Lompat ke isi

Prasasti Kebon Kopi II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Prasasti Rarkyan Juru Pangambat di Bogor.[1]

Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara atau Prasasti Rakryan Juru Pangambat adalah prasasti tertua yang menyebutkan toponimi Sunda yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor,[2]:381 tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama.

Pakar F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 854 Saka (942 M),[1]:50 yang diperbaiki oleh Guillot dkk. sebagai 932 Masehi.[3] Namun prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an.

Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Desa Kebon Kopi, Distrik Leuwiliang,[1]:49 (sekarang Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 kilometer dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

Teks prasasti

[sunting | sunting sumber]

Teks:

Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihāji pañca pasāgi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda


Terjemahan:

Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Penafsiran

[sunting | sunting sumber]

Prasasti ini menyebutkan candrasengkala kawihāji pañca pasāgi yang melambangkan angka 8, 5, dan 4. Biasanya candrasengkala ditafsirkan terbalik, dibaca dari belakang, sehingga berarti 458 Saka. Akan tetapi Bosch beranggapan bahwa tahun 458 S terlalu awal untuk bentuk huruf yang digunakan dalam prasasti tersebut, sementara susunan sebaliknya, yakni tahun 854 S, cukup sesuai dengan masa huruf itu digunakan.[1]:50

Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Bosch melihat penggunaan bahasa Melayu ini sebagai tanda pengaruh Sriwijaya, politik maupun budaya, di kawasan Jawa Barat. Dia juga membandingkan tahun 932 Masehi dalam prasasti ini, yakni saat "Raja Sunda kembali menduduki tahtanya", dengan tahun 929 saat kekuasaan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur di masa Empu Sindok.[1]:50-51

Sejarahwan Prancis Claude Guillot dari lembaga penelitian École française d'Extrême-Orient memperkirakan prasasti Kebonkopi II ini mengacu ke pendirian kerajaan Sunda.[4]:113 Sejarahwan Australia M. C. Ricklefs mengikuti perkiraan ini dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c. 1200.

Nama "Sunda" pertama kali disebut dalam prasasti ini. Namun, isi prasasti yang di antaranya berbunyi “berpulihkan hajiri Sunda”, dapat ditafsirkan bahwa sebelumnya telah ada raja Sunda hingga akhirnya dipulihkan kekuasaanya.[2]:381 Sedangkan nama "Pangambat" berarti "pemburu", dapat ditafsirkan bahwa Sang Raja (Juru Pangāmbat) adalah seorang pemburu yang ulung.[1]:50

Prasasti lain yang menyebutkan toponimi Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak I dan II (952 Saka atau 1030 M), dan Prasasti Horren (Kediri Selatan) yang berasal dari zaman Airlangga di Jawa Timur.[2]:381

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f Bosch, F. D. K. (1941). "Een Maleische Inscriptie in het Buitenzorgsche". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde. doi:10.1163/22134379-90001267. 
  2. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN 979407408X. Diakses tanggal 3 June 2018. 
  3. ^ Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), La principauté de Banten Girang, Archipel, Vol. 50, pp 13-24
  4. ^ Guillot, C., L. Nurhakim, S. Wibisono. (1997). Banten sebelum zaman Islam: kajian arkeologi di Banten Girang 932? - 1526. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996/1997)
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang", Archipel Volume 50, 1995, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8