususnya mengubah demografi pemain ke arah casual gaming dan meningkatkan monetization dengan memasukkan game sebagai layanan. Pada tahun 2020, pasar video game global memperkirakan pendapatan tahunan sebesar US$159 miliar di seluruh perangkat keras, perangkat lunak, dan layanan. Ini tiga kali lipat ukuran industri musik global 2019 dan empat kali lipat dari industri filmdi negara ini dimulai dengan konsol dan pusat arkade yang diimpor, sebelum perkembangan permainan daring di permainan komputer pribadi dan meningkatnya prevalensi kafe internet. Permainan bergerak mulai semakin penting ketika ponsel cerdas diperkenalkan.
Industri permainan video di Indonesia berkontribusi sekitar USD 1,1 miliar untuk ekonomi nasional, meskipun hanya mendapatkan sebagian kecil dari pendapatan permainan lokal. Pembajakan permainan video juga lazim di seluruh negeri, yang merupakan mayoritas dari permainan yang diinstal.
Selama bertahun-tahun, masalah pembajakan game di Indonesia menjadi masalah yang terus bergemuruh di kalangan komunitas lokal. Siapa yang menyangka jika ternyata dalam riset terbaru terungkap fakta bahwa lebih dari separuh gamer di Indonesia tidak pernah memainkan game bajakan.
Dilansir dari TuntasDigital.com, menurut laporan riset yang dilakukan oleh Kominfo, Asosiasi Game Indonesia (AGI), dan Niko Partners terhadap industri game Indonesia. Dalam survei yang melibatkan 1.000 responden tersebut, sebanyak 54,3 % responden mengatakan tidak pernah memainkan game bajakan.
Sedangkan dari 45,7% responden yang masih melakukan pembajakan juga terungkap bahwa rata-rata mereka memainkan 1-3 game bajakan selama hidupnya. Diikuti dengan lebih dari 4 game di posisi kedua.
Permainan video
[sunting | sunting sumber]Beberapa permainan video ternama yang dikembangkan di Indonesia:
- Mobile Legend (2017)
- Free Fire (2018)
- PUBG Mobile (2018)
- Orbiz (2017)
- Legrand Legacy (2018)
- Rage in Peace (2018)
- Coffee Talk (2020)
- Pamali (2018)
- A Space For The Unbound (2023)
- Parakacuk (2023)