Lompat ke isi

Kontroversi upacara adat Tionghoa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pertikaian ritus)
Gambar Matteo Ricci (kiri) dan Xu Guangqi (kanan) di dalam buku Jǐhé Yuánběn (幾何原本), edisi bahasa Tionghoa dari Stoikheya yang terbit tahun 1670

Kontroversi upacara adat Tionghoa (Hanzi sederhana: 中国礼仪之争; Hanzi tradisional: 中國禮儀之爭; Pinyin: Zhōngguó Lǐyí Zhī Zhēng) adalah pertentangan pendapat di kalangan misionaris Katolik mengenai sifat agamawi dari upacara-upacara ajaran Konghucu dan upacara-upacara adat Tionghoa pada abad ke-17 dan ke-18. Pokok permasalahannya adalah apakah amalan-amalan adat Tionghoa dalam berbakti kepada leluhur keluarga dan berbagai macam upacara ajaran Konghucu maupun upacara kenegaraan Tiongkok dapat disifatkan sebagai upacara keagamaan, dan oleh karena itu bertentangan dengan akidah Kristen Katolik.[1][2] Menurut para misionaris Yesuit, upacara-upacara adat Tionghoa tersebut hanyalah upacara-upacara sekuler yang tidak menyalahi akidah Kekristenan, sehingga dalam batas-batas tertentu patut ditoleransi. Para misionaris Dominikan dan Fransiskan tidak sependapat dengan para misionaris Yesuit, dan mengadu ke Roma.

Pada tahun 1645, Kongregasi Suci untuk Penyiaran Iman (Propaganda Fide) di Roma memihak para misionaris Dominikan, dan mengharamkan upacara-upacara adat Tionghoa berdasarkan risalah-risalah yang ditulis para misionaris Dominikan. Pada tahun 1656, Propaganda Fide balik memihak para misionaris Yesuit, dan mencabut pengharaman upacara-upacara tersebut.[1] Kontroversi ini hanyalah satu di antara sekian banyak pertentangan pendapat di antara padri-padri Yesuit dan padri-padri Dominikan di Tiongkok maupun di berbagai tempat lain di Asia, antara lain di Jepang[3] dan di India.[4] Konflik di antara padri-padri Yesuit dan lawan-lawan mereka mulai mengandung dimensi kesejarahan ketika padri-padri Yesus menyatakan bahwa bangsa Eropa dan bangsa Tionghoa memiliki kesamaan sejarah, yang dikemukakan sebagai alasan untuk membenarkan tindakan mereka "mengakomodasi" upacara-upacara adat Tionghoa maupun istilah-istilah khas Tionghoa sebagai sebutan bagi Allah Kristen.[5]

Kontroversi ini menjadi pokok keprihatinan universitas-universitas di Eropa, Kaisar Kangxi, maupun beberapa orang paus (antara lain Paus Klemens XI dan Paus Benediktus XIV), malah berbagai jawatan di Takhta Suci pun turut mengintervensi. Menjelang akhir abad ke-17, banyak padri Dominikan maupun Fransiskan sudah mengamini pandangan padri-padri Yesuit, tetapi Roma tak kunjung memberikan persetujuan. Paus Klemens XI mengharamkan upacara-upacara adat Tionghoa pada tahun 1704. Pada 1742, Paus Benediktus XIV mengukuhkan pengharaman tersebut dan melarang perdebatan yang berkaitan dengannya.[1]

Pada tahun 1939, sesudah dua abad berlalu, Takhta Suci meninjau ulang permasalahan tersebut. Pada tanggal 8 Desember 1939, Paus Pius XII mengeluarkan maklumat yang membenarkan umat Katolik Tionghoa untuk melaksanakan upacara sembahyang leluhur dan turut menghadiri upacara-upacara sembahyang Konghucu.[1] Asas umum untuk kadang-kadang membenarkan adat-istiadat masyarakat pribumi bahkan memasukkannya ke dalam liturgi Gereja, asalkan adat-istiadat tersebut selaras dengan semangat yang benar dan tulen dari liturgi, dipermaklumkan oleh Konsili Vatikan II (tahun 1962–1965).[6]

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Adaptasi perdana dengan adat-istiadat lokal

[sunting | sunting sumber]
Nicolas Trigault berpakaian priyayi Tionghoa, potret karya Peter Paul Rubens. Padri-padri Yesuit yang menjadi misionaris di Tiongkok berusaha mengadopsi adat-istiadat Tionghoa.

Tidak seperti di daratan besar Amerika yang sudah ditaklukkan Spanyol dan Portugal dengan angkatan bersenjata, para misionaris yang tiba di Asia mendapati masyarakat-masyarakat pribumi yang sudah hidup bersatu dan sudah melek aksara, sekalipun belum tersentuh pengaruh dan ikhtiar kepentingan nasional bangsa Eropa.[7]

Alessandro Valignano, penilik Serikat Yesus di Asia, adalah salah seorang padri Yesuit pertama yang menganjurkan (dalam hal ini di Jepang) kebijakan adaptasi adat-istiadat Kristen dengan peri kehidupan masyarakat pribumi di Asia, lewat karya tulisnya Resolusi-Resolusi dan Seremonial.[8]

Kebijakan akomodasi Matteo Ricci

[sunting | sunting sumber]

Di Tiongkok, Matteo Ricci memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang termaktub di dalam Seremonial dan menyesuaikannya dengan konteks Tiongkok. Padri-padri Yesuit bahkan pernah mengenakan jubah biksu, sebelum akhirnya mengadopsi jubah sutra ala priyayi Tionghoa yang lebih bergengsi.[8] Pada khususnya, pandangan kristiani Matteo Ricci terhadap ajaran Konghucu dan upacara adat Tionghoa, yang kerap disebut "Kaidah Matteo Ricci" (Hanzi: 利瑪竇規矩), dijadikan pedoman oleh para misionaris Yesuit di Tiongkok dan Korea.[9][10]

Di dalam lembaran maklumat yang ditandatanganinya pada tanggal 23 Maret 1656, Paus Aleksander VII menerima amalan-amalan "yang merangkul adat-istiadat Tionghoa", menggalakkan kembali maklumat-maklumat tahun 1615 yang menerima penggunaan bahasa Tionghoa di dalam liturgi. Kebijakan ini merupakan salah satu pengecualian terhadap tata tertib Gereja Latin kala itu yang pada umumnya melarang penggunaan bahasa-bahasa setempat.[11]

Daftar petunjuk yang dikeluarkan Propaganda Fide pada tahun 1659 untuk dipedomani misionaris-misionaris baru yang diutus ke Asia sudah disusun sedemikian rupa sehingga penyesuaian diri dengan adat-istiadat masyarakat setempat dan sikap menghargai adab kebiasaan yang berlaku di negeri-negeri yang akan diinjili menjadi perkara yang terutama:[12]

Jangan bertindak menggebu-gebu, jangan ajukan dalil apapun demi meyakinkan mereka untuk mengubah upacara-upacara mereka, adat-istiadat mereka, maupun tata cara mereka, kecuali jika nyata-nyata bertentangan dengan agama [maksudnya agama Kristen Katolik] dan budi pekerti yang luhur. Apatah lagi yang lebih tidak masuk akal daripada membawa Prancis, Spanyol, Italia, atau negara Eropa lain ke hadapan orang Tionghoa? Jangan membawa mereka ke negeri-negeri asal kita, tetapi bawalah mereka kepada iman, yakni iman yang tidak menolak maupun melukai upacara-upacara atau tata cara bangsa mana pun, asalkan bukan suatu kekejian, dan malah menjaga serta melindunginya.

— Petikan dari daftar petunjuk yang diberikan Propaganda Fide pada tahun 1659 kepada Monsinyur François Pallu dan Monsinyur Lambert de la Motte dari Serikat Misi Luar Negeri Paris.[13][14]

Sambutan di Tiongkok

[sunting | sunting sumber]
Kaisar Kangxi bersama astronom Yesuit, Adam Schall, kriya permadani Beauvais, tahun 1690–1705

Para misionaris Yesuit berhasil masuk ke Tiongkok, dan berkiprah di istana kaisar. Mereka membuat orang-orang Tionghoa terkesima dengan ilmu astronomi dan mekanika Eropa yang mereka kuasai, bahkan sampai dipercaya mengelola observatorium negara.[15] Mula-mula Kaisar Kangxi menyambut baik kedatangan misionaris Yesuit ke Tiongkok. Metode-metode mereka yang akurat memampukannya untuk memprakirakan waktu gerhana dengan tepat, yang merupakan salah satu tugas ritualnya sebagai kaisar. Ia memetik banyak manfaat dari jerih payah padri-padri Yesuit di bidang astronomi, diplomasi, dan usaha pabrik artileri.[16] Juru-juru terjemah Yesuit, Jean-François Gerbillon dan Tomas Pereira, turut dilibatkan sesuai dengan bidang keahliannya di dalam perundingan-perundingan yang melahirkan Perjanjian Nerčinski pada tahun 1689.[14] Padri-padri Yesuit berkontribusi penting di sektor militer dengan memperkenalkan teknologi artileri Eropa, bahkan membimbing para tukang Tionghoa dalam pengerjaan cetak-tuang berbagai jenis dan ukuran meriam. Kaisar Kangxi juga mempekerjakan beberapa padri Yesuit di istana sebagai ilmuwan dan seniman. Menjelang akhir abad ke-17, padri-padri Yesuit sudah berhasil mengajak banyak orang Tionghoa untuk memeluk agama Kristen. Padri-padri Yesuit sebaliknya terpukau dengan kedalaman pengetahuan dan kecendekiaan orang-orang Han di kalangan elit sarjana Konghucu, serta menyesuaikan diri dengan gaya hidup cendekiawan Tionghoa kuno yang mereka amalkan.[17]

Pada tahun 1692, Kaisar Kangxi menerbitkan maklumat toleransi terhadap agama Kristen (Hanzi: 容敎令 atau Hanzi: 正敎奉傳).[18]

Orang-orang Eropa sungguh pendiam. Mereka tidak menimbulkan kekacauan apa pun di daerah-daerah, mereka tidak mencelakai siapa pun, mereka tidak berbuat kedurjanaan apa pun, dan tidak satu pun ajaran mereka yang sama dengan ajaran sempalan-sempalan sesat di negara ini, malah tidak ditengarai bakal menimbulkan hasutan ... Oleh sebab itu beta titahkan supaya semua kelenteng pemujaan Tuhan Langit, di mana pun tempatnya berdiri, haruslah dirawat baik-baik, dan supaya barang siapa yang hendak memuja Tuhan Langit diperkenankan memasuki kelenteng-kelenteng itu, membakar hio kepada-Nya, dan berupacara menurut adat resam purba orang Kristen. Oleh sebab itu, mulai dari sekarang, jangan ada seorang pun menentang mereka.[19]

Maklumat ini menjadikan agama Kristen tampak bersifat "netral-positif" di mata negara, dan tampak layak disambut baik dari sudut pandang ajaran Konghucu.[20]

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]
Konfusius, Filsuf Bangsa Tionghoa, atau, Pengetahuan Bangsa Tionghoa Dijabarkan di dalam Bahasa Latin, disusun oleh Philippe Couplet bersama tiga orang rekannya sesama padri Yesuit, dicetak di Paris pada tahun 1687.

Sedikit demi sedikit padri-padri Yesuit mengembangkan dan mengadopsi semacam kebijakan akomodasi berkenaan dengan upacara adat Tionghoa.[21] Kaum elit sarjana Tionghoa berpegang teguh kepada ajaran Konghucu, dan manakala agama Buddha maupun agama Tao tengah mengalami kemerosotan serta kehilangan pelindung, ajaran Konghucu justru boleh dikata sedang jaya-jayanya pada masa itu, bahkan kaum saudagar kaya di kota-kota pun berusaha mendalaminya. Kendati demikian, ketiga-tiganya merupakan pembentuk kerangka kerja yang membingkai peri kehidupan bernegara maupun berumah tangga orang Tionghoa. Salah satu amalan yang dikerjakan para pengikut ajaran Konghucu dan Tao adalah berbakti kepada leluhur.[22][23]

Selain Serikat Yesus, tarekat-tarekat lain seperti Dominikan, Fransiskan, dan Agustinian pun mulai merintis karya misi di Tiongkok pada abad ke-17. Misionaris-misionarisnya seringkali datang dari Filipina, jajahan Spanyol. Bertolak belakang dengan padri-padri Yesuit, mereka menolak segala bentuk penyesuaian dengan adat-istiadat masyarakat pribumi, malah hendak menerapkan asas tabula rasa di Tiongkok, sama seperti yang sudah mereka lakukan di tempat-tempat lain,[8] dan tercengang melihat amalan-amalan para misionaris Yesuit.[14]

Mereka mengobarkan kontroversi sengit, lantas mengadu ke Roma.[24] Tiga perkara utama yang menjadi tuntutan mereka adalah sebagai berikut:[8]

  • Pembakuan istilah Tionghoa untuk "Allah". Istilah yang berterima umum adalah 天主 Tiānzhǔ (Tuhan Langit), tetapi padri-padri Yesuit tidak segan-segan mengizinkan umat Kristen Tionghoa untuk menggunakan kata 天 Tiān (Langit) maupun frasa 上帝 Shàngdì (Tuhan Yang Ada di Atas / Kaisar Yang Mahatinggi).
  • Larangan kepada umat Kristen untuk menghadiri upacara-upacara kebaktian musiman kepada Konghucu.
  • Larangan kepada umat Kristen untuk menggunakan bilah-bilah bertuliskan "peterana arwah", dan untuk menyembahyangi leluhur menurut adat-istiadat orang Tionghoa.

Padri-padri Yesuit di Roma berusaha menyanggah dengan penjelasan bahwa "upacara-upacara adat Tionghoa" hanyalah upacara kemasyarakatan, bukan upacara keagamaan, dan orang-orang Tionghoa yang sudah masuk Kristen seyogianya diizinkan untuk tetap turut menghadirinya.[25][26] Menurut mereka, kepercayaan rakyat Tionghoa maupun adat mengaturkan sesaji kepada kaisar dan arwah leluhur pada hakikatnya bersifat kemasyarakatan, dan oleh karena itu tidak menyalahi agama Katolik. Di lain pihak, lawan-lawan mereka justru menandaskan bahwa perbuatan memuja-muja semacam itu adalah pengejawantahan agama pribumi dan oleh karena itu tidak selaras dengan akidah Kristen Katolik.[27][28]

Maklumat Paus Klemens XI

[sunting | sunting sumber]
Paus Klemens XI, dilukis Pier Leone Ghezzi pada tahun 1708

Lewat maklumat Cum Deus optimus tanggal 20 November 1704,[21] Paus Klemens XI mengharamkan upacara adat Tionghoa maupun upacara ajaran Konghucu, dan melarang segala macam diskusi lebih lanjut mengenai perkara tersebut.[29] Maklumat ini melarang penggunaan istilah Tiān maupun Shàngdì, dan menyetujui penggunaan istilah Tiānzhǔ (Tuhan Langit).

Pada tahun 1705, Sri Paus mengirim utusannya menghadap Kaisar Kangxi untuk menyampaikan keputusan pengekangan sehubungan dengan upacara adat Tionghoa. Rombongan perutusan yang diketuai Charles-Thomas Maillard De Tournon itu menyampaikan keputusan tersebut pada bulan Januari 1707, dan sebagai akibatnya diusir ke Makau.[16]

Sri Paus selanjutnya mengeluarkan bula Ex illa die tanggal 19 Maret 1715, yang secara resmi mengharamkan upacara adat Tionghoa:[16][30][31]

Paus Klemens XI menghendaki supaya kenyataan-kenyataan berikut ini dimaklumi oleh semua orang di seluruh dunia ...

I. Dunia Barat menyeru Deus [Allah] Khalik Langit dan Bumi dan sekalian isinya. Lantaran lafaz Deus terdengar ganjil di telinga orang Tionghoa, maka selama bertahun-tahun orang-orang Barat di Tiongkok dan orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Katolik menggunakan istilah "Tuhan Langit" (Tiānzhǔ). Mulai dari saat ini, istilah-istilah seperti "Langit" [Tiān] dan "Shàngdì" tidah boleh lagi digunakan: Deus haruslah diseru sebagai Tuhan Langit dan Bumi dan sekalian isinya. Papan-papan bertuliskan aksara Tionghoa "Bakti kepada Langit" tidak boleh dipampang di dalam gereja Katolik dan harus segera diturunkan apabila sudah telanjur terpampang.

II. Orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Katolik tidak diperkenankan menunaikan sembahyang musim semi dan musim gugur Konghucu, maupun sembahyang leluhur. Sekadar hadir menyaksikan pun tidak diperkenankan, karena sekadar menghadiri upacara ini saja sudah sama kufurnya dengan bersungguh-sungguh menunaikannya.

III. Pejabat-pejabat Tionghoa dan calon-calon pejabat yang sudah lulus ujian tingkat kota, provinsi, maupun kabupaten yang sudah memeluk agama Katolik Roma tidak diperkenankan bersembahyang di rumah-rumah ibadat Konghucu pada hari pertama dan hari kelima belas tiap-tiap bulan. Larangan ini juga berlaku bagi semua orang Tionghoa pemeluk agama Katolik yang baru saja tiba di tempat tugasnya, jika ia seorang pejabat, atau yang baru saja lulus ujian tingkat kota, provinsi, maupun kabupaten, jika ia seorang pelajar.

IV. Orang Katolik Tionghoa tidak diperkenankan menyembahyangi leluhur di rumah abu marganya.

V. Orang Katolik Tionghoa tidak diperkenankan melaksanakan upacara sembahyang leluhur, baik di rumah, di pekuburan, maupun pada waktu pengebumian jenazah. Sekalipun bersama-sama dengan orang-orang yang bukan Kristen, ia tidak diperkenankan melaksanakannya. Dalam keadaan apa pun, upacara semacam itu sifatnya kufur.

Kendati mengeluarkan keputusan-keputusan di atas, sudah saya pastikan supaya adat-istiadat dan tradisi Tionghoa lain yang sama sekali tidak dapat disifatkan sebagai kekufuran harus diizinkan untuk tetap diamalkan orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Kristen. Cara-cara orang Tionghoa mengatur rumah tangganya atau menyelenggarakan pemerintahan negaranya sama sekali tidak boleh diganggu gugat. Perihal adat mana saja yang boleh atau tidak boleh diizinkan untuk tetap diamalkan akan diputuskan oleh utusan paus di Tiongkok apabila memang diperlukan. Jika utusan paus berhalangan, maka pengambilan keputusan semacam itu menjadi tanggung jawab pemimpin misi Tiongkok dan Uskup Tiongkok. Singkatnya, adat-istiadat dan tradisi yang tidak bertentangan dengan agama Katolik Roma akan diizinkan, sedangkan adat-istiadat dan tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan agama Katolik Roma tidak akan ditoleransi dalam keadaan apa pun.[32]

Maklumat Paus Klemens XI dikukuhkan Paus Benediktus XIV lewat bula Ex quo singulari tahun 1742. Ia menuntut para misionaris di Tiongkok untuk bersumpah tidak akan mengungkit-ungkit kembali masalah upacara adat Tionghoa.[33]

Larangan kaisar dan kekangan paus

[sunting | sunting sumber]

Pada awal abad ke-18, pernyataan sikap Roma terkait upacara adat Tionghoa mengakibatkan para misionaris diusir dari Tiongkok. Pada bulan Juli 1706, utusan paus, Charles-Thomas Maillard De Tournon, membangkitkan murka Kaisar Kangxi. Kaisar lantas memerintahkan supaya semua misionaris yang ingin mendapatkan izin (piao) dari kaisar untuk tinggal di Tiongkok harus berikrar siap sedia menuruti 'Kaidah Matteo Ricci'.[21]

Pada tahun 1721, Kaisar Kangxi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap maklumat Paus Klemens dengan mengharamkan misi Kristen di Tiongkok. Di dalam Maklumat Kangxi, ia menyatakan sebagai berikutː

Tatkala membaca surat keputusan itu, mafhumlah beta bahwa orang-orang Barat ternyata picik. Mustahil berembuk dengan mereka, lantaran mereka tidak paham akan perkara-perkara yang lebih besar seperti kita di Tiongkok. Tidak satu pun orang Barat yang menguasai sastra Tionghoa, sedangkan pendapat-pendapat mereka acapkali musykil dan konyol. Dari isi surat keputusan itu dapat dinilai betapa agama mereka tidak jauh berbeda dari sempalan-sempalan kecil agama Buddha dan Tao yang tidak tahu bertenggang rasa. Seumur-umur belum pernah beta membaca maklumat yang begitu sarat dengan omong kosong. Jadi mulai dari sekarang, orang-orang Barat tidak boleh dibiarkan berdakwah di Tiongkok, supaya tidak timbul masalah lain.[34]

Orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Katolik juga turut terlibat di dalam kontroversi ini lewat surat-surat protes, buku-buku, selebaran-selebaran, dan sebagainya.[21] Debat paling sengit terkait kontroversi ini adalah debat di antara sekelompok cendekiawan Kristen dan seorang uskup (Charles Maigrot de Crissey) yang digelar di provinsi Fujian. Orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Katolik mendukung padri-padri Yesuit, sementara sang uskup didukung padri-padri fakir Iberia (Dominikan dan Fransiskan).[35]

Pada tahun 1724, Kaisar Yongzheng (memerintah tahun 1722–1735) mengharamkan agama Tuhan Langit (Tianzhu jiao, sebutan bagi agama Katolik di Tiongkok pada masa itu). Aniaya terhadap umat Kristen kian lama kian meningkat pada masa pemerintahan Kaisar Yongzheng. Meskipun menghargai dan mengagumi karya-karya seni perupa Yesuit Giuseppe Castiglione dan teknologi Barat, Kaisar Yongzheng tetap saja menggalakkan kembali kebijakan-kebijakan anti-Kristen pada tahun 1737.[36]

Keputusan Paus Pius XII

[sunting | sunting sumber]

Kontroversi upacara adat Tionghoa terus-menerus menghalangi usaha Gereja Katolik untuk menarik pengikut baru di Tiongkok. Pada tahun 1939, beberapa minggu sesudah terpilih, Paus Pius XII memerintahkan Propaganda Fide untuk melonggarkan aspek-aspek tertentu dari maklumat Paus Klemens XI dan maklumat Paus Benediktus XIV.[37] Begitu para vikaris apostolik mendapatkan jaminan dari pemerintah Mancukuo yang mengukuhkan bahwa apa yang disebut sebagai "upacara adat Tionghoa" itu hanya bersifat "kemasyarakatan" belaka, Takhta Suci pun mengeluarkan maklumat baru bertajuk Plane Compertum pada tanggal 8 Desember 1939, sebagai berikut:

Sudah terlampau jelas bahwasanya di kawasan-kawasan Dunia Timur, ada beberapa upacara, yang sekalipun mungkin pernah berkaitan dengan upacara-upacara kafir pada masa purbakala, akan tetapi seiring bergesernya adat-istiadat dan pola pikir dari abad ke abad, kini hanya tinggal signifikansi kemasyarakatannya saja, yaitu sikap berbakti kepada leluhur, atau kecintaan kepada tanah air, atau kesopansantunan kepada sesama.[38]

Secara garis besar, Plane Compertum menyatakan bahwa:

  • Umat Katolik diperkenankan untuk menghadiri upacara-upacara kebaktian kepada Konghucu di rumah-rumah ibadat Konghucu atau di sekolah-sekolah;
  • Citra Konghucu atau bilah papan bertuliskan namanya diperbolehkan untuk dipasang di sekolah-sekolah Katolik.
  • Guru-guru dan siswa-siswi Katolik diizinkan untuk sekadar menghadiri saja upacara-upacara umum yang kelihatannya bersifat takhayul.
  • Bersoja dan berbagai macam pengejawantahan tata krama kemasyarakatan yang diperbuat di hadapan jenazah atau citra orang yang sudah wafat adalah perbuatan yang dapat dibenarkan dan tidak menimbulkan keberatan.
  • Ikrar sumpah terkait upacara adat Tionghoa yang dulu diwajibkan oleh Paus Benediktus XIV, tidak sepenuhnya selaras dengan regulasi termutakhir dan mubazir.[39]

Menurut penulis biografi Paus Pius XII, Jan Olav Smit, maklumat baru ini membuat adat-istiadat bangsa Tionghoa tidak lagi dianggap sebagai takhayul, tetapi sebagai cara terhormat untuk memuliakan kerabat, sehingga diperbolehkan untuk diamalkan oleh umat Kristen Katolik.[40] Dengan demikian, ajaran Konghucu juga diakui sebagai ajaran filsafat dan sebagai unsur yang tak terpisahkan dari kebudayaan Tionghoa, alih-alih sebagai agama kafir yang bertentangan dengan agama Katolik. Tidak seberapa lama kemudian, pada tahun 1943, pemerintah Tiongkok membuka hubungan diplomatik dengan Vatikan. Maklumat Paus Pius XII telah mengubah nasib Gereja Katolik di Tiongkok, nyaris secara revolusioner.[41]

Seiring pesatnya pertumbuhan Gereja Katolik di Tiongkok, Paus Pius XII pun membentuk hierarki gerejawi lokal. Pada tanggal 18 Februari 1946, Paus Pius XII mengangkat Tomas Tien Ken-sin, yang sudah sejak tanggal 18 Juli 1939 menjabat sebagai Vikaris Apostolik Qingdao, menjadi orang Tionghoa pertama yang menganggotai Dewan Suci Kardinal,[41] dan selanjutnya pada tanggal 10 Mei 1946, mengangkatnya menjadi Uskup Agung Beijing.[42]

Baca juga

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Kuiper 2006.
  2. ^ Rule 2004.
  3. ^ Minamiki 1985, hlm. 99–158.
  4. ^ Županov & Fabre 2018.
  5. ^ Giovannetti-Singh, Gianamar (March 2022). "Rethinking the Rites Controversy: Kilian Stumpf's Acta Pekinensia and the Historical Dimensions of a Religious Quarrel". Modern Intellectual History (dalam bahasa Inggris). 19 (1): 29–53. doi:10.1017/S1479244320000426alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1479-2443. 
  6. ^ "Sacrosanctum concilium". para. 37. Diakses tanggal 09 Februari 2008. 
  7. ^ Mantienne 1999, hlm. 177-8.
  8. ^ a b c d Mantienne 1999, hlm. 178.
  9. ^ Chung, David; O, Kang-nam (2001). Syncretism: the religious context of Christian beginnings in Korea (dalam bahasa Inggris). Albany, NY: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-4941-7. OCLC 829792973. 
  10. ^ Rule 2010.
  11. ^ Mantienne 1999, hlm. 179.
  12. ^ MEP 2008, hlm. 4.
  13. ^ MEP 2008, hlm. 5.
  14. ^ a b c Launay & Moussay 2008, hlm. 77–83.
  15. ^ Brockey 2009, hlm. 126–132.
  16. ^ a b c Mantienne 1999, hlm. 180.
  17. ^ Brockey 2009, hlm. 52–53.
  18. ^ Marinescu 2008, hlm. 240.
  19. ^ Neill 1964, hlm. 189–190.
  20. ^ Brockey 2009, hlm. 167–169.
  21. ^ a b c d Tiedemann 2006, hlm. 463.
  22. ^ Brook, Timothy (1998). The confusions of pleasure: commerce and culture in Ming China (dalam bahasa Inggris). Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-520-21091-2. OCLC 36621759. 
  23. ^ Minamiki 1985, hlm. 1–13.
  24. ^ Mantienne 1999, hlm. 177–180.
  25. ^ Mungello 2012, hlm. 97.
  26. ^ Buc 2001, hlm. 179–188.
  27. ^ Marinescu 2008, hlm. 35–36.
  28. ^ Lach & Van Kley 1998, hlm. 195.
  29. ^ Marinescu 2008, hlm. 29.
  30. ^ "中國教會的禮儀之爭(1715年)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2015. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. 
  31. ^ 现代欧洲中心论者对莱布尼茨的抱怨 Diarsipkan 4 July 2009 di Wayback Machine.
  32. ^ Mantienne 1999, hlm. 177–182.
  33. ^ MacCaffrey 2004, hlm. 202.
  34. ^ Li 1969, hlm. 22.
  35. ^ Mungello 2012, hlm. 28.
  36. ^ Marinescu 2008, hlm. 265.
  37. ^ Minamiki 1985, hlm. 195–203.
  38. ^ Minamiki 1985, hlm. 197.
  39. ^ "Plane compertum". Acta Apostolicae Sedis (PDF). 32. Rome: Typis Polyglottis Vaticanis. 1940. hlm. 24–26. 
  40. ^ Smit 1951, hlm. 186–7.
  41. ^ a b Smit 1951, hlm. 188.
  42. ^ "Thomas Cardinal Tien Ken-hsin (Tienchensing), S.V.D." David M. Cheney. 18 November 2020. Diakses tanggal 18 April 2021. 

Bahan bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]