Lompat ke isi

Persetubuhan menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Persetubuhan menurut Islam utamanya bertujuan sebagai pelaksanaan hubungan suami-istri dalam memperoleh anak. Perintah persetebuhan antara suami dan istri di dalam Al-Qur'an disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 187. Allah telah mengizinkan suami-istri untuk melakukan persetubuhan dari arah depan maupun belakang. Namun dalam hadis, Allah melaknat persetubuhan oleh suami kepada istri yang sedang haid atau menyetubuhi istri pada duburnya.

Perolehan anak

[sunting | sunting sumber]

Pada Surah Al-Baqarah ayat 187 terdapat perintah Allah kepada suami untuk melakukan persetubuhan terhadap istri. Persetubuhan ini kemudian dilanjutkan dengan perintah mencari sesuatu yang telah Allah tetapkan dalam perintah persetubuhan. Penafsiran mencari sesuatu dalam ayat ini ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai mencari anak. Beberapa yang berpendapat demikian ialah Ibnu Abbas, Al-Hakam bin Abi al-'Ash, Mujahid bin Jabir, Ikrimah bin Abu Jahal, Hasan Al-Bashri, Adh-Dhahhak dan As-Suddi.[1] Anak sendiri baik yang perempuan maupun yang laki-laki dinyatakan sebagai pemberian dari Allah. Pernyataan ini disebutkan dalam Surah Asy-Syura ayat 49.[2]

Bentuk hubungan suami-istri

[sunting | sunting sumber]

Ibnu Zaid menafsirkan "mencari sesuatu yang telah Allah tetapkan" ada Surah Al-Baqarah ayat 187 sebagai persetujuan atas persetubuhan suami atas istri. Sedangkan Qatadah menafsirkannya sebagai mencari suatu keringanan atas hubungan persetubuhan terhadap istri tersebut.[1] Muhammad sebagai nabi dalam Islam menyatakan bahwa suami dapat melakukan persetubuhan dengan istrinya di Surga. ia juga menyatakan bahwa seorang suami memiliki kemampuan untuk melakukan persetubuhan dengan 100 gadis dalam sehari di Surga.[3]

Di dalam Surah Al-Baqarah ayat 223 dijelaskan bahwa Allah membolehkan suami-istri melakukan persetubuhan dari arah mana saja yang dikehendaki oleh keduanya. Kebolehan ini mengumpamakan istri sebagai ladang untuk bercocok tanam sesuai dengan kehendak pemilik ladang. Muhammad sebagai nabi dalam Islam menjelaskan ayat ini bahwa Allah membolehkan persetubuhan suami-istri dari arah depan maupun belakang. Namun Muhammad meneruskan perkataannya bahwa terlarang melakukan persetubuhan kepada istri dalam kondisi haid atau menyetubuhi pada duburnya. Dalam Musnad Ahmad, disebutkan bahwa Muhammad mengatakan bahwa Allah melaknat seorang suami yang menyetubuhi istrinya pada duburnya.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Al-Jauziyah 2014, hlm. 17.
  2. ^ Al-Jauziyah 2014, hlm. 31.
  3. ^ Asy-Sya'rawi 2007, hlm. 524.
  4. ^ Asy-Sya'rawi 2007, hlm. 528.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim (2014). Menyambut Buah Hati: Bekal Menyiapkan Anak Saleh pada Masa Golden Ages. Jakarta Timur: Ummul Qura. 
  • Asy-Sya'rawi, Muhammad Mutawalli (2007). Anda Bertanya Islam Menjawab. Jakarta: Gema Insani. ISBN 979-561-234-4.