Politik disinformasi
Disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja dirancang untuk menyesatkan orang lain dan disebarkan dengan tujuan memanipulasi kebenaran dan fakta yang dapat menyebabkan keraguan publik atau untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politik.[1][2] Berasal dari kata Rusia dezinformácija, disinformasi pertama kali digunakan sebagai taktik politik oleh Pemerintah Rusia pada tahun 1923 dengan pembentukan kantor khusus untuk menyebarkan propaganda palsu. [1]
Disinformasi menjadi perhatian utama bagi banyak negara dan organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[2][3][4][5] Bahkan, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut disinformasi sebagai risiko global terbesar dalam jangka pendek. Ini karena disinformasi dapat merusak pemilu, memicu kerusuhan sosial, dan bahkan menyebabkan peningkatan sensor informasi.[4]
Jenis-Jenis Disinformasi
[sunting | sunting sumber]Disinformasi bisa sepenuhnya dibuat-buat, atau bisa juga menampilkan informasi yang telah diubah atau diambil di luar konteks.
Jenis Disinformasi | Deskripsi |
---|---|
Konten palsu | Informasi yang sepenuhnya dibuat-buat. |
Konten yang dimanipulasi | Informasi atau gambar asli yang diubah atau dimanipulasi untuk menipu. |
Konteks yang salah | Informasi asli yang disajikan dalam konteks yang keliru. |
Konten tiruan | Seseorang berpura-pura menjadi orang lain untuk menyebarkan informasi palsu. |
Konten menyesattkan | Informasi yang mungkin secara teknis benar, tetapi disajikan sedemikian rupa sehingga mengarahkan orang pada kesimpulan yang salah. |
Koneksi yang salah | Judul, visual, atau keterangan tidak sesuai dengan isi konten sebenarnya. |
Disinformasi sebagai Alat Politik
[sunting | sunting sumber]Menyebarkan disinformasi telah menjadi taktik umum untuk memengaruhi pemilu. Politisi, kandidat, aktivis, dan perusahaan mungkin menggunakan informasi yang salah atau menyesatkan untuk mempengaruhi pemilih.
Sebuah laporan oleh Universitas Oxford dan perusahaan analitik Graphika menemukan bahwa Badan Penelitian Internat Rusia (IRA) menggunakan kampanye disinformasi media sosial yang ekstensif dalam pemilihan AS tahun 2016, untuk memberikan informasi yang salah dan mempolarisasi pemilih AS.[7] Dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2020, misinformasi tentang kecurangan pemilih telah menciptakan perpecahan antar partai politik, dengan beberapa kandidat mengklaim pemilu tidak dapat diandalkan karena "orang mati memilih". Namun, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford menunjukkan bahwa kecurangan pemilih sangat jarang terjadi dan tidak memiliki dampak nyata pada hasil pemilu di Amerika Serikat.[1]
Pada Pemilu 2014 dan 2019, politik di Indonesia juga diwarnai oleh banyaknya kasus disinformasi. Misalnya, pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat 486 kasus dugaan pelanggaran kampanye di media sosial, termasuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Masyarakat Anti-fitnah Indonesia (Mafindo) juga menemukan bahwa jumlah hoaks tentang politik dan pemilu meningkat di tahun 2019, mencapai 2.350 kasus. Bahkan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat sekitar 1.200 kasus hoaks dari September hingga Desember 2020.[8] Sementara, survei opini publik yang dilakukan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) dan Safer Internet Lab (SAIL) mengungkapkan bahwa lebih dari 42% orang Indonesia percaya disinformasi seputar pemilu 2024.[9]
Sebuah studi tahun 2020 oleh Institut Internet Oxford menemukan bahwa kampanye manipulasi media sosial terorganisir di setiap negara yang disurvei (total 81 negara) meningkat 15% dari tahun sebelumnya. Pemerintah, perusahaan humas, dan partai politik memproduksi misinformasi secara massal. Laporan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran disinformasi telah menjadi taktik politik standar, dengan lebih dari 93% negara yang diteliti menggunakannya untuk komunikasi politik.[10]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Palfrey, J. "Misinformation and Disinformation". Britannica. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ a b European Commission. "Tackling online disinformation". European Commission. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ Global Engagement Center (2028-02-08). "Disarming Disinformation: Our Shared Responsibility". U.S Department of State. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ a b World Economic Forum (2024-01-10). "Global Risks 2024: Disinformation Tops Global Risks 2024 as Environmental Threats Intensify". World Economic Forum. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ World Health Organization (2020-12-11). "Call for Action: Managing the Infodemic". World Health Organization. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ Wardle, C (2017-02-16). "Fake news. It's complicated". First Draft. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ Howard, P.N; Ganesh, B; Liotsiou, D. "The IRA and Political Polarization in the United States". Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ Herdiansah, A.G (2023-04-28). "Tantangan Disinformasi Politik di Medsos pada Pemilu 2024". Media Indonesia. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ Galuh, L; Ekawati, A (2023-10-20). "Survei: Hampir 50% Warga Percaya Disinformasi Pemilu 2024". DW. Diakses tanggal 2024-12-12.
- ^ "Social media manipulation by political actors an industrial scale problem - Oxford report". University of Oxford. 2021-01-13. Diakses tanggal 2024-12-12.